Tagar #namabaikkampus kembali trending ketika empat media yaitu Tirto.id, BBC Indonesia, The Jakarta Post, dan Vice Indonesia mendapat penghargaan dari SOPA Awards 2020 terkait projek kolaborasi meliput isu kekerasan seksual di kampus. Awal mula #namabaikkampus trending pada akhir 2018 ketika kasus kekerasan seksual di kampus UGM tengah ramainya dibicarakan setelah kasus Agni diangkat oleh pers mahasiswa UGM, Balariung.
Ketika masih menjadi mahasiswa, saya aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Di akhir kepengurusan pada tahun 2018, saya dan team meliput kekerasan seksual di kampus yang dilakukan oleh dosen. Isu ini di latarbelakangi dari obrolan di sekretariat LPM, salah satu teman saya bercerita, kalau temannya sering dikirim foto alat kelamin oleh dosennya. Teman saya yang lainnya bercerita kalau ada salah satu temannya menangis setelah melakukan remedial, ternyata ia dilecehkan, tangan dan pahanya diraba-raba oleh dosen.
Kemudian kami sepakat untuk meliput kekerasan seksual di kampus. Kami telah mengantongi nama-nama korban, nama-nama pelaku, sampai pemangku kebijakan. Saat itu saya dan tim berharap, setelah terbitnya berita ini akan ada harapan terkait regulasi untuk mencegah kekerasan seksual di kampus supaya tidak terulang, juga supaya informasi yang disampaikan menjadi rambu bahwa siapa saja bisa menjadi korban.
Ketika turun ke lapangan, kami menemukan jalan terjal, mulanya korban mau diwawancara dan kisahnya ditulis, tapi ditarik karena ia mendapat ancaman. Kami kaget karena tidak ada satupun dari kami yang membocorkan nama korban. Di Lembaga pers kami, hanya tim (yang terjun di isu ini) yang tahu sisanya tidak. Ternyata, jauh sebelum kami liput, korban pernah melapor kepada ketua jurusan (kajur) tapi ia malah diminta ‘diam’ dan tiba-tiba diberi beasiswa. Jadi, ketika kami mewawancarai kajur, dia tahu siapa korban yang kami maksud.
Tabloid dan majalah yang meliput isu kekerasan seksual di kampus telah terbit. Berbagai aksi dari organisasi mahasiswa menuntut kasus kekerasan seksual diselesaikan telah dilakukan. Bahkan janji dari birokrasi kampus yang membentuk tim pencari fakta tak pernah ada hasil sampai sekarang. Korban tetap trauma dengan masa lalunya, ia tidak pernah mendapat pemulihan hingga kini, dan pelaku tetap disanjung sebagai dosen yang religius sambil wara wiri di televisi menjadi penceramah.
Mayoritas korban yang mengadu ke Lembaga Pers Mahasiswa adalah perempuan, ada satu laki-laki yang mengaku sebagai korban kekerasan seksual oleh dosen, namun pada akhirnya ia memutuskan ceritanya tidak ditulis. Saat itu, korban berujar, dosen yang melecehkannya memiliki posisi strategis dan akan sulit jika ditelusuri tanpa pendampingan yang kuat. Kala itu saya merasa tidak berguna dan cukup frustasi dibuatnya. Isu yang saya angkat tidak serta merta membuat pemangku kebijakan di kampus peduli terhadap kasus kekerasan seksual, terutama peduli pada apa yang dialami korban. Tidak ada inisiatif dari kampus untuk membuat regulasi supaya kekerasan seksual di kampus tidak kembali terjadi.
RUU TPKS Menjadi Satu-satunya Jalan
Tidak semua kampus seperti Universitas Indonesia yang langsung menerbitkan buku saku SOP Kasus Kekerasan Seksual di Kampus. Tidak semua korban kekerasan seksual di kampus memiliki akses lembaga layanan seperti Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung yang berhasil memperkarakan pelaku kekerasan seksual di kampus dan korban mendapat pemulihan. Bahkan mayoritas korban kekerasan seksual di kampus tidak melaporkan kasusnya. Jika dicari, tidak ada satu lembaga pun yang memiliki data akurat tentang jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus di Indonesia.
Kampus adalah salah satu penyumbang kekerasan seksual yang mayoritas korbannya adalah perempuan. Perempuan juga rentan mendapatkan perlakukan kekerasan seksual di tempat kerja, sekolah, jalanan, kendaraan umum, bahkan di rumah. Perempuan mendapat kekerasan seksual tidak hanya secara langsung tapi juga secara verbal dan melalui media online. Sedangkan hukum pidana di Indonesia sangat terbatas mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan seksual. Hukum pidana di Indonesia juga hanya fokus terhadap penanganan pelaku, tidak ada satupun pasal yang membahas pemulihan korban kekerasan seksual dan pasal tentang pencegahan kekerasan seksual. Padahal korban kekerasan seksual akan mengalami dampak yang ekstrem secara fisik, psikis, dan ekonomi.
Satu-satunya harapan ya memang Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Di dalam RUU TPKS, korban mendapatkan hak atas penanganan, hak atas perlindungan, bahkan hak atas pemulihan. Ruang lingkup RUU TPKS juga meliputi pencegahan kekerasan seksual dan penindakan pelaku. Korban kekerasan seksual, yang biasanya diabaikan bahkan cenderung mendapat kekerasan ganda memiliki hak didampingi secara psikis, hukum, ekonomi, bahkan sosial.
Hak atas pemulihan korban kekerasan seksual meliputi pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, serta ganti kerugian (restitusi). Pemulihan korban kekerasan seksual dilakukan sebelum, selama, dan setelah proses peradilan.
Korban kekerasan seksual akan mendapat layanan kesehatan untuk pemulihan fisik dan penguatan psikologis kepada korban secara berkala. Korban juga akan mendapatkan pendampingan hukum, bantuan transportasi, hingga penyediaan tempat yang layak dan aman. Berbagai layanan dan penguatan akan korban dapatkan sampai penguatan dukungan masyarakat untuk pemulihan korban, yang mana selama ini korban mendapat intimidasi dari masyarakat
Setelah proses peradilan, korban tidak serta merta dibiarkan, tetapi secara berkala dilakukan pemeriksaan dan pelayanan Kesehatan fisik serta psikologis korban. Dalam pasal ini juga diatur bahwa korban juga akan dipulihkan secara ekonomi serta sosial.
Korban kekerasan seksual, tentu saja akan mengalami trauma atas apa yang dialaminya, RUU TPKS hadir untuk mengupayakan korban mampu kembali survive. RUU TPKS hingga kini masih menggantung di parlemen dengan perdebatan bahwa RUU TPKS sulit dipahami. Berbagai tuduhan terus muncul, salah satu tuduhan itu tidak sesuai dengan budaya ketimuran dan norma agama. Padahal korban terus berjatuhan tanpa ada harapan bahwa kehidupannya akan kembali membaik karena tidak ada regulasi yang fokus berpihak kepada korban dan pemulihannya. Di kampus, maupun di tempat lainnya. Terjadi kepada orang dewasa maupun kepada anak-anak.
Sumber
https://tirto.id/kekerasan-seksual-di-kampus-djiR
https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW
https://www.youtube.com/watch?v=JmODyHUg4Ts
https://pkbi.or.id/apa-saja-hak-hak-korban-dalam-ruu-pks/
Similar Posts:
- PERNYATAAN SIKAP JARINGAN KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA DAN JARINGAN MASYARAKAT PEDULI DARURAT KEKERASAN SEKSUAL “SELAMATKAN BANGSA DARI DARURAT KEKERASAN SEKSUAL”
- Hanifah Muyasarah: Membuka Ruang Edukasi dan Advokasi bagi Perempuan Marginal
- Makna Jihad dan Qital Perspektif Alquran (PART 3) Jihad dan Qital bagi Laki-laki dan Perempuan
- Makna Jihad dan Qital Perspektif Alquran (PART 1) Tumbuhnya Kesadaran Perempuan untuk Berjihad
- Seksualitas Perempuan dalam Teks-teks Hadis Nabi saw