Foto: Dok.Net
Oleh: Isthiqonita
Isu perempuan dalam pusaran terorisme kian mencuat, terutama setelah perempuan mulai muncul ke permukaan tampil sebagai ‘jihadis’ dan melakukan bom bunuh diri. Untuk menjelaskan persoalan tersebut, Swara Rahima mewawancarai Debbie Affianty, ia merupakan Direktur Eksekutif Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS) FISIP UMJ dan sangat berpengalaman dalam penelitian terkait isu terorisme. Debbie juga aktif menulis dan menjadi pembicara dalam isu ekstremisme berkekerasan.
Apa definisi teroris dan terorisme?
Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas. Kekerasan yang dimaksud dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas internasional. Motifnya dapat berupa ideologi, politik, atau gangguan keamanan. Definisi ini mengacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 2018 Pasal 1 Ayat 2. Sementara teroris adalah pelaku yang melakukan perbuatan tindak pidana terorisme.
Bagaimana tahapan orang menjadi teroris?
Seseorang tidak serta merta langsung melakukan aksi bom bunuh diri. Dalam konteks teroris beralasan ideologis, ada empat tahapan yaitu konservatisme, radikalisme, ekstremisme berkekerasan, kemudian terorisme. Dalam hal ini, terorisme adalah aksi puncak dari seluruh tahapan tersebut.
Pertama, konservatisme. Konservatisme ditandai dengan sikap intoleran, anti sistem demokrasi, dan juga pemahaman agama yang literalis. Pemahaman tersebut melihat bahwa segala hal yang terjadi di masa Nabi harus diterapkan di masa sekarang tanpa ada kontekstualisasi dari ayat-ayat Alquran (dalam konteks terorisme yang dilakukan oleh muslim).
Kedua, radikalisme. Tahapan konservatisme tidak mengajarkan kekerasan, sedangkan pada tahap radikalisme mulai mengadopsi pemikiran yang berkekerasan, tapi masih berupa pikiran dan belum tindakan. Radikalisme ini adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Esensi dari radikalisme ini adalah sikap yang mengusung tindakan revolusioner. Apabila dilihat dari sudut pandang keagamaan maka ini berarti paham keagamaan yang mengacu pada fundamentalisme agama, yang diwarnai dengan fanatisme tinggi. Oleh sebab itu, muncul anggapan yang mengharuskan atau membolehkan menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham atau aliran.
Ketiga, ekstremisme berbasis kekerasan. Ciri dari tahapan ini adalah adanya keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme (mengacu pada definisi Perpres No. 7 Tahun 2021). Tindakan kekerasan yang dilakukan juga dapat mencakup penyalahgunaan fisik dengan atau menggunakan sarana melawan hukum, yang menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya (definisi kekerasan tersebut menurut Undang-Undang No 5 Tahun 2018).
Keempat, terorisme. Tahapan ini adalah akumulasi dari tahapan sebelumnya. Ciri-ciri literalis, intoleran, anti sistem demokrasi, revolusioner, dan kekerasan langsung, dengan tambahan tindakan teror. Tahapan masing-masing individu tidak selalu sama, bisa langsung atau loncat. Misalnya tidak konservatisme dulu, langsung ke ekstremisme berbasis kekerasan.
Faktor apa saja yang melatarbelakangi seseorang menjadi teroris?
Ada beberapa faktor yang membuat seseorang menjadi teroris. Pertama, salah satu faktor yang paling mendasar adalah pemahaman agama. Namun demikian, ada perbedaan alasan terkait pemahaman agama, misalnya Jamaah Islamiah (JI) yang mengacu pada Al Qaeda. Faktor-faktor yang mendorong mereka adalah faktor ukhuwah Islamiah. Di manapun ada muslim yang dipersekusi maka wajib dibela dan apabila tidak pergi langsung ke medan perang maka diwajibkan untuk membelanya di Indonesia. Contohnya, ada kasus kelompok Islam Rohingnya yang dipersekusi di Myanmar. Maka kelompok JI akan menyerang Vihara, Klenteng, ataupun simbol-simbol yang menunjukan agama Budha.
Sedangkan faktor agama yang diusung oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Jamaah Anshar Daulah (JAD) bukan ukhuwah Islamiah, tetapi takfiri atau mengkafirkan yang berbeda pandangan/ paham, termasuk juga paham thaghut. Thaghut adalah ada yang disembah selain Allah termasuk penggunaan hukum-hukum selain hukum Allah. Jadi mereka merasa berhak untuk menyerang demi menegakan apa yang mereka sebut sebagai Islam kaffah (Islam yang sempurna). Kemudian mereka menyerang simbol-simbol negara yang menerapkan hukum-hukum yang dianggap bukan berasal dari Tuhan langsung, melainkan menerapkan hukum buatan manusia. Oleh sebab itu, mereka menyerang sistem demokrasi, menyerang aparat seperti kepolisian, dan lain-lain.
Kedua, ada juga yang disebabkan oleh faktor politis yang melatarbelakangi adalah sejarah masa lalu yang ingin menerapkan syariat Islam. Faktor politik ini kemudian diwarisi oleh mereka yang merasa dulunya berjuang, kemudian mewarisinya ke anak, keluarga, atau ke kelompoknya.
Faktor politik tersebut kemudian dikemas dengan kekecewaan-kekecewaan terhadap hal-hal yang terjadi di masyarakat maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Faktor politik ini semakin meningkat dan intens ketika Pemilihan Umum (Pemilu). Biasanya politik identitas juga bermain dan hal tersebut yang kemudian menjadi bahan bakar maupun sarana untuk merekrut anggota baru, atau memanas-manasi anggota lama untuk melakukan tindak terorisme.
Ketiga, faktor personal atau pribadi. Ada yang merasa dulunya telah berbuat dosa, sehingga dengan melakukan bom bunuh diri akan mensucikan dirinya dan menggugurkan dosanya. Ada yang merasa hidupnya sangat kosong dan ketika bergabung dengan kelompok teroris merasa punya keluarga baru yang menawarkan persaudaraan yang kuat dan diperhatikan. Selain itu, ada pula yang tertarik dengan tawaran tertentu untuk kesejahteraan ekonomi, ditawari jodoh, dan lain sebagainya.
Keempat, motifnya adalah peran gender. Kelompok ekstremisme mengiming-imingi perempuan bahwa mereka akan dimuliakan, menjadi pasangan jihadis yang akan mengiringi suaminya, atau memproduksi anak-anaknya untuk menjadi tentara Allah. Biasanya, perempuan yang sudah berkeluarga dipengaruhi oleh suami sedangkan perempuan yang belum menikah dipengaruhi oleh saudara laki-laki atau calon suaminya. Tetapi ada juga yang mencari informasi sendiri untuk menjadi anggota jihadis lewat internet secara sukarela tanpa dipengaruhi orang terdekatnya.
Similar Posts:
- Perempuan dalam Jeratan Terorisme (Part II)
- Mendampingi Istri Narapidana Teroris Melalui Literasi
- Debbie Affianty: Femininitas dan Maskulinitas dalam Tindak Terorisme (Part II)
- Ulil Abshar Abdala: Islam, Perempuan, dan Terorisme (Part II)
- Bolehkah Menggugat Cerai Suami yang Tergabung dalam Kelompok Teroris?