Oleh: Khoniq Nur Afiah*

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang asli lahir di Indonesia memiliki seperangkat budaya yang khas. Pesantren-pesantren di Indonesia memiliki ikatan yang kuat, sebab secara genealogi para pimpinan pesantren adalah keluarga besar. Kiai adalah sosok yang memiliki peran utama dalam pesantren. Kiai memiliki otoritas yang sempurna dan kedudukan yang kuat dalam sebuah pesantren, sehingga keputusan dan kebijakan dipegang erat oleh Kiai. 

Kekuatan dan otoritas yang kuat lahir di pesantren ini, selanjutnya menjadi satu budaya yang lestari. Sebenarnya, kelestarian dan lahirnya budaya tersebut juga lahir atas pengaruh kuatnya budaya patriarki. Budaya patriarki yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia maupun budaya patriarki yang lahir di berbagai literatur kitab kuning yang diciptakan dan ditafsirkan tanpa melibatkan perspektif kesetaraan gender. Kitab kuning sebagai elemen yang dimiliki pesantren diciptakan oleh para ulama yang bertujuan untuk menafsirkan dengan melakukan penjelasan secara lebih luas dengan merujuk pada pedoman Islam yaitu Alquran dan Sunnah. Hal tersebut yang menjadi akibat dari banyaknya kitab kuning yang menyampingkan perempuan, bahkan memberikan posisi tragis bagi perempuan. 

Kondisi demikian memicu lahirnya batasan-batasan bagi perempuan pesantren. Nyai sebagai istri Kiai hanya diberikan kesempatan untuk mengajar santri putri dan memiliki batasan dalam berkiprah di luar pesantren. Pada beberapa kesempatan yang lain, Nyai sebagai istri Kiai adalah sosok yang biasanya memiliki kapasitas keilmuan yang tidak diragukan dan hal tersebut sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat umum. Jeratan batasan tersebut yang memberikan hambatan atas pengembangkan perempuan, sebab pola kehidupannya yang cenderung monoton.

Namun, fenomena tentang terbatasnya perempuan pesantren untuk tampil dan berkontribusi di wilayah publik menjadi dipertanyakan karena banyaknya perempuan pesantren yang tampil dan berkontribusi dalam berbagai bidang di wilayah publik. Hari ini, perempuan pesantren baik Nyai dan santri putri banyak yang memiliki kiprah massif pada wilayah publik. Hal tersebut bagian dari prestasi perempuan pesantren untuk memperjuangkan eksistensi dan kebebasan dirinya untuk maju. 

Salah satu sosok yang lahir sebagai perempuan pesantren dan memiliki kiprah luas di wilayah publik serta memiliki identitas santri yang kuat adalah Nyai Hindun Anisah. Nyai Hindun Anisah adalah pengasuh pondok pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara.  Nyai Hindun Anisah secara sanad juga asli keturunan dari Kiai Masyhur di Indonesia yakni KH. Ali Maksum Krapyak dan Kiai Hamid Pasuruan. 

Nyai Hindun Anisah terbentuk menjadi sosok yang perempuan pemberani dan memiliki kepedulian terhadap perempuan berkat didikan sang ibu yang sering memberikan cerita tentang tokoh-tokoh perempuan hebat seperti para pahlawan perempuan. Long memory tersebut mengendap dalam alam bawah sadar dan memotivasi Nyai Hindun menjadi pribadi yang tangguh dan memiliki jiwa pejuang. 

Kuatnya patriarki memang mewarnai lingkungan pesantren, namun tidak jarang juga bahwa para Kiai memiliki pemikiran yang terbuka sehingga membolehkan keluarga termasuk perempuan untuk mengembangkan diri di luar pesantren. Nyai Hindun berkesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi di IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gajah Mada. Proses pendidikan tersebut menjadi titik awal Nyai Hindun menggeluti kajian tentang perempuan atau kajian gender.

Pasca lulus sarjana Nyai Hindun berkesempatan untuk menempuh pendidikan Magister di University Of Melbourne. Keterbukaan pemikiran Nyai Hindun terhadap pentingnya memperjuangkan perempuan terus berjalan, seiring dengan pengaruh lingkungan dan pengetahuan yang dimiliki. Nyai Hindun banyak melibatkan diri di berbagai kegiatan yang fokus melakukan pemberdayaan perempuan dan perjuangan hak perempuan. 

Perjalanan panjang hingga terbentuknya kesadaran yang kuat akan perjuangan terhadap perempuan adalah suatu proses yang panjang. Nyai Hindun sebagai sosok yang lahir dari pesantren dan dibesarkan di lingkungan pesantren memiliki kapasitas keilmuan pesantren yang tidak diragukan. Nyai Hindun ahli dalam mengkaji kitab kuning sekaligus perempuan yang hafal Alquran. Kapasitas keilmuan pesantren yang mumpuni, pengetahuan umum yang luar biasa dan kesadaran akan pentingnya perjuangan perempuan menjadi seperangkat instrumen yang menggerakkan Nyai Hindun bergerak menyuarakan pentingnya perjuangan akan hak perempuan. 

Nyai Hindun sudah banyak terlibat di berbagai organisasi yang fokus pada isu perempuan seperti Rahima. Rahima adalah NGO yang fokus memberikan perhatian pada korban kekerasan pada perempuan. Nyai juga tergabung dalam jaringan ulama perempuan. Keterlibatan Nyai Hindun di berbagai organisasi di luas pesantren, menjadi satu perantara Nyai Hindun untuk berani bergerak menyebarkan kesadaran akan perjuangan hak perempuan di wilayah pesantren. 

Nyai Hindun dengan kapasitas keilmuan pesantren dan kedudukannya sebagai Nyai memasuki wilayah jaringan atau organisasi yang berkaitan dengan pesantren sebagai upaya perjuangan menyebarkan kesadaran pentingnya perhatian pada kaum perempuan. Kesadaran tentang pentingnya memperjuangkan hak perempuan tentu tidak banyak dimiliki oleh perempuan pesantren, khususnya para Nyai sebagai pimpinan pesantren. Upaya-upaya untuk menyebarkan kesadaran pentingnya pemberdayaan dan perjuangan akan hak perempuan dilakukan secara gencar oleh Nyai Hindun melalui berbagai jaringan perempuan diikuti oleh Nyai Hindun, seperti JP3M dan FASANTRI (Forum Silaturahmi Pengasuh Pondok Pesantren Putri). 

Nyai Hindun berjuang menyebarkan kesadaran tentang pentingnya memiliki perhatian kepada perempuan dan bergerak maju menjadi bagian dari perubahan. Nyai Hindun sebagai pencetus organisasi FASANTRI memiliki misi besar untuk mengajak para Nyai sebagai pengasuh atau pimpinan pesantren memiliki kepedulian lebih terhadap perempuan. Kepedulian yang dimaksud adalah dengan memberikan ruang, kesempatan, dan mendukung kepada perempuan untuk bergerak maju. Kemampuan dan potensi yang dimiliki perempuan seringkali tidak dioptimalisasi hingga tidak pernah membuahkan apa-apa, sehingga pentingnya memberikan perempuan 

FASANTRI menjadi satu ruang bagi Nyai Hindun untuk memperjuangkan hak perempuan pesantren. Nyai Hindun mendesain forum tersebut untuk berkoordinasi guna menyelesaikan masalah-masalah perempuan pesantren yang selama ini belum terselesaikan, seperti kekerasan perempuan di pesantren. Gerakan ini bergerak secara massif dilakukan oleh Nyai Hindun bersama anggota FASANTRI. Nyai memiliki harapan bahwa dari FASANTRI menjadi forum yang berhasil membangun perspektif ramah gender di pesantren, memberi peluang perempuan untuk bergerak maju, melindungi perempuan dari berbagai bahaya, dan mendukung perempuan untuk mengembangkan potensinya. 

Tercapainya misi besar dari FASANTRI tentu membutuhkan proses yang panjang dan membutuhkan perjuangan yang serius dengan berbagai strategi. Namun, usaha-usaha kecil yang selalu diupayakan akan memberikan perubahan secara perlahan. Lahirnya sosok yang progresif seperti Nyai Hindun juga pengaruh atas pola pengasuhan, pendidikan, dan lingkungan yang ramah gender, titik inilah yang selanjutnya penting untuk diperhatikan. Sensitivitas akan isu perempuan yang melekat pada diri Nyai Hindun mengantarkan pada komitmen untuk melakukan pemberdayaan terhadap perempuan, khususnya pada perempuan kalangan pesantren.

Perjuangan Nyai Hindun menjadi prestasi yang dimiliki Nyai dan patut menjadi motivasi para generasi muda untuk bergerak maju melakukan perubahan untuk lingkungan sekitar. Perempuan memiliki potensi, dan potensi tersebut mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan lingkungan sekitar. Berbagai keterbatasan mampu dinegosiasi dengan berbagai strategi yang diciptakan. Pergerakan memperjuangkan perempuan merupakan bagian dari kebaikan yang tidak pernah ada selesainya.

*Santri Putri di Pondok Pesantren Al Munawwir

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here