Foto: Dok.Net
Oleh: Firtia Sari*
Sudah semestinya negara memiliki jaminan keamanan dan perlindungan bagi warga negaranya. Namun, pengesahan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual hingga saat ini mengalami tarik ulur. Padahal, angka korban kekerasan seksual terus bertambah sedangkan payung hukum tidak memadai. Kontributor Swara Rahima, Fitria Sari, mewawancarai Komisioner Komnas Perempuan periode 2010 sampai 2019 Sri Nurherawati untuk membahas perjalanan RUU Pungkas serta urgensi RUU Pungkas bagi korban kekerasan seksual. Saat ini aktif sebagai Ketua Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) Bogor.
Apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual?
Dalam draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas), definisi kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual dan atau fungsi reproduksi secara paksa. Perbuatan tersebut bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang tak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan atau politik.
Dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) Komnas Perempuan dan pemerintah per Juli 2018, frasa ketimpangan relasi kuasa dan relasi gender diperjelas. Sehingga definisi kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan dan atau menyerang terhadap tubuh, keinginan seksual, dan atau fungsi reproduksi seseorang dengan memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis kelamin yang dapat disertai dengan status sosial lainnya, yang berakibat atau dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan atau politik.
Siapakah yang pertama kali mengusung RUU Pungkas ini?
RUU Pungkas disusun oleh Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL). Awalnya RUU ini diusulkan oleh para pengusul dari anggota DPR RI lintas fraksi pada Oktober 2016. Kemudian ditindaklanjuti oleh Badan Legislasi DPR RI dengan melakukan kajian harmonisasi terhadap draf RUU tersebut hingga menetapkan Naskah RUU Penghapusan DPR per 31 Januari 2017. Rapat Paripurna DPR RI tertanggal 6 April 2017 selanjutnya menyetujui RUU Pungkas sebagai inisiatif DPR RI. Kemudian pada 7 April 2017 pihak DPR RI telah menyampaikan Naskah RUU Pungkas kepada Presiden RI, dengan melibatkan berbagai unsur dari akademisi, pendamping korban, aparatur penegak hukum, dan juga bekerja sama dengan Dewan Perwakilan Daerah RI.
Mengapa RUU tersebut diberi judul penghapusan kekerasan seksual, bukan kejahatan seksual?
RUU Pungkas tetap menggunakan kata “penghapusan” dengan beberapa alasan. Pertama, kata “penghapusan” memiliki dimensi pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi. Kedua, kata “penghapusan” memberi penekanan adanya suatu tindakan bertahap yang perlu dilakukan untuk mencapai kondisi terhapuskannya tindak pidana kekerasan seksual, sehingga dalam praktiknya membutuhkan waktu dan kerja bersama setiap komponen bangsa.
Ketiga, “penghapusan” mencerminkan kondisi ideal yang hendak dicapai, sekaligus pengakuan bahwa ketika kekerasan seksual masih saja terjadi bukan berarti upaya yang dilakukan untuk menghapuskan kekerasan seksual menemui kegagalan. Justru sebaliknya, kata “penghapusan” menunjukkan bahwa adanya upaya yang telah dilakukan merupakan konsistensi bangsa Indonesia dan komitmen politik untuk menghapuskan kekerasan seksual baik sebelum dan sesudah terjadinya kekerasan seksual, di tengah situasi dan kondisi yang belum sepenuhnya mengakomodasi upaya mulia itu.
Apa yang membuat pembahasan RUU Pungkas ini alot di DPR, padahal sudah diusulkan sejak 2016?
Menurut saya ada beberapa alasan. Pertama, karena merasa kalah saat Judicial Review (JR) di Mahkamah Konstitusi (MK), maka kelompok pemohon bertarung di DPR untuk menjegal RUU Pungkas. Target mereka adalah RUU ini tidak dibahas, itu intinya. Maka, di dalam prosesnya judul “kekerasan seksual” diajukan untuk diganti dengan “kejahatan seksual”. Tujuannya adalah persoalan yang diproses di JR tersebut dinyatakan sebagai bentuk tindak pidana. Namun, apabila frasa diganti menjadi “kejahatan seksual” maka akan masuk sebagai tindak pidana dan perempuan korban kekerasan seksual akan banyak dikriminalisasi.
Kedua, di DPR sendiri para anggota legislatif tidak solid dalam membahas RUU Pungkas karena isi dari RUU Pungkas dipolitisasi. Mereka kemudian berpikir secara politis untuk kepentingan politik praktis, bukan secara strategis pencapaian tujuan pembangunan hukum nasional. Mereka sedang dibawa pada pertarungan soal konstituen karena waktu itu menjelang Pemilu yang sedang berebut konstituen.
Ketiga, di tingkat pemerintah dan DPR sendiri tidak ada yang leading soal pengetahuan, sehingga banyak yang tidak paham substansi dari RUU Pungkas. Kemudian dihadapkan pada kebutuhan praktis, yaitu soal konstituen yang sudah mendapat informasi palsu tentang RUU Pungkas. Jadi memang menjadi pertarungan soal pengetahuan, soal politisasi, dan politik praktisnya. Sayangnya pihak-pihak yang seharusnya melakukan soal politik dan pengetahuan itu tidak diisi.
Pada tingkat pemerintah DIM-nya sempat mengabaikan soal frasa gender. Hal tersebut mendorong kami berjuang di level pemerintah sampai ke Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) agar frasa gender kembali ada. Selain itu, minimnya pemahaman anggota DPR terhadap CEDAW yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia menjadi UU NO. 7 Tahun 1984. Jadi kami mengingatkan anggota dewan dan pemerintah bahwa CEDAW adalah mandat pemerintah, bukan produk barat.
Bagaimana strategi yang dilakukan Komnas Perempuan untuk mendorong RUU Pungkas?
Kami menyampaikan substansi pengaturan dalam RUU Pungkas ini sebagai upaya pembaruan hukum untuk mengatasi berbagai persoalan yang selama ini menghambat akses perempuan korban terhadap kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan, dan jaminan ketidak berulangan. Pembaruan hukum ini memiliki berbagai tujuan. Pertama, melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual. Kedua, mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang melibatkan masyarakat agar berpihak pada korban dan korban dapat melampaui kekerasan yang ia alami (menjadi seorang penyintas). Ketiga, memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi pelaku kekerasan seksual. Keempat, menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Similar Posts:
- Polemik Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Part II)
- Darurat Kekerasan Seksual dan Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (Part II)
- Kegiatan Kampanye 16 HAKTP
- Korban Kekerasan Seksual Membutuhkan Perlindungan
- Forum Pengada Layanan, Melindungi Hak Korban Kekerasan hingga Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual