Foto: Dok.Pribadi
Oleh: Nurul Sugiarti*
Sebagai pekerja sosial yang bekerja mendampingi perempuan dan anak korban kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual, berinteraksi dengan korban adalah keseharian saya. Mulanya, perempuan yang menjadi korban kekerasan enggan melaporkan kasusnya. Anggapan bahwa melaporkan kasus, apalagi dalam rumah tangga, merupakan aib. Namun kini banyak korban yang menyadari bahwa kekerasan tidak bisa ditoleransi.
Kekerasan seksual memang tidak memandang siapa yang menjadi korban, dan siapa pelakunya. Ada anak perempuan berusia 15 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual oleh ayah tirinya sejak korban berusia 5 tahun, ia tidak mengadu karena mendapat ancaman dari pelaku. Ibunya tidak berpihak pada korban dan justru dianggap kegenitan dan menggoda pelaku.
Ada juga seorang perempuan yang mendapatkan kekerasan dari suaminya dengan alasan menolak berhubungan seksual, padahal ia tengah menstruasi. Pelaku tidak mau tahu dan memukul istrinya hingga babak belur. Punggung dan dada korban kala itu penuh luka akibat sabetan ikat pinggang. Ternyata pelaku telah melakukan kekerasan kepada istrinya selama 13 tahun, bahkan anak-anaknya juga sering menyaksikan ibunya disiksa ayahnya. Pelaku hanya dihukum dua tahun penjara, dan hukuman tersebut sangat jauh dari keadilan.
Tidak hanya hukuman ringan yang didapatkan pelaku, ada pula pelaku yang bebas dari jerat hukum. Ada korban kekerasan seksual yang pelakunya adalah suaminya, dan memilih rujuk dan mencabut laporannya karena memiliki keterbatasan ekonomi serta ketakutan tidak ada yang menafkahi. Ada juga yang memutuskan berhenti memperkarakan pelaku karena mendapat ancaman dan diintimidasi oleh keluarga pelaku. Di sisi lain, fasilitas pemerintah juga masih belum memadai, masih tidak ada tempat khusus bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk tinggal sementara setelah mengalami kekerasan agar terhindar dari ancaman dan intimidasi pelaku.
Tidak hanya korban, pendamping kasus kekerasan juga kerap mengalami intimidasi dan ancaman. Rumah saya pernah dilempar batu hingga jendela pecah, motor diserempet, ancaman melalui pesan-pesan di telepon seluler, dan lain sebagainya. Ancaman tersebut terjadi karena masih ada anggapan bahwa saya selaku pendamping korban kekerasan terlalu mencampuri urusan orang lain, terutama masalah rumah tangga.
Pengalaman-pengalaman saya di lapangan membuktikan bahwa negara masih belum serius dalam menangani kasus kekerasan seksual, baik ancaman hukum bagi pelaku, maupun pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Negara juga belum melindungi pendamping korban kekerasan yang rentan diintimidasi. Oleh sebab itu, bagi saya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas) adalah jalan untuk melakukan pencegahan, penanganan, pemulihan serta perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
*Penulis adalah Pendamping Korban Kekerasan Tehadap Perempuan di Sumenep.
Similar Posts:
- Kegiatan Kampanye 16 HAKTP
- Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Part I)
- Forum Pengada Layanan, Melindungi Hak Korban Kekerasan hingga Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
- Kekerasan di Pesantren: dampak Kesetraan yang Tidak Diajarkan dalam Pendidikan Berbasis Agama
- Polemik Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Part II)