Foto: Dok.Net
Lalu, apakah ada hadis Nabi perihal relasi suami-istri dalam hubungan seksual?
Dalam relasi suami-istri, ada sebuah hadis yang bicara tentang bagaimana cara-cara berhubungan suami istri dalam keluarga. “Wa laa yaqo’anna ahadukum imro`atahu kamaa taqo’ul bahiimah, Walyakun bainahumaa rosuulun, Wa qiila, Al-Qublatu wal kalaam.” Artinya, “Janganlah kalian para suami mendatangi istri kalian itu seperti seekor keledai. Hendaklah kalian, sebelum itu, prolognya.” Sahabat bertanya “Ya Rasul, prolognya itu seperti apa?” Lalu Nabi mengatakan, “Ciuman mesra dengan kata-kata yang indah merayu”. Ini adalah hadis riwayat Ahmad bin Hanbal. Jadi, Nabi pun sudah mengajarkan hal-hal yang artinya jangan memaksa.
Selain itu, terdapat sebuah hadis yang menceritakan seorang sahabat perempuan datang kepada Nabi. Ia mengatakan, ‘Saya tidak suka dengan suami saya, cara dia memperlakukan saya itu kasar.’ Lalu Nabi mengatakan, ‘Kalau begitu kamu tinggalkan saja suami kamu. Kamu tidak boleh diperlakukan seperti itu.’ Maksud dari hadis tersebut adalah Nabi tidak menyukai seorang suami yang berlaku kasar pada istrinya.
Salah satu bentuk kekerasan seksual adalah inses. Bagaimana hukuman dalam Islam bagi pelaku inses tersebut, mengingat pelaku adalah orang yang harusnya melindungi korban?
Dalam perbincangan fikih, hukuman terhadap pelaku zina adalah dirajam. Namun inses tidak banyak dibicarakan di dalam fikih. Dalam buku-buku fikih, tidak ditemukan bagaimana seseorang harus merajam seorang ayah maupun kakek, tetapi yang muncul adalah wacana tentang mengawinkan orang yang diperkosa. Saya melihat fikih tersebut tidak adil dalam perbincangan seperti ini. Inses tidak muncul pembahasannya. Menurut saya hukuman bagi pelaku inses harus dua kali dari pelaku zina. Karena keluarga semestinya melindungi bukan malah menjadi pelaku. Dalam fikih hanya ada perbedaan hukuman antara yang sudah menikah dan belum menikah. Pelaku yang sudah menikah hukumannya lebih berat karena sudah berpengalaman dan mestinya bisa menahan diri. Tetapi bagi saya tergantung dari bentuk-bentuk kejahatannya. Apalagi bila kejahatannya merusak alat-alat kelamin.
Bagaimana peran negara dalam upaya pencegahan kekerasan seksual, baik dalam keluarga maupun di luar keluarga?
Dalam upaya pencegahan, negara bertanggung jawab untuk penguatan literasi agama, pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi, dan hak asasi manusia. Pertama, dalam hal pendidikan agama, negara harus menggunakan seluruh perangkat yang dimilikinya untuk mengembangkan pendidikan agama yang kompatibel dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi perlu dijelaskan kepada masyarakat. Hal ini penting, karena masih banyak masyarakat yang tidak mengerti kesehatan reproduksi, hak-hak reproduksi, fungsi penis dan vagina, dan sebagainya. Harusnya pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi diajarkan sejak dini, membahas tentang tubuh, cara merawatnya, membasuhnya, dan mencucinya. Kemudian pendidikan tentang moralitas, terkait mana yang boleh dan tidak boleh dalam budaya manapun, karena setiap budaya memiliki perbedaan. Berikutnya adalah pendidikan ajaran agama terkait kesehatan reproduksi. Misalnya bagaimana agama mengajarkan tentang haid dan apa saja yang dianjurkan dan tidak dianjurkan selama haid.
Ketiga, pendidikan yang berkaitan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) secara menyeluruh. Manusia adalah makhluk merdeka dan suami tidak boleh semena-mena terhadap istrinya. Dalam seksualitas juga tidak boleh ada paksaan, masing-masing harus minta izin. Sayangnya hal tersebut tidak pernah diajarkan, seolah-olah ketika menikah, suami boleh melakukan apa saja, terutama dalam seksualitas. Menurut saya hal ini sangat penting. Beberapa negara telah berhasil menurunkan angka kekerasan seksual ketika mereka memiliki kesadaran tinggi tentang pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang komprehensif.
Bagaimana seharusnya pemerintah bersikap dalam menghadapi kelompok yang kontra terhadap RUU Pungkas?
Dinamika pro-kontra terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Pungkas) di level masyarakat sangat kuat, terutama narasi-narasi yang dikembangkan oleh kelompok yang kontra. Adanya pandangan kelompok yang menganggap RUU Pungkas anti Islam merupakan imbas dari pandangan fundamentalisme agama di masyarakat. Pemerintah harus membaca situasi tersebut sebagai dampak dari menguatnya pandangan fundamentalisme dan konservatisme Islam di Indonesia. Sangat jelas kelompok fundamentalisme mengajarkan bahwa seksualitas hanya milik laki-laki dan perempuan hanya dianggap objek.
Seharusnya pemerintah juga tahu pihak siapa saja yang berada dalam kelompok kontra tersebut. Political will pemerintah untuk membangun masyarakat yang demokratis itu masih sekadar basa-basi. Semestinya negara memiliki langkah yang jelas dalam merespons situasi tersebut. Ketika bicara tentang demokrasi, maka pilarnya adalah HAM. Para penyelenggara negara harus peduli dan sensitif dengan kondisi gerakan fundamentalisme yang sudah menyeruak sampai ke level akar rumput.
Sebetulnya pandangan fundamentalisme dan konservatisme Islam itu sudah lama. Di kalangan NU dan Muhammadiyah misalnya, pihak yang menolak RUU Pungkas cukup luas. Tetapi biasanya penolakan di tingkat organisasi tersebut tidak sampai mengganggu konservatisme. Berbeda dengan kelompok fundamentalisme, ketika seseorang tidak melaksanakan (pandangan hukum agama-red), maka dianggap keluar dari agama.
Bagaimana sikap ormas Islam utamanya NU dan Muhammadiyah dalam menyikapi kelompok yang menolak RUU Pungkas?
Hendaknya pemimpin organisasi-organisasi seperti NU dan Muhammadiyah perlu melakukan upaya literasi agama. Upaya literasi beragama ini penting sekali. Karena dalam memperkuat literasi agama itulah kita diajarkan tentang pentingnya sikap kritis di dalam beragama. Moderasi beragama itu sangat penting, maka tidak boleh berhenti pada tataran wacana semata, tetapi harus dikonkretkan.
Sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam, kita sangat malu apabila kasus kekerasan seksual terjadi berulang-ulang dengan jumlah kasus yang semakin banyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa kita adalah umat Islam yang sungguh tidak mampu mengimplementasikan ajaran Islam yang luhur, penuh kasih sayang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
*Penulis adalah Staf Program Alimat