Adakah perbedaan yang signifikan dalam peran perempuan dan laki-laki dalam kasus terorisme?
Di dalam kelompok Jamaah Islamiah (JI), perempuan lebih banyak berperan di ruang domestik. Perempuan memiliki peran sebagai pasangan setia yang memproduksi jundullah (tentara Allah) dan melindungi keberadaan komandan atau pimpinan suaminya yang masuk dalam daftar DPO. Dalam perkembangannya, ISIS kemudian memanipulasi peran perempuan untuk terlibat aktif di ruang publik. Hal tersebut dikarenakan aparat yang semakin ketat untuk melakukan penegakan hukum, sehingga banyak laki-laki dipenjara dan tewas karena bom bunuh diri.
Di kelompok ini, terjadi maskulinitas sekaligus femininitas pada pembagian peran perempuan dalam tindak terorisme. Proses maskulinitas terlihat bagaimana peran perempuan menjadi maskulin seperti mengangkat senjata, melakukan bom bunuh diri, dan merakit bom. Misalnya yang terjadi di kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yakni istri kedua Santoso dan Tini Susanti Kaduku istri Ali Salora yang dilibatkan dalam Kamp Pelatihan di Gunung Biru. Ada pula Dian Yuliana Novi yang merencanakan pengeboman di Istana Presiden tahun 2018 dengan menggunakan bom panci. Perempuan berani melakukan hal seperti itu karena ada manipulasi dari kelompok-kelompok tersebut. Sehingga perempuan merasa bangga bila dilibatkan secara aktif di garda terdepan tindakan pidana terorisme.
Kemudian proses feminitas terlihat pada peran ibu yang digunakan untuk meyakinkan anak-anaknya agar terlibat di dalam bom bunuh diri. Seperti yang terjadi dalam rangkaian bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo pada 2018. Kemudian pada kasus bom Sibolga, seorang ibu meledakkan diri bersama anaknya yang masih berusia balita ketika rumahnya sudah terkepung oleh Densus. Padahal, suaminya sudah mengimbau untuk menyerahkan diri, tetapi ia memilih untuk meledakan diri bersama anaknya.
Kasus lainnya, seperti yang dilakukan oleh Ika Puspita Sari yang berperan sebagai penyedia dana, namun tidak melakukan aksi teror bom bunuh diri. Ada pula Anggi Indah Kusuma, buruh migran yang justru mengajari suaminya merakit bom untuk diledakkan di Bandung pada 2017.
Peran laki-laki memang dari dulu sebagai petempur, perakit bom, agen rekrutmen, agen propaganda, dan juga ideolog. Ideolog ini yang paling tinggi, karena ia tidak terjun ke medan pertempuran. Ia bertugas untuk mencuci otak orang-orang yang akan dijadikan petempur. Adapun perempuan sebagai ideolog sulit untuk dideteksi, karena selama ini hal tersebut diperankan oleh laki-laki. Ketika perempuan berperan sebagai ideolog, nampaknya perlu berhati-hati menyebutnya sebagai emansipasi sebab dapat saja berada di bawah pengaruh ideologi laki-laki.
Apa upaya yang telah dilakukan oleh negara dan apa yang perlu diperbaiki dalam pencegahan tindakan terorisme?
Negara telah mengimbau, menyosialisasikan, membuat undang-undang, serta menyusun Perpres No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE). Dalam kebijakan tersebut, ada beberapa pilar pencegahan yang harus dilakukan hingga ke tingkat daerah.
Namun demikian, dalam RAN PE tersebut masih ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Misalnya, pelibatan perempuan muda, perempuan sebagai istri dan sebagai ibu, laki-laki muda, dan laki-laki dewasa yang berasal dari beragam kelas. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah apakah RAN PE dapat diterjemahkan di level daerah dalam bentuk yang efektif, baik itu pada Rancangan Aksi Daerah (RAD), Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota/Bupati. Dalam merancang RAD tersebut, perlu melibatkan masyarakat dan kelompok yang menjadi target sasaran. Hal tersebut penting dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan pada masing-masing target sasaran. Upaya negara saat ini masih belum sampai ke arah itu. Masih berupa seminar-seminar, imbauan, event-event, dan stand up comedy. Tetapi belum ada terobosan melakukan kontra narasi yang dikemas untuk anak-anak muda yang menarik dan tidak membosankan.
Bagaimana pemerintah dan masyarakat bersikap dalam upaya pencegahan terorisme?
Masyarakat sipil telah melakukan berbagai upaya dalam pencegahan terorisme, salah satunya yang dilakukan oleh ulama perempuan Rahima yang terjaring di dalam Kong–=res Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Ulama perempuan telah membuat kontra narasi untuk mencegah meluasnya paham ekstremisme berbasis kekerasan di masyarakat. Namun demikian, upaya-upaya tersebut masih dilakukan secara sendiri-sendiri, sehingga perlu adanya sinergi dengan pemerintah dan stakeholder lainnya. Oleh sebab itu, masyarakat dan negara perlu berjalan beriringan agar tidak ada program yang tumpang tindih dan sesuai dengan porsinya masing-masing.
Selain itu, pemerintah juga perlu membangun sistem deteksi dini dengan melibatkan masyarakat sebagai upaya pencegahan. Hal lain yang harus diperhatikan adalah sejauh mana mantan narapidana teroris (napiter) perempuan yang sudah lepas dirangkul oleh masyarakat agar tidak kembali lagi ke kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu dibangun kesadaran agar masyarakat mau menerima dengan baik mantan napiter perempuan yang sudah dibina oleh pemerintah.