Foto: Dok.Net

 

Bagaimana seharusnya pemerintah merespons persoalan kekerasan seksual?
Pertama, menggerakkan sistem hukum untuk memudahkan aparat penegak hukum dan pemerintah bekerja dalam menangani kasus kekerasan seksual. Hal tersebut penting agar untuk mencegah keberulangan terjadinya kasus kekerasan seksual. Kedua, substansi RUU diarahkan pada pencapaian tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN), Nawacita, Sustainable Development Goals (SDGs), serta implementasi CEDAW dalam menciptakan nilai kesetaraan gender.

 

Apa strategi yang dilakukan oleh Komnas Perempuan untuk menguatkan pemerintah dalam mendorong RUU Pungkas?
Kami menemani Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) ketika terjadi serangan. Jadi ketika diserang soal frasa gender, kami membantu KPPPA dalam memberikan jawaban bahwa kita telah memiliki kebijakan nasional mengenai pengarusutamaan gender. Kita punya dasar hukumnya dan dasar hukum itulah yang harus dipakai. Dasar hukum yang harus dipakai landasannya adalah Pancasila dan Undang Undang Dasar.

Saya termasuk yang menemani Ibu Deputi agar ia dapat menjawab pertanyaan dari berbagai pihak, termasuk yang kontra terhadap RUU Pungkas. Briefing media dapat menjadi momentum untuk meluruskan frasa gender, bahwa hal tersebut bukanlah hal baru. Indonesia sudah memiliki kebijakan terkait isu gender dan itu bukan paham barat.
Strategi lainnya adalah menjawab kekhawatiran terkait potensi kekerasan seksual. Kami melakukan pendekatan dengan melihat perbedaan cara pandang, duduk satu meja bersama-sama untuk mengatasi kekerasan seksual tanpa kekerasan (politisasi media sosial), konsultasi dan dialog dengan salah satu partai politik, pemetaan bersama salah satu partai politik terkait dinamika arah dukungan partai terhadap RUU Pungkas, serta berstrategi dengan pemerintah.

 

Mengapa perlu payung khusus terkait isu kekerasan seksual? Apa urgensinya?
Selama ini undang-undang yang ada hanya mengatur pemidanaan saja. Belum komprehensif mengatur pencegahan, penanganan hingga pemulihan korban, dan rehabilitasi bagi pelaku. Selain itu, undang-undang yang ada hanya mengatur penegakan hukum, sehingga pemangku kepentingan hanya ada pada aparat penegak hukum dan tidak terkoordinasi dengan lembaga layanan dalam menangani kekerasan seksual. Sangat diperlukan penegasan tanggung jawab negara untuk segera mengesahkan RUU Pungkas sebagai kebutuhan yang mendesak.

Selama ini pelaku kekerasan seksual dijerat menggunakan KUHP. Tetapi KUHP itu sendiri tidak hanya mengatur satu isu tindak pidana saja, dan banyak harus yang harus disinkronisasi dan diharmonisasi sebagai satu kesatuan dalam sistem hukum nasional. Sementara, korban kekerasan seksual terus meningkat pengaduannya dan lembaga layanan ada keterbasan karena ketersediaan layanan kurang memadai, perspektif penegak hukum lemah, serta anggaran yang kurang memadai.

Menurut Ibu, apa saja yang dibutuhkan oleh korban kekerasan seksual? Lalu kebijakan seperti apa yang dibutuhkan?
Kebijakan yang dibutuhkan, yaitu (1) penghapusan diskriminasi terhadap perempuan; (2) pencapaian kesetaraan gender; (3) peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) terutama perempuan dan anak perempuan; (4) Pembangunan Nasional demi tercapainya RPJMN, Nawacita, dan SDGs (terutama goals ke 1 dan 5).

Adapun enam elemen kunci dalam RUU Pungkas dapat menjadi landasan dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual dari hulu hingga hilir. Keenam elemen kunci tersebut meliputi pencegahan, hukum acara, tindak pidana, pemidanaan, pemulihan, dan pemantauan.

Hal lain yang juga penting dan dibutuhkan korban, salah satunya adalah visum, dan umumnya korban masih belum begitu memahami tentang pentingnya visum. Padahal kekerasan seksual itu hanya bisa diperkuat dengan bukti visum dan pembuktian tersebut hanya bisa dicapai apabila dilakukan dengan sistem pembuktian yang melek teknologi.

 

Bagaimana tahapan korban mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)?
Korban harus melapor terlebih dulu, namun seringkali korban tidak berani melapor, karena berada di bawah ancaman atau tekanan. Memang ada LPSK, tetapi hanya khusus mengatur kasus kekerasan seksual anak. Belum ada LPSK khusus mengatur kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dewasa. Oleh sebab itu, kita harus punya LPSK yang khusus, supaya ada percepatan percepatan di dalam memberikan layanan, membuka akses keadilan sehingga pemulihan korban segera diselenggarakan.

 

Apa kendala korban kekerasan seksual dalam mengakses layanan?
Misalnya di P2TP2A, masih banyak korban yang mengeluh karena mereka harus mengeluarkan dana dari kantong sendiri untuk membayar visum. Pasalnya, tidak semua daerah menganggarkan visum. Sebab itulah pemberatan hukuman sulit dilakukan karena bukti visum tidak ada dan implikasinya, kasus sangat sulit untuk diproses. Jangankan diperberat hukumannya, diproses di tingkat polisi saja sudah SP3 (dihentikan penyidikannya-red). Akibatnya, banyak korban yang tidak mau memproses kasusnya.

 

Situasi apa yang dihadapi korban kekerasan seksual setelah mereka mencabut kasusnya?
Ada banyak kasus yang dicabut ketika sampai di kepolisian. Apabila korbannya adalah anak, ia akan mengalami trauma berkepanjangan dan tumbuh kembangnya juga pasti terhambat. Apabila korbannya orang dewasa, maka bagaimana ia bisa mendapatkan hak sipil politik, ekonomi, dan budaya di tengah situasi psikologisnya yang belum pulih. Saat mencari pekerjaan, ia dikenali sebagai korban. Sementara masyarakat masih menyalahkan korban (victim blaming). Dampaknya, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya akan sulit tercapai.

 

Apa yang dapat dilakukan agar DPR segera mengesahkan RUU Pungkas?Sebenernya DPR perlu terlibat sejak awal, supaya DPR merasa bahwa kekerasan seksual adalah masalah bersama. Sayangnya, hingga saat ini masih terjadi tarik ulur kepentingan politik, sehingga RUU Pungkas masih belum disahkan. Tarik ulur politik ini menyangkut dukungan ‘suara massa’ yang arahnya untuk penghitungan suara. Menghitung suara itu artinya soal kemungkinan soal kekuasaan lagi dan ini bagaikan lingkaran yang sulit untuk diputus.

 

Ketika membincang RUU Pungkas, isunya cenderung diarahkan pada persoalan melegalkan LGBT. Bagaimana Ibu memandang hal ini?
RUU Pungkas ini tidak melegalkan LGBT, isu itu ada karena dipolitisasi. Oleh sebab itu, organisasi masyarakat yang berbasis akar rumput perlu terlibat aktif karena ini adalah untuk kepentingan orang banyak. Jadi yang penting untuk dilakukan saat ini adalah pendidikan publik mengenai RUU Pungkas. Kami juga melobi kembali ke anggota dewan yang memiliki pengetahuan. Kami berharap mereka menjadi influencer bagi partainya maupun bagi anggota legislatif lainnya.

*Penulis adalah pegiat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, alumni Program Studi Kajian Gender SKSG Universitas Indonesia

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here