Foto: Dok.Pribadi

 

Oleh: Silvia Rahmah*

Sejak tahun 2004, saya aktif menjadi pendengar dan pendamping bagi perempuan yang memiliki persoalan, termasuk istri dari seorang teroris. Umumnya mereka dan anak-anaknya mendapat stigma dan pengucilan dari masyarakat, padahal banyak dari mereka yang tidak mengetahui keterlibatan suaminya dengan kelompok teroris.

Masyarakat sekitar tampak mewajarkan labelisasi (pelabelan) apabila ada salah satu keluarga yang menjadi penjahat tak terkecuali terorisme. Mereka menganggap bahwa keluarga harus menerima imbas dan akibatnya, minimal dijauhi oleh masyarakat. Belum lagi tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada para istri teroris bahwa mereka turut terlibat dalam gerakan yang dilakukan oleh suaminya.

Saya mendampingi perempuan istri teroris dan melihat fakta bahwa banyak dari mereka yang tidak memahami apa yang dilakukan suaminya. Kesehariannya wajar, jika lebih religius itu karena memang berniat untuk mengkaji agama lebih dalam, tidak terbesit sekalipun bahwa suaminya adalah bagian dari teroris.

Kemudian saya menyadari bahwa asumsi dasar yang memengaruhi pikiran seseorang untuk bergabung dengan kelompok teroris adalah adanya ide yang tertanam dalam pikiran dan keyakinan dalam hati tentang kebenaran atas paham radikalisme. Ide tersebut diperkuat kebenarannya dengan situasi sosial dan politik yang berkembang, kemudian menjadi pembenaran untuk melakukan tindakan kekerasan.

Oleh karena itu, proses deradikalisasi yang dilakukan harus menggunakan pendekatan yang menyentuh isi kepala, terutama untuk mantan narapidana teroris (napiter), istri, dan anak napiter. Kami kemudian melakukan gerakan pendampingan melalui Rumah Daulat Buku (Rudalku). Pendekatan yang dilakukan ialah pendekatan literasi untuk mendorong mereka melakukan refleksi dan menyadari kesalahan berpikirnya selama ini.
Pendekatan literasi yang dilakukan Rudalku adalah dengan menyediakan rumah baca yang diampu oleh istri napiter maupun eks-napiter yang sudah bebas. Rumah baca atau perpustakaan yang mereka dirikan cukup disiapkan di rumahnya saja, sehingga dapat membangun kreativitas yang bermanfaat bagi seluruh penghuni rumah dan masyarakat sekitarnya. Kegiatan ini juga dapat membangun kembali interaksi sosial yang sempat terputus.

Tema yang diusung di taman baca Rudalku ini adalah “Banyak Baca jadi terbuka, banyak bacaan jadi toleran”. Karena di saat mereka membaca buku-buku yang isinya bertentangan dengan buku-buku rujukan yang dulu mereka baca, mereka akan bertanya dan berdiskusi dengan orang-orang yang telah memiliki perspektif perdamaian. Proses pendekatan literasi memang sudah banyak tumbuh di berbagai daerah. Namun belum menyentuh para keluarga eks-napiter apalagi sampai memberi kepercayaan untuk mengelola rumah baca tersebut. Kini melalui Rudalku, kepercayaan diri mereka mulai tumbuh dengan pemahaman baru mengenai jihad yang rahmatan lil alamin.

*Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Alkhoeriyah
Tasikmalaya

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here