Foto: Sadri Saputra*

 

Oleh: Sadri Saputra*

“Saya mendengar pukulan keras yang diikuti dengan suara histeris tangisan seorang perempuan. Saya curiga tetangga saya mengalami kekerasan oleh suaminya. Setelah dipastikan pelaku keluar dari rumahnya, saya memberanikan diri menghampiri korban dan saya mendapati paha korban lebam menghitam karena hantaman balok kayu. Saya menangis menyaksikan semua itu, Ya Rabb.”

Kemudian Fatmawati mengajak korban meminta bantuan hukum. Pada mulanya korban ragu dan ketakutan. Namun Fatmawati terus membujuk karena jika terus dibiarkan maka kekerasan akan terus berulang, bahkan bisa lebih fatal. Fatmawati juga menghubungi rekannya yang bekerja di lembaga bantuan hukum untuk segera mencari shelter agar dapat menampung korban. Berkat kepekaan Fatmawati, korban tertolong dan pelaku akhirnya dipenjara. Kisah tersebut merupakan pengalaman yang disampaikan Fatmawati dalam rekaman suara ‘Pengalaman Ulama Perempuan Pendamping Kasus Kekerasan’ yang diunggah di Instagram Swararahima pada November 2020.

Ketertarikan Fatmawati pada isu perempuan sebetulnya telah tumbuh sejak kecil. Fatmawati yang akrab disapa Hilal oleh koleganya tersebut, lahir pada 20 Maret 1974 di sebuah desa kecil Pattunuang, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Ketika ia masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), Fatmawati mulai gelisah melihat ketimpangan yang terjadi antara perempuan dan laki-laki. Kegelisahannya tersebut juga ia tuliskan di buku harian dan sesekali ia diskusikan bersama teman-temannya. Pada suatu momen penting di sekolah, Fatmawati meminta kepada pihak panitia untuk diberikan ruang mengekspresikan diri berupa pembacaan puisi. Ia kemudian membaca puisi di hadapan orang banyak tentang keadilan terhadap perempuan. Sontak seluruh hadirin terheran-heran mendengar puisi tersebut, mengingat keadilan perempuan adalah isu yang tidak umum untuk diangkat oleh anak seusianya. Masa itulah yang menjadi cikal bakal Fatmawati tertarik mendalami isu perempuan.

Fatmawati menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Perdata Pidana Islam Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Ujung Pandang pada 1993-1997. Kemudian melanjutkan pendidikan S2-nya di Konsentrasi Syariah dan Tafsir Program Pascasarjana IAIN Alauddin Ujung Pandang tahun 1998-2000. Selanjutnya program doktoralnya diselesaikan pada Konsentrasi Syariah/Hukum Islam UIN Alauddin Makassar tahun 2003-2007. Saat itu, Fatmawati merupakan perempuan pertama yang meraih gelar Doktor lulusan UIN Alauddin Makassar dalam usia yang masih terbilang muda, yakni 33 tahun. Selama mengenyam pendidikan, Fatmawati juga aktif mengikuti berbagai Organisasi di Kampus seperti Ikatan Mahasiswa Darud Da’wah wal-Irsyad (IMDI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sulawesi Selatan, Pengurus Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) Syari’ah, IAIN Alauddin dan lain-lain.
Dalam perjalanan karirnya, Fatmawati telah menjadi dosen di STAIN Parepare sejak tahun 2006. Kemudian pada 2016 ia pindah mengajar di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar dan saat ini diberi amanah menduduki jabatan sebagai Ketua Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum. Sebagai salah seorang perempuan yang menjadi ketua program studi, ia berhasil membawa Program Studinya yang baru berusia empat tahun meraih Akreditasi B oleh BAN-PT. Kedudukannya sebagai Ketua Program Studi Ilmu Falak tersebut menjadi motivasi bagi perempuan di sekitarnya, bahwa perempuan mampu berkontribusi dan mengambil peran dalam berbagai dimensi kehidupan. Fatmawati selalu memberi dukungan kepada para mahasiswi untuk ikut serta mengambil peran dalam berbagai organisasi kemahasiswaan.

Keterlibatan Fatmawati pada Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon tahun 2017 merupakan cikal bakal pertemuannya dengan Rahima, Fahmina, dan beberapa organisasi perempuan lainnya. Partisipasinya dalam KUPI tersebut membuat Fatmawati semakin terbuka wawasan dan perspektifnya mengenai perempuan. Dahulu Fatmawati selalu menganggap bahwa larangan dan batasan bagi perempuan telah menjadi ketentuan agama. Kini setelah khazanah keilmuannya semakin mendalam, Fatmawati makin mengokohkan dirinya untuk menyuarakan hak-hak perempuan yang kerap terpinggirkan. Ia juga turut menolak kekerasan terhadap perempuan yang kerap dilegitimasi oleh penafsiran agama.

Setelah sensitivitas Fatmawati terbangun, ia mulai melihat bahwa perempuan memiliki berbagai persoalan dalam sendi hidupnya. Permasalahan perempuan yang kerap ia temui adalah kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, dan kekerasan terhadap anak. Ada pula persoalan terkait hambatan perempuan dalam memimpin, karena adanya stigma bahwa perempuan bukanlah sosok yang mampu menjadi pemimpin.

Dilatarbelakangi oleh situasi tersebut, Fatmawati kemudian mengangkat isu-isu perempuan pada setiap ceramah maupun diskusi di kampus. Hal ini ia lakukan untuk mengedukasi jemaah maupun mahasiswanya, bahwa Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang harus dipenuhi hak-haknya. Isu-isu yang sering disampaikan adalah relasi suami-istri di dalam rumah tangga, khitan perempuan, dan ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat. Dalam memberikan ceramah maupun forum diskusi, Fatmawati selalu menggunakan dalil Alquran dan Sunnah, sehingga jamaah maupun mahasiswa merespons dengan baik terhadap materi yang disampaikan. Melalui upaya tersebut, gerakan dakwah Fatmawati mendapatkan dukungan dari berbagai pihak dan tentu perlahan mendapatkan perubahan nyata di masyarakat.

*Penulis adalah Alumni pertama Program Studi Ilmu Falak, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here