“Ada kasus yang kami dampingi, perempuan dinikahkan paksa umur 17 tahun, kemudian dia tidak mau melakukan hubungan seksual. Kemudian suaminya meminta bantuan orang lain untuk memegangkan tangan dan kaki istrinya. Kemudian suaminya melakukan hubungan seksual tanpa merasa bersalah.”
Kutipan di atas merupakan pengalaman pendampingan kasus kekerasan seksual yang disampaikan oleh ulama perempuan dalam video Rahima memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Nurul Sugiati sebagai pendamping kasus tersebut, menceritakan bahwa situasi seperti itu masih sangat banyak terjadi dan melaporkan suami dianggap sebagai sebuah aib. Ditambah lagi, tidak semua perempuan sadar bahwa kasus kekerasan yang dialaminya tersebut harus segera dilaporkan. Narasi di atas hanyalah satu dari berbagai pengalaman tragis perempuan korban kekerasan seksual yang tidak terungkap.
Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2020 melaporkan, terdapat 4.898 orang yang mengalami kekerasan seksual. Sejumlah korban tersebut di antaranya terpaksa tinggal di rumah aman. Beberapa masih hidup dalam tekanan dan ancaman serta memperoleh stigma bahkan diskriminasi. Adapun kasus kekerasan seksual tersebut semakin meningkat selama pandemi Covid-19. Berdasarkan kasus pengaduan yang masuk ke Komnas Perempuan tahun 2020, tercatat 1.458 kasus kekerasan berbasis gender dan 61% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sedangkan pada pengaduan kekerasan berbasis gender siber selama pandemi, terlapor 659 kasus di mana cybercrime didominasi oleh kekerasan seksual. Data kasus kekerasan seksual yang kian bertambah tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia benar-benar darurat kekerasan seksual.
Sebagaimana yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas), kekerasan seksual merujuk pada setiap perbuatan merendahkan, menyerang atau melecehkan tubuh dan/atau fungsi reproduksi yang dilakukan secara paksa atau korban tidak mampu memberikan persetujuan secara bebas karena adanya ketimpangan relasi kuasa (dpr.go.id, diakses pada 13 Januari 2021). Adapun kekerasan seksual tersebut dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Berdasarkan hasil pemantauan dan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, jenis kekerasan seksual itu sendiri terdiri dari 15 aspek. Bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut kemudian disarikan menjadi sembilan jenis di dalam RUU Pungkas. Kesembilan jenis kekerasan seksual tersebut, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Namun demikian, bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut belum memiliki payung hukum yang jelas. Selama ini ada empat undang-undang yang digunakan apabila kasus kekerasan seksual. Pertama, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur kekerasan seksual dalam konteks yang terbatas yakni perkosaan (dalam arti sempit) dan pencabulan. KUHP memiliki ruang lingkup yang sempit terkait pengertian tindak pidana perkosaan dan terbatas pada penetrasi. Ketentuan mengenai perkosaan sulit diterapkan apabila kasusnya dilakukan bukan melalui penis (laki-laki) ke vagina (perempuan). Padahal, banyak kasus perkosaan yang tidak hanya melalui penetrasi penis ke vagina, seperti menggunakan alat tajam yang menyakiti korban. Kedua, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang hanya berlaku untuk kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga. Ketiga, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang hanya berlaku apabila korban berusia anak. Keempat, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang hanya mengatur tindak pidana perdagangan orang yang salah satu tujuannya adalah untuk tujuan seksual (Komnas Perempuan, 2021). Melalui keempat undang-undang di atas, didapati bahwa ada identitas yang belum terlindungi secara hukum apabila seseorang mengalami kekerasan seksual. Keempat undang-undang tersebut juga belum mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat.
Kendala Korban Kekerasan Seksual Mengakses Keadilan
Masih jelas terngiang dalam ingatan kita tentang kasus Baiq Nuril pada 2018 lalu. Nuril dipidanakan karena merekam percakapan kepala sekolah yang melakukan pelecehan seksual verbal terhadap dirinya. Namun sialnya, kepala sekolah justru melaporkan Nuril ke polisi dengan sangkaan penyebaran konten berbau asusila. Dalam pengalaman dilecehkan dan hukum yang tidak berpihak pada korban, Nuril mengalami beban ekonomi yang sulit (tidak memiliki penghasilan) karena dirinya dikeluarkan dari sekolah tempat ia bekerja (Mata Najwa, 2018). Nuril akhirnya diputus bersalah bahkan oleh pengadilan tingkat kasasi karena melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Nuril adalah salah satu dari sekian banyak korban kekerasan seksual dengan proses penanganan kasus yang sedemikian pelik. Tak jarang kasus berakhir dengan penyelesaian kekeluargaan atau bahkan pemidanaan terhadap korban seperti kasus Nuril. Data menunjukkan pada rentang tahun 2016 hingga 2019, terdapat setidaknya 21.605 korban kekerasan seksual. Namun hanya 29% kasus yang diproses kepolisian dan hanya 22% kasus yang kemudian diputus pengadilan (Siti Aminah Tardi, 2020). Situasi tersebut membuat korban kekerasan seksual enggan untuk melaporkan kasusnya. Siti Mazuma Direktur LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) memaparkan, keengganan korban untuk melapor disebabkan oleh sistem hukum yang belum memihak pada korban. Belum lagi korban kekerasan seksual juga dibebankan pada alat bukti, sedangkan kasus kekerasan seksual itu berada di wilayah privat sehingga tidak banyak saksi yang mengetahuinya (Kompas.com, 2020).
Selain itu, masih ada beberapa kendala lainnya dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Pertama, KUHAP menetapkan hanya lima alat bukti (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa) yang menyulitkan korban dalam memenuhi syarat pembuktian. Kedua, korban seringkali disalahkan dan distigma oleh Aparat Penegak Hukum (APH) atas kasus yang dialaminya. Ketiga, proses hukum yang panjang dan melelahkan dalam memperoleh keadilan hukum membuat korban enggan untuk melanjutkan kasusnya. Keempat, korban seringkali dilaporkan kembali sebagai pelaku. Kelima, masih minimnya perlindungan bagi korban dan saksi, sehingga korban terkadang mendapatkan tekanan dari pihak ketiga, membuat korban takut dan mencabut laporannya. Keenam, korban seringkali mengalami trauma berulang saat menghadapi proses peradilan. Ketujuh, adanya upaya membujuk korban untuk damai dengan penyelesaian secara kekeluargaan, sehingga korban mencabut laporan bahkan ini difasilitasi oleh APH (Siti Aminah Tardi, 2020; Siti Husna, 2020).
Korban kekerasan seksual juga mengalami hambatan berlapis. Beberapa di antaranya seperti (1) ancaman akan dilaporkan balik oleh pelaku; (2) takut dan malu karena pelaku adalah orang yang memiliki pengaruh di lingkungan; (3) stigmatisasi di masyarakat; (4) tidak ada dukungan dari pihak keluarga/ lingkungan sekitar/ komunitas; (5) persepsi masyarakat yang masih menyudutkan korban; (6) target kriminalisasi melalui aturan-aturan (Siti Husna, 2020). Kondisi tersebut turut memperparah situasi psikologis korban. Korban merasakan dampak yang sangat serius dan traumatik seumur hidup. Bahkan dalam banyak kasus, korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya (Komnas Perempuan, 6 Keunggulan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual).
Situasi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kekerasan seksual adalah masalah serius. Korban kekerasan seksual memiliki hambatan sosial, budaya, dan hukum dalam mengakses keadilan. Masih ada kekosongan hukum sehingga pemenuhan hak-hak bagi korban kekerasan seksual tidak bisa dipastikan. Belum lagi undang-undang ataupun peraturan yang ada lebih mengutamakan pemidanaan pelaku dan tidak mengatur jaminan perlindungan bagi korban kekerasan seksual (Siti Husna, 2020). Oleh sebab itu, korban kekerasan seksual memerlukan payung hukum yang jelas, sebagaimana yang tertuang dalam RUU Pungkas.