Foto: Dok.Pribadi
Oleh: Dr. Nur Rofi’ah
Sejarah peradaban manusia diwarnai dengan cara pandang dan tradisi tidak manusiawi pada perempuan. Perempuan dipandang sebagai benda milik laki-laki. Pertama ayah, lalu suami, lalu anak atau kerabat laki-laki lainnya. Laki-laki bisa menjadikan perempuan sebagai hadiah, warisan, dan dagangan, serta memodifikasi tubuh perempuan, termasuk memotong vagina demi kepentingan laki-laki.
Perkawinan masih umum dipandang sebagai perpindahan hak kepemilikan atas perempuan dari ayah ke suami. Ayah bisa memaksa anak perempuan yang masih kecil untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Perundangan Romawi membolehkan ayah menjual anak perempuan kandungnya (Haekal, 1979). Suami juga bisa menjual istrinya. Inggris baru membatalkan perundangan yang membolehkan hal ini pada awal abad 19 (Shihab, 2001).
Ayah dipandang wajar memerkosa anak perempuan kandungnya dan suami dipandang wajar memerkosa istrinya. Kalimat ‘suami memerkosa istri’ dipandang sama anehnya dengan ‘suami mencuri uang dari dompetnya sendiri’. Pelecehan seksual dan perkosaan seringkali tidak dipandang sebagai kejahatan atas perempuan sebagai korban, melainkan hak atas laki-laki sebagai pemiliknya. Denda pun tidak dibayarkan pada perempuan, melainkan pada laki-laki. Perkosaan atas perempuan yang tidak memiliki ayah maupun suami dipandang sama dengan menemukan koin di tengah jalan sehingga tidak dipandang sebagai kejahatan (Harari, 172).
Pengaruh cara pandang atas kemanusiaan perempuan di atas masih kuat hingga kini sehingga penghapusan kekerasan seksual menjadi sulit. Tafsir tertentu atas Alquran pun kerap dijadikan legitimasi sehingga penghapusannya dipandang menentang Alquran. Benarkah demikian?
Akar Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual pada perempuan berakar pada cara pandang negatif atas kemanusiaan perempuan. Penghapusannya dalam Alquran pun dimulai dari ayat-ayat tentang jati diri kemusiaan perempuan. Islam hadir pada abad 7 M. Bayi perempuan masih lazim dikuburkan hidup-hidup, dipaksa kawin selagi masih kanak-kanak, dipoligami dalam jumlah istri tak terbatas, dilacurkan secara paksa sebagai budak, dijadikan warisan, dan sebagainya.
Islam menegaskan kemanusiaan perempuan (QS. Al-Hujurat, 49:13) sehingga juga memiliki dimensi intelektual dan spiritual. Bahkan dimensi non fisik manusia lebih abadi karena tetap ada setelah kematian (QS. Al-An’am, 6:94). Secara fisik, laki-laki dan perempuan tercipta dari bahan dan proses yang sama (QS. Al-Mu’minun, 23:12-14). Secara spiritual, keduanya sama-sama tercipta dari jiwa yang satu (nafsin wahidah) (QS. An-Nisa, 4:1), punya status melekat sebagai hanya hamba Allah (QS. Adz-Dzariyat, 51:56), dan mengemban amanah sebagai Khalifah fil Ardl untuk mewujudkan kemaslahatan di bumi (QS. Al-Ahzab, 33:72). Nilai keduanya hanya tergantung ketakwaan (QS. Al-Hujurat, 49:13), yakni sejauh mana komitmen tauhidnya pada Khalik melahirkan kemaslahatan pada sesama makhluk.
Secara fisik, laki-laki dan perempuan mempunyai sistem reproduksi yang berbeda. Perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, sedangkan laki-laki tidak. Pengalaman biologis khas perempuan ini disertai yang kerap kali disertai pendarahan menjadi alasan untuk merendahkan perempuan karena dipahami sebagai kutukan. Perempuan dipandang sebagai sumber fitnah bagi laki-laki sebagaimana Hawa as sebagai sumber fitnah bagi Adam as hingga terusir dari surga. Alquran menegaskan bahwa penggoda Adam as adalah Setan (QS. Al-Baqarah, 2:36) dan secara langsung menggodanya (QS. Thaha, 20:120-122). Dua surat sama-sama hanya menyebutkan Adam as sebagai pihak yang bertaubat karena dialah yang tergoda.
Alquran membangun cara pandang empatik pada pengalaman biologis perempuan. Menstruasi disebut sebagai sesuatu yang menyakitkan (adza) (QS. Al-Baqarah, 2:222). Quraish Shihab dalam al-Mishbah (2012) menjelaskan bahwa ayat ini memberi petunjuk bagaimana cara menyikapi menstruasi (dengan baik). Kehamilan hingga penyusuan disebut sebagai pengalaman yang melelahkan (kurhan) (QS. Al-Ahqaf, 46:15), bahkan sakit/payah yang berlipat (wahnan ala wahnin) (QS. Luqman, 31:14). Ayat tersebut mengandung pesan kuat pada seluruh manusia untuk pandai berterima kasih pada perempuan sebagai ibu kehidupan. Penyusuan bayi disebut sebagai pengalaman yang tidak boleh membuat keadaan bayi maupun ibu sulit (QS. Al-Baqarah, 2:233). Abi Thahir bin Ya’qub dalam Tanwirul Miqbas menegaskan bahwa dua tahun dalam ayat ini berkaitan dengan kewajiban ayah memberi nafkah (Ya’qub, 1995).
Strategi Penghapusan
Islam mempunyai misi mewujudkan kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta (QS. Al-Anbiya, 21:107) termasuk bagi perempuan, dan menyempurnakan akhlak mulia manusia termasuk akhlak pada perempuan. Islam di dalam Alquran mempunyai dua strategi penghapusan tindakan tidak manusiawi termasuk kekerasan seksual pada perempuan. Pertama, penghapusan secara langsung dan total. Misalnya larangan penguburan bayi perempuan hidup-hidup. Kedua, melalui target antara. Misalnya strategi terkait poligami, bagian waris anak laki-laki dan perempuan, dan nilai saksi perempuan dalam piutang.
Alquran merekam sejarah panjang pemanusiaan perempuan sehingga mengandung tiga jenis ayat. Pertama, Ayat Titik Berangkat, yaitu ayat-ayat yang merefleksikan cara masyarakat memandang perempuan sebagai benda. Misalnya ayat tentang perempuan sebagai bidadari surga (QS. Ar-Rahman, 55:56-58), aksesori kehidupan (QS. Ali Imran, 3:14), dan ladang (QS. Al-Baqarah, 2:223). Cara pandang dan sikap seperti ini pada perempuan adalah sesuatu yang akan diubah selama masa pewahyuan. Kedua, Ayat Target Antara, yaitu ayat yang mengandung cara pandang bahwa perempuan adalah sepersekian dari laki-laki. Misalnya ayat tentang bagian waris anak perempuan (QS. An-Nisa, 4:11), dan nilai saksi perempuan dalam piutang (QS. Al-Baqarah, 2:282), dan poligami (QS. An-Nisa, 4:3). Ketiga, Ayat Tujuan Final, yaitu ayat-ayat yang mengandung cara pandang bahwa perempuan adalah setara dengan laki-laki. Misalnya ayat tentang status laki-laki dan perempuan sebagai hanya hamba Allah (QS. Adz-Dzariyat, 51:56), Khalifah fil Ard (QS. Al-Ahzab, 33:72), kualitas ditentukan oleh ketakwaan (QS. Al-Hujurat, 49:13), dapat pahala jika berbuat baik (QS. An-Nahl, 16:97).
Strategi preventif Alquran antara lain dilakukan dengan memberikan dua tuntunan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan, yaitu Ghodldlul Bashar (mengontrol cara pandang), bukan sekadar penundukan mata (Ghodldlul ‘Uyun) dan menjaga alat kelamin (Hifdhul Furuj) (QS. An-Nur, 24:30-31). Laki-laki dan perempuan dalam kapasitas apapun mesti bergaul sebagai makhluk yang berakal budi, bukan sebatas makhluk fisik apalagi seksual. Hanya dengan cara ini pergaulan bisa mencerdaskan dan menajamkan spiritualitas sehingga memberikan kemaslahatan pada kedua belah pihak (Rofi’ah, 2020). Strategi kuratif Alquran antara lain dilakukan dengan melarang mendekati zina (QS. Al-Isra, 17:32), dan melakukan zina (QS. An-Nur, 24:3). Larangan-larangan ini adalah bentuk perlindungan atas perempuan dari pelecehan seksual hingga perkosaan. Mendekati zina, apalagi melakukannya, baik dilakukan secara sukarela apalagi paksaan, dilarang keras dalam Islam.
Kekerasan seksual dicegah oleh Alquran dengan perubahan cara pandang atas perkawinan. Tujuan perkawinan bukanlah kesenangan seksual suami, melainkan ketenangan jiwa (sakinah) suami dan istri sehingga relasi keduanya juga bukanlah kepemilikan mutlak suami atas istri, melainkan cinta kasih (Mawaddah wa Rahmah) (QS. Ar-Rum, 30:21). Perkawinan seperti ini ditopang oleh lima pilar. Pertama, suami dan istri bukanlah atasan dan bawahan melainkan berpasangan (Zawaj) (QS. Ar-Rum, 30:21). Kedua, perkawinan bukanlah kontrak peralihan kepemilikan atas perempuan, melainkan komitmen suami dan istri dengan Allah sehingga disebut janji kokoh (Mitsaqan Ghalidlan) (QS. An-Nisa, 4:21). Ketiga, suami tidak lagi boleh sewenang-wenang sebab suami dan istri mesti bergaul secara bermartabat (Mu’asyarah bil-Ma’ruf) (QS. An-Nisa, 4:19). Keempat, suami tidak lagi boleh melakukan KDRT karena keduanya mesti mengatasi masalah dengan musyawarah (Qs. Al-Baqarah, 2:233). Kelima, tidak hanya istri yang mesti mendapatkan ridlo suami, melainkan keduanya sama-sama perlu menjaga kerelaan kedua belah pihak (taradlin) (QS. Al-Baqarah, 2:233). Hubungan seksual suami istri mestinya menjadi mencerminkan landasan moral perkawinan.
Tantangan Penghapusan
Perubahan besar-besaran atas kesadaran tentang kemanusiaan perempuan tercermin dalam testimoni yang diberikan sahabat Umar bin Khattab ra dalam sebuah riwayat, “Demi Allah, kami pada masa jahiliah tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Kemudian Allah menurunkan wahyu dan terus menyebut mereka, barulah kami sadar mereka mempunyai hak yang tidak boleh kami intervensi” (HR. Bukhari). Tantangan penghapusan kekerasan seksual sejak dulu hingga kini terkait erat dengan kesadaran atas kemanusiaan perempuan.
Alquran sebagai sebuah sistem ajaran telah menunjukkan spirit kuat pemanusiaan perempuan dan spirit penghapusan kekerasan seksual secara penuh, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Tantangannya adalah Alquran terus dibaca oleh manusia dengan tiga jenis kesadaran tentang kemanusiaan perempuan. Pertama, pembaca Alquran dengan kesadaran terendah yang memandang perempuan adalah benda, bukan manusia sehingga cenderung melihat Ayat Titik Berangkat sebagai norma ideal Islam. Akibatnya, mereka gagal mengaitkan pesan kemaslahatan Islam dengan perempuan.
Kedua, pembaca Alquran dengan kesadaran menengah yang memandang bahwa perempuan adalah makhluk sekunder sehingga cenderung melihat Ayat Target Antara sebagai norma ideal Islam. Akibatnya, mereka gagal mengaitkan pesan kemaslahatan Islam dengan pengalaman kemanusiaan khas perempuan, baik secara biologis maupun sosial.
Ketiga, pembaca dengan kesadaran tertinggi yang memandang bahwa perempuan adalah manusia sepenuhnya sehingga cenderung melihat Ayat Tujuan Final sebagai norma ideal Islam. Dampaknya, mereka berikhtiar kuat untuk memastikan agar kemaslahatan Islam tidak menambah sakit lima pengalaman biologis perempuan dan tidak mengandung satupun lima pengalaman sosial perempuan (Rofi’ah, 2020).
Tantangan utama penghapusan kekerasan seksual dalam Islam dengan demikian tidak terletak pada sistem ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam Alquran, melainkan pada kesadaran kemanusiaan perempuan, baik laki-laki maupun perempuan, dan cara mereka memahami Alquran. Karenanya ikhtiar penghapusan kekerasan seksual dalam Islam mesti disertai dengan ikhtiar membangun kesadaran tentang kemanusiaan penuh perempuan, agar Ayat Tujuan Final dapat menjadi fondasi sistem kehidupan yang penuh rahmat bagi semesta, termasuk bagi perempuan. Wallahu A’lam.
*Penulis adalah dosen Tafsir Alquran PTIQ Jakarta
Similar Posts:
- Mengkaji Tentang Peran Laki-laki dalam Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
- Langkah Pencegahan Kekerasan Berbasis Gender
- Hak Asasi Perempuan dalam Deklarasi Kairo
- Kesalehan Ritual dan dan Sosial dalam Pemenuhan Hak Seksual Perempuan
- Musdah Mulia: “Tidak Boleh Ada Manusia yang Diperlakukan secara Semena-mena dengan Kekerasan apapun Bentuknya” (Part I)