Oleh: Faqihuddin Abdul Kodir*
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017 di Pesantren Kebon Jambu, Cirebon, telah mengeluarkan fatwa terkait kekerasan seksual. Dalam fatwa ini, secara tegas disebutkan bahwa segala bentuk kekerasan seksual adalah haram hukumnya, baik dilakukan di luar maupun di dalam pernikahan. Fatwa ini didasarkan pada realitas fakta pengalaman kekerasan di lapangan, lalu merujuk pada Alquran, hadis, aqwal atau pandangan ulama, serta ketentuan Konstitusi dan Undang-undang Republik Indonesia.
Kekerasan seksual yang dialami perempuan adalah faktual dan perlu penanganan serius dari berbagai pihak. KUPI telah merekomendasikan kepada berbagai pihak untuk menanggulangi krisis kekerasan seksual ini, baik masyarakat sipil maupun pemerintah sesuai dengan prinsip anti kekerasan dalam Islam. Wa bil khusus, institusi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diharapkan segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas) sebagai pemenuhan hak warga dan perlindungan mereka dari kekerasan seksual.
Prinsip Anti Kekerasan Seksual
Semua bentuk kekerasan seksual berdampak buruk terhadap korban baik secara fisik, psikis, maupun dalam kehidupanya secara sosial. Karena itu, ia bisa dikategorikan sebagai bentuk kezaliman dan kemungkaran yang diharamkan Islam dan harus dilawan. Isyarat Nabi saw tentang perlawanan kemungkaran yang terbagi tiga, yakni tindakan (bil-yad), omongan (bil-lisan), dan hati perasaan (bil-qalb). Kemungkaran itu, (termasuk kekerasan seksual) terbagi dalam tiga hal ini juga, yaitu kekerasan atau kemungkaran seksual verbal, non-verbal atau tindakan-tindakan, dan psikis.
Ketika Nabi saw membicarakan bahwa perbuatan zina itu bisa terjadi melalui hati perasaan, pandangan mata, tindakan tangan, kaki, dan alat kelamin, maka hal yang sama juga dengan bentuk-bentuk kekerasan seksual terjadi. Mulai dari perspektif seseorang, lalu cara mata memandang, dan tentu saja segala tindakan anggota tubuh. Bentuk kekerasan bisa lebih banyak mengikuti perkembangan relasi, sosial, dan teknologi.
Apapun bentuknya, kekerasan seksual adalah kezaliman yang dilarang secara tegas oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai teks hadis. Di antaranya seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah dan dicatat dalam Sahih Muslim, yaitu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اَلْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ، اَلتَّقْوَى هَا هُنَا». وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ: «بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ». رواه مسلم.
Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesama muslim adalah saudara, tidak boleh saling menzhalimi, mencibir, atau merendahkan. Ketakwaan itu sesungguhnya di sini,” sambil menunjuk dada dan diucapkannya tiga kali. (Rasul melanjutkan): “Seseorang sudah cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara muslim. Setiap muslim adalah haram dinodai jiwanya, hartanya, dan kehormatannya” (Shahih Muslim, Kitab al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adab, no. hadis: 6706).
Kekerasan seksual adalah bagian dari pelanggaran atas kehormatan seseorang (‘irdhun) yang diharamkan Rasulullah saw. Kekerasan atau kezaliman ini, seperti disindir Rasul dalam teks hadis di atas, berawal dari cara pandang yang merendahkan seseorang. Ketika seseorang merendahkan orang lain, maka ia mudah terdorong melakukan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Karena itu, Rasulullah saw menegaskan, bahwa seseorang menjadi buruk dan jahat jika sudah mulai merendahkan orang lain.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُما قَالَ قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ». (سنن ابن ماجه).
Dari Sahabat Ibn Abbas ra berkata: Rasulullah saw bersabda, “Tidak diperbolehkan mence–derai diri sendiri maupun mencederai orang lain” (Sunan Ibn Majah, Kitab al-Ahkam, no. hadis: 2431).
Teks hadis ini sangat populer di kalangan ulama, sehingga disusun satu kaidah fikih sendiri yaitu adh-dhara yuzal, bahwa sesuatu yang merusak, mencederai, dan membahayakan itu harus dihilangkan. Kaidah tersebut berlaku untuk semua dimensi kehidupan dalam Islam, baik ibadah maupuan relasi sosial muamalah. Ibadah, misalnya, jika terbukti akan membahayakan atau mencederai maka bisa dibatalkan, diundur waktunya, atau dilakukan dengan cara dan teknik yang lebih ringan. Transaksi yang merugikan atau membahayakan juga bisa dibatalkan. Pernikahan juga, bagi ulama fikih, bisa diharamkan ketika justru mendatangkan keburukan atau cedera bagi seseorang.
Dengan semangat kedua teks hadis di atas, tentu saja masih banyak teks lain yang sejalan bahwa kekerasan seksual secara prinsip adalah suatu keburukan dan kerusakan yang diharamkan dalam Islam. Karena itu, harus diupayakan dengan segala cara agar tidak terjadi dalam masyarakat kita. Upaya penghapusan kekerasan seksual ini merupakan kerja kolektif seluruh komponen umat dan bangsa, baik struktural melalui undang-undang, maupuan kultural melalui pendidikan publik.