Foto: fpl.or.id
Oleh: Veni Siregar*
dan Titim Fatmawati**
“Malam itu saya berkunjung ke rumah Yuli (bukan nama sebenarnya). Ia adalah penyintas kekerasan seksual yang saya dampingi. Yuli mengalami kekerasan seksual oleh anak kepala desa di tempat tinggalnya”. Kenang Titim Fatmawati, pendamping perempuan dan anak penyintas kekerasan. Perjalanannya mendampingi korban penuh liku. Korban mendapat tekanan dari kepala desa, pendukung kepala desa, hingga pejabat pemerintah di desa tersebut, akibatnya korban hampir bunuh diri. Tekanan tersebut tidak hanya dialami oleh korban, tetapi Titim bersama rekannya selaku pendamping kerap mendapatkan teror dari pihak pelaku.
Kisah tersebut adalah satu dari sekian banyak kasus yang ditangani Titim sebagai pendamping kekerasan di Sapuan (Sahabat Perempuan Anak) Blitar yang merupakan salah satu lembaga anggota di Forum Pengada Layanan. Awalnya, forum tersebut merupakan forum belajar yang dibentuk Komnas Perempuan pada tahun 2001. Forum belajar beranggotakan lembaga-lembaga yang bekerja untuk penanganan dan pemulihan bagi perempuan korban kekerasan. Forum belajar menjadi wadah untuk saling berbagi pengalaman dalam kerja-kerja penanganan dan pemulihan perempuan korban kekerasan sekaligus menjadi ruang untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Kegiatan yang dilakukan oleh anggota forum adalah melakukan advokasi bersama agar hak-hak perempuan korban kekerasan dapat dilindungi, dihormati, dan dipenuhi oleh negara.
Dalam 15 tahun perjalanannya, forum belajar berkeinginan untuk memajukan profesionalitas, kedayagunaan, dan kemandiriannya menjadi lembaga pengada layanan. Pada Musyawarah Nasional di Medan tanggal 29-31 Oktober 2015, disepakati perubahan nama menjadi Forum Pengada Layanan (FPL). Dengan mempertimbangkan keberagaman wilayah, sumberdaya, dan kebutuhan penanganan korban yang sangat spesifik bagi setiap orang dan sesuai dengan kondisi lingkungannya, FPL kemudian dibagi ke dalam beberapa region untuk mengoptimalkan kerja-kerjanya dalam memberi pelayanan pada perempuan korban. Saat ini FPL terdiri dari tiga region, yakni Region Barat (Sumatera), Region Tengah (Jawa, Bali, Kalimantan, dan NTB) serta Region Timur (Sulawesi, Maluku, NTT, dan Papua). Pembagian region tersebut bertujuan untuk memudahkan koordinasi dan saling memberikan dukungan serta memperluas keanggotaan, memberikan layanan, serta menjalin kerja sama antara sesama anggota jejaring (fpl.or.id). Hingga saat ini, FPL berjumlah 115 anggota di 32 provinsi dari Aceh hingga Papua.
FPL memiliki tujuan mewujudkan kondisi sosial yang berkeadilan gender melalui pemenuhan hak perempuan korban kekerasan atas kebenaran, keadilan, pemulihan, kepuasan, dan jaminan ketidak berulangan. Guna mencapai tujuan tersebut, FPL memiliki berbagai misi. Pertama, membangun sistem layanan yang komprehensif, holistik, inklusif, berkualitas, dan berkelanjutan yang berorientasi pada kebutuhan dan hak korban. Kedua, membangun budaya pendampingan yang memastikan akses korban pada layanan, menguatkan kapasitas, dan solidaritas perempuan penyintas dan anggota FPL. Ketiga, meningkatkan profesionalitas dan soliditas, serta posisi tawar lembaga pengada layanan sebagai bagian dari gerakan sosial di Indonesia.
Dalam menjalankan misinya tersebut, FPL menemui kenyataan bahwa masih banyak lembaga pengada layanan yang disediakan oleh pemerintah di tingkat provinsi atau kabupaten/kota memiliki kelemahan pada sisi sumber daya maupun pemahaman, bahkan ada yang tidak aktif. Hal ini menyebabkan lembaga pengada layanan yang diinisiasi masyarakat yang menjadi anggota FPL menjadi tumpuan harapan bagi korban untuk membantu mereka menyelesaikan kekerasan sekaligus mendapatkan pemulihan. Adapun beberapa kendala yang kerap ditemui FPL yakni minimnya ahli psikolog, pendamping, pengacara, maupun layanan pemerintah yang terbatas dan sulit diakses seperti rumah aman dan layanan kesehatan gratis. Oleh sebab itu, FPL memandang penting untuk mendorong tanggung jawab negara dalam pencegahan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan terhadap perempuan.
Mengadvokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas)
Sejak 2015 FPL telah turut serta dalam mengadvokasi RUU Pungkas sebagai upaya untuk mendesak peran negara dalam memberikan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual. RUU Pungkas tersebut telah diinisiasi oleh Komnas Perempuan pada 2012 dan FPL terus memberikan dukungan dengan mendokumentasikan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan dan ditemui. Dalam hal ini, mendesakkan kepentingan korban sangat penting dilakukan, sebab pada aspek penanganan, kasus kekerasan seksual sangat sulit terungkap karena keterbatasan substansi hukum untuk mengenali bentuk kekerasan seksual dalam KUHP, KUHAP, serta undang-undang. Belum adanya kebijakan khusus yang mendukung pemulihan dan penanganan bagi perempuan korban kekerasan seksual memberikan implikasi pada korban. Para korban terus mengalami trauma berkepanjangan dan sebagian kasusnya sulit diproses.
FPL bersama Komnas Perempuan mengambil peran untuk menjadi salah satu jejaring yang mengadvokasi agar RUU Pungkas masuk Prolegnas. RUU Pungkas saat ini masuk dalam prolegnas Prioritas 2021, sebelumnya dibatalkan dalam prolegnas prioritas 2020. Dalam melakukan advokasi, FPL melakukan berbagai dialog dengan DPR RI, KPPPA, Bappenas, PMK, dan Kemenkumham. FPL juga melakukan konsolidasi dengan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan kelompok keagamaan baik yang berada ditingkat nasional maupun daerah, serta kampanye publik di setiap masa sidang sejak tahun 2017.
FPL melakukan pemantauan DPR dengan membuat desk parlemen sejak 2017 untuk memantau proses pembahasan di DPR. FPL juga mendukung para anggota legislatif dan pemerintah terkait data-data kekerasan seksual. Bahkan FPL pernah membuat pertemuan terbatas antaranggota DPR dengan penyintas, agar pemerintah memahami situasi kasus kekerasan seksual secara empiris. Saat ini, FPL bersama jaringan masyarakat sipil terus aktif mengawal pembahasan RUU Pungkas agar dapat segera disahkan.
*Penulis adalah Koordinator Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan
**Penulis adalah pendamping perempuan dan anak penyintas kekerasan, anggota FPL (Forum Pengada Layanan)