Tanggung Jawab Struktural dan Kultural
Dalam sebuah teks hadis, Nabi Muhammad saw meminta para sahabat untuk menolong orang yang berbuat zalim, agar tidak melakukan kezaliman, dan orang yang dizalimi agar tidak lagi menjadi korban. Permintaan ini tentu saja berlaku umum, kepada kita semua, sesuai kapasitas dan kemampuan kita masing-masing.

 

عن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رضى الله عنه يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا (صحيح البخاري).

Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.” Kemudian seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, saya akan menolongnya jika ia dizalimi. Tapi bagaimana cara menolong orang yang berbuat zalim?”. Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya” (Sahih Bukhari, Kitab al-Ikrah, no. hadis: 7038).

Dalam hadis tersebut, dijelaskan tentang kewajiban untuk menolong orang-orang yang menjadi korban kezaliman. Di sisi lain, Nabi juga mengintruksikan untuk menolong orang yang berbuat zalim, dengan mecegahnya supaya tidak berbuat kezaliman tersebut. Dalam hadis lain, Nabi saw juga meminta kita semua untuk mencegah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan) yang kita miliki, lidah (perkataan), dan juga hati (komitmen penolakan).

عن أَبي سَعِيدٍ الخدري رضي الله عنه قال: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ (صحيح البخاري).

Dari Abu Sa’id al-Khudriy ra, berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang melihat kemungkaran terjadi, maka ubahlah (ia agar tidak terjadi) dengan ta–ngannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisanya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya” (Sahih Muslim, Kitab al-Iman, no. hadis: 186).

Tangan adalah simbol dari tindakan-tindakan nyata yang dapat menghentikan kemungkaran berupa kekerasan seksual. Pada saat sekarang, yang paling efektif dan mampu mendayagunakan seluruh sumber daya negara adalah melalui pemberlakuan RUU Pungkas. RUU ini berpotensi membuat jera pelaku, sekaligus memberikan perlindungan dan rehabilitasi bagi korban. Undang-undang ini penting sekali disahkan untuk memastikan seluruh warga negara, terutama perempuan, terlindungi dari segala bentuk kekerasan seksual.

Dalam sebuah teks hadis, mereka yang berkuasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan orang-orang yang terzalimi memperoleh perlindungan dan orang-orang miskin dapat memenuhi kebutuhan mereka.

مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ النَّاسِ ثُمَّ أَغْلَقَ بَابَهُ دُونَ الْمِسْكِينِ أَوِ الْمَظْلُومِ أَوْ ذِى الْحَاجَةِ أَغْلَقَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ دُونَهُ أَبْوَابَ رَحْمَتِهِ عِنْدَ حَاجَتِهِ وَفَقْرِهِ (مسند الإمام أحمد).

“Barangsiapa yang memperoleh amanah kekuasan dan pemerintahan atas orang-orang, lalu menutup pintunya (tidak memberi perlin–dungan kepada) orang miskin, orang yang terzalimi, atau yang memiliki kebutuhan, maka Allah Swt akan menutup darinya pintu-pintu rahmat-Nya pada saat ia sangat membutuhkannya” (Musnada Ahmad, no. 16187).

Substansi dari teks hadis ini menuntut mereka yang memegang kekuasaan untuk memberi perlindungan kepada mereka yang terzalimi, yaitu para korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual sangat mengancam mereka yang lemah secara sosial, terutama perempuan dan anak-anak. Kekerasan seksual bisa mengancam masa depan kehidupan korban. Negara, dengan demikian, bertanggung jawab dengan segala perangkat hukum, kebijakan, serta sumber daya yang dimilikinya untuk memastikan warganya merasa aman dari segala ketakutan, kezaliman, ketidakadilan, dan kekerasan, terutama kekerasan seksual.

Selain jalur struktural, pendidikan publik dalam jalur kultural juga penting dan harus. Undang-undang yang baik, jika tidak dipahami dengan baik, apalagi tidak diterima oleh rakyatnya sendiri, bisa dipastikan implementasinya malah justru akan buruk. Alih-alih melindungi korban kekerasan seksual, malah bisa menambah beban dan kekerasaan kepada korban.

Dalam semangat pendidikan kultural ini, penting sekali menghadirkan wasiat Nabi Muhammad saw pada saat Haji Wada’ agar semua komponen umat berpikir, berkata, dan berperilaku baik kepada perempuan. Terutama, karena perempuan secara sosial sering dipandang rendah, sehingga mudah dijadikan korban segala tindak kejahatan dan kekerasan.

 

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الأَحْوَصِ حَدَّثَنِى أَبِى أَنَّهُ شَهِدَ حِجَّةَ الْوَدَاعِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ ثُمَّ قَالَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٍ لَيْسَ تَمْلِكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ (سنن ابن ماجه).

Dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash, berkata: ayahku telah menceritakan kepadaku, bahwa ia menghadiri Haji Wada’ (perpisahan) bersama Rasulullah saw. Beliau (berkhutbah) dengan menyampaikan syukur kepada Allah Swt, memuji-Nya, mengingatkan (kita) dan memberi nasihat (kepada kita), lalu berkata: “Aku wasiatkan kepada kalian semua tentang perempuan, untuk selalu berbuat baik (kepada mereka), karena mereka di antara kalian sering dianggap sebagai (orang laksana) tawanan. Padahal, kalian tidak berhak sama sekali dari (dan kepada) mereka, kecuali untuk kebaikan (mereka) tersebut” (Sunan Ibn Majah, Kitab an-Nikah, no. hadis: 1924).

Pada konteks kekerasan seksual, kebaikan dalam wasiat ini merujuk untuk tidak melakukan kekerasan seksual, tidak menganggapnya sebagai hal biasa dan lumrah, serta tidak memberi stigma buruk kepada korban kekerasan. Sebaliknya, melakukan segala upaya agar perempuan dan anak-anak terbebas dari segala tindak kekerasan. Menolong, melindungi, dan memberdayakan para korban kekerasan adalah tanggung jawab kita bersama, baik yang melalui jalan struktural, maupun kultural.

Kebaikan yang diminta Nabi saw dalam wasiat ini, tentu saja akan paripurna jika dilandasi dengan cara pandang bermartabat kepada perempuan, tidak merendahkan, atau mendiskriminasi, baik di dalam maupun di luar rumah. Yaitu, cara pandang dan perilaku yang menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai subjek penuh kehidupan, yang berhak atas segala kemaslahatan hidup dan terbebas dari segala bentuk kekerasan. Melalui cara pandang ini, penanganan kekerasan dan kerja-kerja perlindungan korban akan lebih mudah dilakukan. Semoga.

*Penulis adalah dosen di IAIN Syech Nurjati Cirebon dan penggagas konsep Mubadalah

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here