Berkaitan dengan penghargaan, bagaimana dengan masalah pembantu rumah tangga (PRT)?

Studi tentang PRT, terlepas apakah dia di dalam negeri atau di luar negeri persoalannya telah menjadi kompleks. Karena untuk PRT ini tempat kerja seseorang adalah rumahnya orang lain, jadi hubungan kerjanya lain. Karena orang menjaga rumahnya lain dari pada menjaga tempat kerja. Lalu si majikan punya benteng untuk melindungi rumah itu oleh orang di luar itu, padahal orang itu tinggal di dalam rumah itu. Tempat kerja adalah rumahnya orang lain dan itu yang khas yang membedakan kerja rumah tangga dengan kerja di pabrik. Sehingga batas-batas rumah dan tempat kerja menjadi kabur. Mungkin untuk pekerja pabrik batasannya jelas karena ketika ia akan bekerja maka dia keluar dari rumahnya, akan tetapi kalau untuk PRT tidak seperti itu. Belum lagi mereka yang bekerja sebagai ibu atau isteri. Sekarang jika dipilah maka kerja reproduksi bisa dibagi menjadi dua hal : kerja untuk orang lain dan kerja untuk sendiri di rumahnya sendiri. Para feminis Barat awalnya mengatakan bahwa baik bekerja di rumah sendiri maupun di luar rumah dengan pekerjaan yang sama harus memiliki nilai yang sama. Namun hal ini juga membuat persoalan menjadi rumit karena akhirnya menjadi terlalu ekonomis dengan logika bayaran. Lalu menjadi rumit juga karena ada anggapan bahwa rumah terlalu suci untuk didiskusikan atau dibongkar dengan seolah­olah suami yang menjadi majikan isterinya. Akhirnya diskusi seputar ini menjadi mati dengan sendirinya. Persoalan lainnya adalah bagaimana keluarga para PRT sendiri yang ditinggal. Siapa yang akan mengurus anaknya jika dia harus bekerja mengurus anak orang lain, atau siapa yanga akan membersihkan rumah si PRT tersebut jika dia harus membersihkan rumah orang lain. Masih banyak sekali yang seharusnya digali. Untuk PRT di luar negeri yang sering dibahasakan dengan tenaga kerja wanita (TKW), persoalan seputar TKW ini telah diungkap misalnya ada kasus-kasus TKW yang menjatuhkan diri dari gedung. Namun sayangnya yang muncul seringkali hanya dramatisasi kasus saja, tidak pada penyelesaian masalah.

 

Mengapa hingga saat ini banyak perhatian masyarakat lebih banyak tertuju kepada pembantu rumah tangga (PRT) migran dari pada PRT di dalam negeri?

RS: PRT yang bekerja di dalam negeri tidak banyak diungkap karena memang tidak kelihatan dramatis. Namun biarpun tidak dramatis tetapi kita harus cari soal latar belakang ini. Saya pikir juga karena berita mengenai PRT migran atau yang berada di luar negeri sangat banyak dan dominan. Pun dalam hal ini mungkin karena nama bangsa menjadi taruhannya sehingga banyak pihak atau institusi negara yang merasa berkepentingan. Saya pernah menulis untuk sebuah konferensi mengenai situasi tenaga kerja perempuan (TKW) Indonesia yang referensinya banyak saya kumpulkan dari koran. Dari situ memang pemberitaan menjadi sangat bombastis karena reputasi bangsa Indonesia ikut menjadi pertaruhan. Waktu itu ada organisasi perempuan yang mengatakan bahwa pengiriman TKW ini harus dihentikan karena mereka tidak pernah mendapatkan bekal pengetahuan dan keterampilan. Sejak dulu orang tertarik untuk memberitakan TKW karena memang lebih dramatis dan menyangkut media yang lebih luas. Sementara perempuan yang sehari-hari berada di rumah sendiri tidak terlihat. Nah, sekarang berkembang bagaimana orang mengakui bahwa PRT di rumah juga sama sebagai pekerja. Tetapi pemberitaan mengenai hal ini memang tidak sedramatis pemberitaan TKW.

 

Mengapa masyarakat selalu mengidentikkan PRT dengan perempuan?

RS :Memang PRT hampir semuanya perempuan tetapi orang lupa bahwa laki-laki PRTpun ada. Kalau berbicara konstruksi sosial maka yang harus dipelajari adalah bagaimana peran perempuan bekerja tersebut dikonstruksikan menjadi pekerjaan perempuan. Tapi jangan karena orang mengatakan pekerjaan ringan adalah pekerjaan perempuan maka semua pekerjaan ringan adalah pekerjaan perempuan. Tentu saja tidak bisa seperti itu. Kita bisa melihat bagaimana proses karena ada pekerjaan yang sepertinya ringan tetapi ternyata bukan perempuan juga yang mengisinya. Hal ini tergantung komunikasi antara siapa yang mencari pekerjaan dan apakah ada pekerjaan yang masuk kategori tertentu.

 

Bagaimana dengan kasus perkosaan TKW di Arab Saudi yang mengambll legitimasi agama dan menganggap PRT sebagal budak dengan legitimasi tersebut?

RS :Masalahnya apapun dapat menjadi legitimasi untuk melakukan pembedaan-pembedaan. Saya setuju dengan pandangan bahwa patriarki yang melatarbelakangi legitimasi semacam itu. Saya pikir tidak cukup mengatakan bahwa patriarki yang salah tetapi kita harus melihat di setiap tempat terbentuknya atau digunakannya. Bisa saja sama halnya dengan situasi politik dunia misalnya isu anti lrak dimana semua orang pada akhirnya menggunakan anti lrak untuk bisa membenarkan agenda yang macam-macam. Semua bukan semata soal gender tetapi soal kekuasaan yaitu masalah siapa yang menguasai uang, tanah, ideologi atau wacana. Sekarang masalahnya adalah keperempuanan yang menjadi pembenaran untuk menindas dia tetapi melalui wacana yang beda-beda. Mungkin PRT dulunya bukan dari kaum perempuan juga, hal ini berkaitan dengan persoalan kelas dengan persoalan perempuan yang menjadi satu sehingga orang ‘bawah’ sama dengan pekerja perempuan. Zaman dulu budak laki-laki di aniaya tetapi saat ini perempuan budak yang dianiaya. Kekuasaan itu dalam situasi timpang, apapun legitimasi dapat dipakai. Dalam hal ini penganiayaan kepada perempuan PRT menggunakan legitimasi feodalisme dan itu bisa saja terjadi di Arab dan dalam agama Islam.

Apa tantangan ke depan buat kita semua?

Tantangannya buat kita adalah bagaimana kita menghadapinya. Misalnya di Malaysia legitimasi penindasan kepada para PRT adalah dengan meng­anggap mereka illegal. Sedangkan di negara lain karena perbedaan ras. 

 

Majalah Swara Rahima No.12 th.IV September 2004

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here