Urgensi RUU Pungkas sebagai Payung Hukum
RUU Pungkas adalah jawaban terhadap kompleksnya kasus kekerasan seksual yang terus terjadi di Indonesia. RUU Pungkas ini setidaknya memiliki lima tujuan, yakni (1) menjamin terlaksananya kewajiban negara untuk melindungi warga negara khususnya perempuan dari kekerasan seksual (2) melakukan pencegahan kekerasan seksual; (3) memenuhi rasa keadilan korban, keluarga korban dan masyarakat; (4) membangun sistem penanganan, perlindungan, dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual; (5) mendorong peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual (Siti Aminah Tardi, 2020).
Adapun RUU Pungkas ini memiliki enam keunggulan utama. Pertama, pencegahan. Pencegahan dibutuhkan untuk menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadi kekerasan seksual dan memastikan ketidakberulangan kekerasan seksual. Bentuk pencegahan yang diatur RUU Pungkas meliputi berbagai sektor, seperti infrastruktur, pelayanan dan tata ruang, pendidikan, tata kelola kelembagaan pemerintah, ekonomi, sosial dan budaya. Kedua, mengkriminalkan sembilan jenis kekerasan seksual sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya. Ketiga, adanya ketentuan pidana berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun salah satu poin dalam pidana pokok yaitu rehabilitas khusus yang diperuntukkan untuk dua kategori pelaku kekerasan seksual, yakni anak yang berusia di bawah 14 tahun atau pelaku pelecehan seksual non-fisik. Tujuannya untuk memperbaiki akar masalah kekerasan seksual agar tidak terjadi keberulangan kasus. Keempat, kekhususan hukum acara pidana terhadap lima aspek, yakni alat bukti, sikap aparat penegak hukum, pemulihan, larangan mengkriminalkan korban dan pendampingan korban. Kelima, pemulihan. Sebagai undang-undang khusus atau Lex Specialis, RUU Pungkas mengatur tentang pemulihan korban, baik sebelum dan selama proses peradilan maupun setelah proses peradilan. Keenam, pemantauan yang bertujuan untuk memantau rangkaian upaya pencapaian RUU Pungkas (6 Keunggulan RUU Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual; Siti Aminah Tardi, 2020).
Keenam elemen kunci itulah yang menjadi landasan dalam mengatur hulu hingga hilir permasalahan kekerasan seksual. Sebab itulah RUU Pungkas penting untuk segera disahkan. Namun demikian, mendesakkan kepentingan korban kekerasan seksual dengan mendorong pengesahan RUU Pungkas bukanlah hal mudah. Pengesahan RUU Pungkas cenderung berliku dan melalui perjalanan panjang.
Perjalanan Panjang RUU Pungkas
Dalam perjalanannya, Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil sejak 2014 telah mengusulkan pentingnya payung hukum yang komprehensif tentang penghapusan kekerasan seksual. Kemudian RUU Pungkas masuk dalam Prolegnas Prioritas 2016. Namun di bulan Juni 2020, DPR RI mengeluarkan RUU Pungkas dari RUU Prioritas 2020 dengan alasan pembahasan yang sulit (Siti Aminah Tardi, 2020; cnnindonesia.com, 2020). Pada 2021, RUU Pungkas kembali masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021.
Perjalanan panjang nan berliku RUU Pungkas semakin pelik ketika terjadi pro dan kontra di masyarakat. Para pihak yang menolak beranggapan bahwa RUU Pungkas tidak sesuai dengan norma agama, melegalkan perzinahan, aborsi, dan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) merupakan organisasi yang sejak awal melakukan penolakan terhadap pengesahan RUU Pungkas. Sedangkan di dalam parlemen, Anggota Komisi VIII dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera Iqbal Romzi misalnya, mempertanyakan pidana terhadap kekerasan seksual berupa perkosaan dalam perkawinan. Ia mengaitkannya dengan dalil agama bahwa istri wajib melayani suami (cnnindonesia.com, 2020).
Merespons para pihak yang kontra terhadap pengesahan RUU Pungkas, Komnas Perempuan maupun organisasi perempuan lainnya tidak tinggal diam. Dalam sebuah wawancara, Komisioner Komnas Perempuan Imam Nakhei menegaskan bahwa RUU Pungkas dibuat bukan untuk melegalkan perzinahan hingga LGBT. Ia mengatakan RUU Pungkas akan khusus pada kasus kekerasan seksual. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa RUU Pungkas adalah rancangan undang-undang yang Lex Specialis untuk kekerasan seksual. Jadi untuk perzinaan tidak diatur karena memang sudah ada di dalam KUHP. Aspek yang dilihat adalah pemenuhan kebutuhan korban dan pemenuhan hak korban. Bukan konteksnya ingin melegalkan perzinaan atau LGBT (cekfakta.tempo.co, 2019).
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) turut ambil sikap untuk memberikan pandangan terkait penghapusan kekerasan seksual melalui perspektif Islam. Hasil musyawarah keagamaan KUPI menegaskan bahwa hukum kekerasan seksual dalam segala bentuknya adalah haram, baik dilakukan di luar maupun di dalam perkawinan. Haramnya tindakan kekerasan seksual tersebut karena manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah Swt dan oleh sebab itu mesti bersikap mulia dan saling menjaga kehormatan dan martabat kemanusiaannya (Dokumen Resmi Proses dan Hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia, 2017). Dalam buku saku Tanya Jawab Seputar RUU Pungkas dari Pandangan KUPI (2020), turut disebutkan bahwa Islam sangat menentang praktik kekerasan apapun bentuknya, termasuk praktik kekerasan seksual. Karena kekerasan seksual adalah kejahatan dan kezaliman yang mengakibatkan keburukan dan kerusakan fisik dan psikis bagi para korban. Adapun pada konteks pemaksaan hubungan seksual suami terhadap istri (marital rape), dipaparkan bahwa pemaksaan hubungan seksual dalam pernikahan, baik oleh suami kepada istri, maupun sebaliknya, memang merupakan bentuk kekerasan seksual. Pemaksaan tersebut secara prinsip adalah sesuatu yang tidak dibenarkan dalam kaidah-kaidah hukum Islam.
Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk mendorong pengesahan RUU Pungkas tersebut harus terus disuarakan. Hal ini penting untuk menjawab segala keraguan dan hoaks terhadap RUU Pungkas. Meskipun RUU Pungkas telah masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021, dukungan seluruh elemen masyarakat sipil tetap masih diperlukan guna mendesakkan kepentingan korban kekerasan seksual. Mari kawal sampai legal! [Andi Nur Fa’izah]