Oleh: Imam Nakha’i

Suatu hari Ummu Salamah, perempuan pertama yang turut serta hijrah ke Madinah, menyatakan kegundahannya pada Rasulullah. Mengapa laki-laki bisa berlaga di medan perang sementara perempuan tidak boleh dan mengapa laki-laki mendapatkan bagian waris dua kali lipat bagian perempuan? Hal tersebut mengakibatkan laki-laki merasa lebih unggul  bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat. Laki-laki bukan hanya berharap keunggulan di dunia tetapi juga keunggulan dengan menerima pahala lebih banyak dari pada perempuan. Menjawab keluhan itu, turunlah Surat Annisa ayat 32:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا 

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat tersebut menegaskan bahwa laki-laki akan mendapatkan bagian yang telah telah ia usahakan dengan keras. Demikian pula perempuan akan mendapatkan bagian dari apapun yang telah ia usahakan dengan keras.  Ayat ini tidak melarang perempuan untuk berharap dan bercita-cita memiliki peran yang sama dan adil dengan peran laki-laki, melainkan melarang perempuan untuk berimajinasi (tamanni) hal-hal di luar batas kemampuannya. Karena imajinasi hanya akan melahirkan iri, emosional, dan kedengkian. Allah melarang seseorang untuk berkhayal terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain. Sebaliknya Allah memerintahkan untuk bermohon kepada karunia Allah yang tidak terbatas. Bukan hanya bermohon, tetapi juga iktisab. Iktisab adalah usaha keras untuk mencapai apa yang diharapkan dan dicita-citakannya. Artinya, berharap tanpa berusaha keras hanyalah khayalan semata (as-shurah al-khayaliyah).  

Beberapa muslim Indonesia memahami ayat ini sebagai larangan bagi perempuan untuk berdiri sejajar dengan laki-laki dalam peran-peran sosial, budaya, dan politik. Pandangan semacam itu tidak tepat. Sebab sebagaimana ditegaskan dalam ayat, bahwa yang dilarang adalah tamanni (mengkhayal) dan justru memerintahkan perempuan untuk iktisab (berusaha keras) dan memohon karunia hanya kepada Allah, bukan kepada laki-laki.

Islam tidak melarang perempuan untuk berjihad, bahkan sebaliknya, memerintahkan kepada seluruh umat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan untuk berjihad di “Jalan Allah”. Pandangan fikih yang menyatakan bahwa jihad hanyalah kewajiban laki-laki disebabkan oleh adanya pembatasan tafsir. Frasa jihad hanya pada jihad fisik dengan menggunakan senjata (jihad qitali). Padahal frasa  jihad dalam Alquran bermakna lebih luas dari sekedar qital atau perang. Pembatasan pemahaman tafsir jihad tersebut juga disebabkan oleh pemahaman yang tidak tepat terhadap frasa-frasa al-qital, al harb,  dan al-ghazwu dalam terjemahan Alquran seluruhnya dimaknai berperang. Padahal frasa jihad pastilah berbeda dengan frasa qital. 

Jihad lebih umum dari qital atau peperangan. Setiap usaha keras untuk menegakkan keadilan, kebenaran, nilai-nilai kemanusiaan, memberantas kezaliman, penindasan, dan kesewenang-wenangan adalah jihad fisabilillah. Termasuk di dalamnya usaha melalui qital atau peperangan. Setiap qital adalah jihad tetapi tidak semua jihad dilakukan melalui qital

Qital disebut sebagai jihad kecil sekalipun lebih terlihat heroik.  Bahkan menurut  sabda Nabi, ada jihad yang jauh lebih besar dari qital, yaitu jihad melawan hawa nafsu. Dalam konteks ini, hawa nafsu bermakna mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok dengan mengabaikan kepentingan umum atau maslahatul ammah. Mengikuti hawa nafsu adalah akar kezaliman, korupsi, dan kesewenang-wenangan khususnya oleh pihak atau kelompok yang berkuasa. Oleh sebab itu, jihad melawan hawa nafsu adalah jihad besar yang bisa dan bahkan wajib dilakukan oleh setiap umat beriman, baik laki-laki maupun perempuan. 

Pertanyaan Ummu Salamah di atas menarik sebagai refleksi yang menggugah kesadaran perempuan dan juga laki-laki. Peran-peran sosial, politik, dan budaya tidak didasarkan pada jenis kelamin, melainkan didasarkan pada kesanggupan untuk bekerja keras (iktisab) dan komitmen untuk memperjuangkan kebenaran (tauhid)  hanya kepada Allah. Hal ini juga ditegaskan dalam Alquran surat An-Nahl ayat 97:

 مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ  

Barang siapa yang beramal shalih dari laki-laki atau perempuan dengan dilandasi keimanan, maka akan kami berikan kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan terbaik dari apa yang mereka kerjakan ( an-Nahl : 97).

Apa yang dimaksud amal shalih dalam ayat ini? Kata shalaha secara bahasa bermakna  patut, pantas, cocok atau sesuai.  Jadi, amal shalih adalah tindakan yang patut, pantas, cocok dan sesuai sehingga mampu menciptakan situasi dan kondisi yang baik atau lebih baik (shalih dan ishlah). 

Kemudian mengapa dalam ayat ini tidak menggunakan kata khair seperti dalam ayat fastabiqu al-khairat? Karena tidak semua hal yang baik adalah layak, cocok, patut, atau sesuai untuk semua situasi dan kondisi. Perang fisik bisa jadi sesuatu yang baik untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Tetapi belum tentu cocok dan layak dalam semua situasi. Bisa jadi membangun perdamaian, meredam konflik, menegakkan keadilan dan kebenaran justru membutuhkan kelembutan, keuletan, kecermatan dan sangat mungkin dimainkan perannya oleh perempuan. Frasa baik oleh laki-laki atau perempuan menegaskan bahwa laki-laki maupun perempuan, baik bersama-sama atau secara individu bisa menciptakan kehidupan yang baik  yaitu dengan beramal shalih.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here