Oleh: Nia Ramdaniati
Tidak ada seorangpun bercita-cita hidup bersama pasangan yang menyakiti. Semua orang ingin hidup bahagia di dunia dan akhirat, sebagaimana doa yang selalu dipanjatkan setiap saat. Tetapi dengan segala prosesnya, mengenal pasangan sebentar atau lama, tetap tidak bisa menyelami bagaimana karakter seseorang paling detail, apalagi yang berurusan dengan aktivitas hati. Ada yang mengenal lama dan sangat baik sehingga memutuskan untuk menikah, di tengah pernikahan tergoda rayuan setan sehingga melakukan perselingkuhan. Ada yang baru saja kenal karena betul-betul sangat baik, maka sepanjang perjalanan kehidupan berumah tangga siap menghadapi ujian rumah tangga bersama. Kenal lama dan sebentar terkadang tidak menjadi patokan, namun setidaknya calon pasangan harus mementingkan kebahagiaan pasangannya dan hal ini tidak bisa dilihat hanya pada pandangan pertama.
Qodir (2019) menjelaskan terdapat 5 prinsip atau pilar perkawinan yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri, yaitu berpasangan, janji kokoh, saling ridha, saling berbuat baik, dan musyawarah. Ikhtiar terhindar dari salah menilai untuk dipilih sebagai pasangan adalah melihat sejauh mana karakter pasangan berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut. Jika sebelum menikah, seseorang hanya memperlihatkan dan membanggakan dirinya sendiri berarti ia tidak niat untuk berpasangan, karena berpasangan akan menyatukan perbedaan menjadi satu ikatan.
Ada banyak pasangan yang tidak merasakan kesakralan perkawinan dalam kehidupan sehari-harinya. Kesakralan hanya dirasakan pada saat akad pernikahan. Setelah itu lupa, berkata dan berbuat seenaknya kepada pasangan. Dalam pemecahan masalah rumah tangga, orang yang tidak menjaga janji kokoh, seringkali mudah untuk berkata “pulanglah ke orang tuamu jika tidak ingin lagi bersama” dengan redaksi yang berbeda-beda. Padahal kata-kata tersebut menunjukkan talaq atau perceraian.
Konflik rumah tangga berkepanjangan mulai dari hal-hal kecil hingga membuahkan pertengkaran dan terkadang berujung pada kekerasan tidak diragukan lagi berpotensi untuk bercerai. Misalnya perselingkuhan telah mengurangi saldo rahmah yang menjadi syarat terwujudnya keluarga sakinah. Untuk menuju sakinah harus ada mawaddah sebagai perwujudan rasa cinta dan rahmah yang cintanya juga dirasakan oleh orang yang mencintai. Semakin menipisnya saldo rahmah dalam rumah tangga akibat konflik demi konflik maka ada pasangan yang terzalimi yang dirinya sudah diperlakukan tidak adil karena cinta pasangannya sudah tidak dirasakan manfaatnya. Kondisi tersebut tidak dapat dipungkiri berimbas kepada kehidupan anak-anak dihadapannya.
Beberapa dampak perceraian terhadap anak-anak sudah menjadi fokus beberapa peneliti. Hasilnya, anak-anak mendapatkan ketidakbahagiaan melihat kenyataan orang yang disayangi harus berpisah. Sedangkan, anak-anak akan tumbuh dan berkembang secara optimal apabila dibesarkan dalam keadaan bahagia.
Ada banyak cerita orang tua yang curhat kepada penulis, mereka mengeluhkan persoalan hak asuh anak. Suami dan istri saling memperebutkan hak asuh dengan dalih menyayangi anak-anak. Kejadian ini jika orang tua sama-sama ego, bukan tidak mungkin menyebabkan anak-anak memilih untuk tidak berada pada lingkaran keduanya. Tak jarang anak lebih memilih hidup sendiri daripada kecewa menyaksikan orang tuanya yang selalu berseteru.
Di kondisi lainnya, ada pula yang setelah bercerai hanya satu orang baik suami atau istri yang peduli kepada anak-anak. Ayah yang peduli dan istri yang meninggalkan tanpa jejak. Atau sebaliknya, ibu yang peduli kepada anak dan ayah menghilang tanpa jejak. Akhirnya, anak mendapatkan kenyataan pahit harus melihat salah satu dari orang tuanya seolah-olah tidak menyayanginya.
Di kondisi yang paling menyedihkan, setelah bercerai, karena ego yang sangat tinggi baik suami dan istri malah meninggalkan anak-anaknya bersama nenek/kakek/keluarga besarnya. Ada sebuah cerita dari seorang guru, seorang anak telah ditinggalkan oleh orang tuanya setelah bercerai. Saya menyarankan guru tersebut untuk memulihkan psikologisnya dengan menjadi orang tuanya. Sangat terlihat perubahan drastis saat ditinggal orang tuanya yang tadinya anak tersebut taat dan disiplin menjadi pribadi yang cari perhatian orang lain dengan cara mengganggu temannya. Luka yang anak alami tidak bisa dikeringkan bagaikan luka luar akibat jatuh atau kecelakaan. Guru tersebut tidak bisa melihat seberapa besar luka hati anak yang harus disembuhkannya. Sehingga pekerjaannya amatlah berat, sudah tidak terjangkau luka hatinya, penyembuhannya pula membutuhkan proses yang panjang.
Untuk orang tua yang akhirnya hubungan perkawinan berakhir dengan satu jalan yang seharusnya tidak boleh terjadi, yaitu bercerai, harus menurunkan ego masing-masing untuk melanjutkan merawat anak-anak. Berpisah pada akhirnya terjadi, tapi jangan sampai berpisah dengan anak-anak. Anak-anak tidak ada yang ingin terlahir dengan orang tua yang tidak lengkap. Maka, komunikasi dan perhatian dengan anak tidak pernah ada kata cerai, bercerai hanya cukup sampai pasangan suami istri saja.
Similar Posts:
- Melangkah Menuju Pernikahan
- Hanifah Muyasarah: Membuka Ruang Edukasi dan Advokasi bagi Perempuan Marginal
- Hak Tubuh Mengonsumsi Makanan Sehat dan Halalan Thayyiban
- Seksualitas Perempuan dalam Teks-teks Hadis Nabi saw
- PERNYATAAN SIKAP JARINGAN KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA DAN JARINGAN MASYARAKAT PEDULI DARURAT KEKERASAN SEKSUAL “SELAMATKAN BANGSA DARI DARURAT KEKERASAN SEKSUAL”