Oleh: Isthiqonita

Dalam kesibukan dan aktivitas pesantren atau majelis taklim, ulama perempuan tidak lupa pada persoalan yang dihadapi masyarakat, khususnya persoalan kekerasan yang dialami perempuan. Bunyinya memang tidak nyaring, namun kiprah ulama perempuan yang mendampingi perempuan korban kekerasan tidaklah sunyi.

Memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) pada 25 November hingga 10 Desember 2020, Rahima didukung oleh We Lead* membuat rekaman suara serta video terkait pengalaman ulama perempuan dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Pengalaman tersebut menyoroti kasus-kasus kekerasan yang pernah ditangani serta tantangan yang dialami oleh ulama perempuan. Ada 15 rekaman suara yang disebarluaskan melalui media sosial swararahima dan satu video berjudul ‘Pembelaan Ulama Perempuan Terhadap Penghapusan Kekerasan Seksual’ yang ditayangkan di kanal Youtube Swararahima dotcom.

Dalam narasinya, para ulama perempuan membagikan pengalaman mereka berjibaku dengan perempuan korban kekerasan. Di lapangan, ulama perempuan mendampingi korban yang mengalami kekerasan oleh suaminya hingga babak belur. Ada remaja yang mengalami kekerasan seksual oleh pasangannya, ada pula anak yang dipaksa menikah di bawah umur, maupun bentuk-bentuk kekerasan lainnya.

Tantangan kerap kali datang dari berbagai arah. Misalnya, keluarga korban yang menganggap kasus kekerasan seksual adalah tabu. Beberapa keluarga pelaku mengintimidasi korban hingga korban memilih untuk damai di tengah proses hukum yang tengah berjalan. Ulama perempuan juga berhadapan dengan pelaku yang berasal dari kalangan tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga pejabat publik. Tak jarang ulama perempuan mendapat ancaman kekerasan dari pelaku. Salah satu ulama perempuan mendapat pengusiran dari pesantrennya karena dianggap menampung perempuan-perempuan berdosa, padahal ia menampung perempuan korban pemerkosaan.

Meskipun harus menghadapi banyak tantangan, ulama perempuan tetap berstrategi untuk melepaskan rantai kekerasan yang terjadi pada korban kekerasan. Ulama perempuan berjejaring dengan lembaga pendamping kekerasan dan berkomunikasi dengan keluarga korban supaya korban mendapat pendampingan. Bahkan ada yang menjadikan pesantrennya sebagai shelter bagi korban kekerasan.

Selain mendampingi korban, ulama perempuan juga mengajak masyarakat untuk menghentikan segala bentuk kekerasan khususnya kepada perempuan. Mereka menyampaikan ajaran agama yang ramah, anti kekerasan, dan tidak mendiskriminasi perempuan. Ulama perempuan juga turut mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual (RUU Pungkas), karena RUU Pungkas sejalan dengan ajaran agama, sebagaimana semangat Islam adalah menjaga martabat kemanusiaan.

*We Lead merupakan kolaborasi 7 organisasi masyarakat sipil yang bergerak bersama untuk meningkatkan pemenuhan hak perempuan dan kelompok rentan, mendorong partisipasi dan kepemimpinan perempuan, serta mempromosikan toleransi.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here