Foto: Dok.Pribadi
Diasuh oleh: Cecep Jayakarama*
Assalamu’alaikum, wr. wb.
Perkenalkan Pak Kiai, nama saya Ibu Nur. Saya sudah menikah selama lima tahun dan dikaruniai tiga orang anak. Awalnya, rumah tangga kami berjalan lancar. Saya bekerja membantu suami yang berdagang kecil-kecilan. Meskipun penghasilan kami tidak seberapa, namun saya jalani dengan penuh kesabaran. Namun kemudian, suami saya pergi tanpa kabar dan tanpa berita sama sekali. Selang satu tahun, saya baru mendapatkan kabar bahwa suami saya tergabung dalam kelompok teroris dan kini telah ditahan. Saat ini, saya mencoba untuk bertahan tanpa nafkah dari suami. Anak-anak saya juga tumbuh dan berkembang tanpa ayah. Bahkan saya dan anak-anak juga menjadi omongan tetangga, karena suami saya telah bergabung dalam kelompok teroris.
Pak Kiai, satu tahun lamanya saya tidak dinafkahi secara lahir batin oleh suami saya. Ia pergi begitu saja tanpa kabar dan tergabung dalam kelompok teroris. Sebenarnya, saya ingin melakukan gugatan cerai kepada suami saya. Bagaimana hukumnya terkait hal tersebut Pak Kiai? Sudah tepatkah keputusan saya? Mohon pencerahannya Pak Kiai.
Wassalamu’alaikum, wr. wb.
Ibu Ani yang saya hormati dan semoga dirahmati Allah Swt. Terlebih dahulu izinkan saya untuk memohon kepada Allah Swt, semoga Ibu senantiasa dirahmati, diberkahi dan diberi kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi segala cobaan dalam kehidupan. Aamiin ya Robbal’aalamiin.
Terkait pertanyaan yang Ibu sampaikan, saya ingin menyampaikan pemaparan berikut ini: Hukum istri menggugat cerai suami dalam istilah fikih disebut al-khulu’. Dalam QS. Al-Baqarah, 2:229 Allah Swt berfirman:
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Kemudian dalam sebuah hadis yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan:
“Istri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi saw seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah saw bersabda: “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan
Rasulullah saw memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” (HR. Al-Bukhari).
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu’ terdapat hukum-
hukum taklifi sebagai berikut. Pertama, mubah (diperbolehkan). Yaitu ketika istri sudah merasa benci atau tidak nyaman tinggal bersama suami, karena ada kebencian dan ia khawatir tidak dapat menunaikan hak suaminya, dan atau tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Swt dalam ketaatan kepadanya.
Kedua, haram. Yaitu apabila seorang istri meminta cerai kepada suaminya padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami istri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu’, maka ini dilarang. Berdasarkan sabda Rasulullah saw, “Semua perempuan yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad). Hadis ini jika dipahami secara mubadalah maka berlaku pada suami yang menceraikan istrinya tanpa alasan, maka hukumnya haram.
Ketiga, Mustahabbah (sunah). Yaitu apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, hak-hak istri dan anaknya, maka istri disunahkan atau dianjurkan menggugat cerai.
Keempat, wajib. Terkadang Al-Khulu’ hukumnya menjadi wajib dalam keadaan tertentu. Misalnya menggugat cerai suami yang tidak pernah melakukan salat, padahal telah diingatkan oleh istri, atau suami melakukan kekerasan terhadap istri dengan tindakan yang membahayakan jiwa istri atau anaknya.
Menurut hemat saya, keputusan Ibu Ani untuk menggugat cerai suami yang sudah satu tahun lamanya tidak memberi nafkah lahir batin dan pergi tanpa kabar, bahkan tergabung dalam kelompok teroris adalah keputusan yang tepat. Hal tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama, suami Ibu adalah suami yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga, bahkan menelantarkan istri dan anaknya. Sehingga jika Ibu menggugat cerai kepada suami maka hal tersebut dapat dibenarkan menurut pandangan agama.
Kedua, karena suami Ibu terlibat jaringan terorisme. Tentu hal ini akan berdampak buruk bagi Ibu dan anak-anak seandainya Ibu tetap berstatus sebagai istri. Tidak menutup kemungkinan ibu akan dicurigai sebagai bagian dari jaringan terorisme. Maka melepaskan diri dari ikatan dengan anggota jaringan terorisme adalah tindakan yang tepat. Yakinkan kepada semua orang bahwa Ibu sama sekali tidak tahu dan tidak ada kaitan apapun dengan kelompok teroris di mana suami Ibu termasuk di dalamnya.
Ketiga, Ibu dan anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Oleh karena itu harus berani mengambil sebuah keputusan untuk mengakhiri hubungan dengan orang yang tidak bertanggung jawab kepada istri dan anaknya sendiri.
Adapun masalah gunjingan dari tetangga bahwa Ibu terlibat dalam jaringan teroris, maka saya kira Ibu tidak perlu cemas. Selama kita berada di jalan kebenaran, maka jangan takut dan khawatir, Insya Allah suatu saat mereka akan mengerti bahwa Ibu tidak ada hubungan apa-apa dengan jaringan teroris. Jika perlu, Ibu bisa meminta bantuan kepada lembaga layanan yang menangani perempuan korban kekerasan.
Ibu Ani yang saya hormati, demikian jawaban yang dapat saya sampaikan. Semoga Ibu beserta anak-anak selalu semangat dalam menjalani kehidupan untuk meraih kebahagian di masa datang. Dan semoga Allah Swt senantiasa memberikan kekuatan lahir dan batin serta keluasan rizki kepada ibu dan anak-anak dalam menjalani kehidupan yang lebih baik. Aamiin yaa Robbal’aalamiin
*Merupakan Pengasuh PP Nurulhuda Garut