“Ini bukan bom bunuh diri karena saya putus asa dan ingin mengakhiri hidup. Tetapi bom bunuh diri ini adalah untuk menggapai rida Allah dan mendapatkan keutamaan jihad fi sabilillah. Ini adalah jalan orang-orang yang asing. Saya tidak merasa terhina menjadi orang asing. Saya bangga menjadi orang asing ini.”

Kutipan di atas adalah pernyataan Dian Yulia Novi dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi pada 2016 lalu. Dian adalah perempuan pertama calon pelaku bom bunuh diri yang ditangkap oleh pihak kepolisian. Dian yang saat itu berusia 28 tahun ditangkap karena bermaksud meledakkan bom panci berkekuatan tinggi di Istana Negara pada 11 Desember 2016. Dian adalah perempuan pekerja migran di Taiwan yang menghabiskan waktu luangnya untuk menjelajahi situs website Islam dan media sosial. Dalam penjelajahannya tersebut, ia menjalin persahabatan dengan simpatisan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) di Facebook. Tekad Dian dalam melakukan misi bunuh diri dilatarbelakangi oleh situasi ayah yang sakit keras dan ia berpikir bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkannya dari hukuman ilahi adalah dengan mengorbankan dirinya sebagai seorang martir. Baginya, seorang martir dapat menyelamatkan diri serta keluarganya dari murka Allah (IPAC, 2017).

Selain Dian, ada beberapa deretan nama perempuan lainnya yang terlibat dalam kasus terorisme. Pada Oktober dan Juli 2016, Tini Susanti Kaduku dan Jumaitun alias Ummi Delima ditangkap sebagai kombatan bersenjata bersama suami di Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Ada pula kasus bom di gereja Surabaya tahun 2018 yang dilakukan oleh satu keluarga, istri bernama Puji Kuswati (43 tahun) bersama anak-anaknya. Kemudian di awal 2021 ada YSF (26 tahun) seorang istri yang turut serta melakukan bom bunuh diri bersama suaminya di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. YSF dan suaminya tersebut diketahui berafiliasi dengan jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Ada pula ZA (25 tahun) yang melakukan serangan di Mabes Polri pada Maret 2021 dan kemudian tewas ditembak oleh anggota kepolisian. Temuan polisi menyebutkan bahwa ZA memiliki Instagram yang di dalamnya memuat bendera ISIS dengan narasi jihad (bbc.com, 2021).

Dalam penelitian IPAC (2017), disebutkan ada empat kelompok ekstremis perempuan Indonesia yang telah muncul. Pertama, terdiri dari pekerja migran Indonesia di luar negeri di Asia Timur dan Timur Tengah yang lebih percaya diri, berwawasan internasional, memiliki kemampuan bahasa Inggris atau Arab yang baik dan keahlian komputer yang mumpuni. Kedua, terdiri dari perempuan Indonesia yang telah bergabung dengan ISIS di Suriah sebagai bagian dari unit keluarga. Dalam beberapa kasus, perempuan yang mendorong keluarga untuk pergi, tertarik dengan video ISIS atau bertekad untuk membesarkan anak-anak mereka di bawah hukum Islam. Ketiga, perempuan yang dideportasi. Mereka adalah perempuan yang mencoba menyeberangi perbatasan Turki untuk bergabung dengan suami atau anggota keluarga lainnya.

Ada pula yang datang dalam unit keluarga tetapi ditangkap dan dideportasi oleh otoritas Turki. Dalam banyak kasus mereka memainkan peran ekonomi aktif di komunitas sebelum keberangkatan. Keempat, kombatan perempuan dari MIT di Poso. Para istri dari tiga pemimpin MIT dilatih untuk menggunakan senjata api dan bahan peledak sebagai strategi bertahan hidup. Keterlibatan para istri tersebut menandakan keikutsertaan perempuan dalam pelatihan di masa depan.

Keterlibatan perempuan Indonesia dalam kelompok ekstremis sebetulnya bukanlah hal baru. Di Indonesia, terdapat tiga gelombang besar ekstremisme berkekerasan yang diilhami agama. Ada Darul Islam (DI) yang pertama kali muncul pada 1948 dan diluncurkan kembali pada 1973, Jemaah Islamiyah (JI) yang secara resmi terpisah dari DI pada 1993, dan kelompok-kelompok yang terinspirasi pada Negara Islam. Dalam hal ini, peran perempuan telah berkembang secara bertahap sejalan dengan pola keterlibatannya. Hadirnya mujahidat seperti Sally Jones alias Ummu Husain al-Britani memberikan inspirasi dan pembenaran kepada perempuan Indonesia untuk bangkit dan aktif di dalam ISIS (Nuraniya, 2018). Bagaimanapun, peranan perempuan dalam kelompok ekstremis memiliki dimensi gender yang perlu ditelusuri lebih lanjut.

Posisi dan Peran Perempuan dalam Kelompok Ekstremis
Ekstremis dari gerakan Darul Islam (DI) baru mulai merekrut perempuan secara lebih sistematis pada awal 1980-an. Awalnya, DI secara eksklusif merekrut laki-laki secara khusus dengan perjuangan bersenjata, tetapi Revolusi Iran pada 1979 meyakinkan bahwa banyak aktivis mahasiswa perempuan yang dapat memainkan peran (IPAC, 2017). DI percaya bahwa revolusi Islam harus dimulai dari keluarga kesatuan, dengan menanamkan nilai-nilai Islam sejak dini, kemudian mengislamkan masyarakat, dan terakhir negara. Oleh sebab itu, peran perempuan sebagai ibu dan pendidik sangat penting dalam proyek Islamisasi DI. Bahkan DI membentuk sayap dakwah perempuan yang berfokus pada perekrutan perempuan dan pendidikan (tarbiyah) (Nuraniya, 2018).

Bagi DI, peranan perempuan sangat sentral karena keluarga tidak dapat ditransformasikan kecuali jika perempuan itu saleh dan berilmu. Perempuan saleh didefinisikan sebagai orang yang taat syariat (termasuk berjilbab) dan membesarkan anak-anak untuk menjadi bala tentara Tuhan masa depan. Program indoktrinasi DI terhadap perempuan diintensifkan pada awal 1980-an dengan dua agenda utama, yakni (1) “jilbabisasi” atau membujuk lebih banyak perempuan untuk memakai jilbab; (2) pendirian kelompok dakwah khusus perempuan (IPAC, 2017).

Pada 1992 DI mulai terpecah karena ideologi, ketika para pemimpinnya (Sungkar) mengadopsi jihadisme salafi. Pada 1993, Sungkar dan para pengikutnya bubar dan mendirikan Jemaah Islamiyah (JI). JI menerapkan aturan berpakaian yang ketat. Perempuan mengenakan jilbab yang lebih panjang dan bahkan banyak yang mengenakan cadar. Adapun JI memiliki definisi tersendiri terkait peran perempuan, yakni terbatas pada kerja domestik/ rumah tangga. Meski demikian, perempuan masih dapat mengajar di pesantren atau kelompok belajar khusus perempuan. Di dalam JI, perempuan dapat menjadi anggota tetapi hanya laki-laki yang dapat mengambil sumpah setia (bai’at) dan laki-laki memiliki tanggung jawab atas istrinya (IPAC, 2017). JI turut melarang anggota laki-laki untuk berbagi masalah jihad dengan istri maupun kerabat perempuan mereka, karena perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, senang bergosip, dan mudah diintimidasi (Nuraniyah, 2018).

Adapun dokumen penting tentang peran perempuan bagi anggota JI mengacu pada “Buku Pegangan Kewanitaan” yang diproduksi oleh Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo. Dalam buku tersebut, disebutkan tiga peran utama perempuan di dalam hidup, yakni (1) sebagai anak perempuan yang harus patuh pada ayahnya; (2) sebagai istri yang harus patuh pada suaminya; (3) sebagai ibu yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan pendidikan anak- anaknya (IPAC, 2017).

Selanjutnya pada awal 2000-an, para pendukung JI mulai mendirikan forum online yang meniru model Al Qaeda. Forum tersebut memberikan ruang baru dan aman bagi para aktivis perempuan. Keberadaan media sosial tersebut kemudian memberi jalan bagi generasi baru rekrutan perempuan yang berasal dari keluarga yang tidak memiliki tradisi jihad sebelumnya (Nuraniya, 2018).

Antara tahun 2002 dan 2016, peran perempuan terlihat lebih aktif. Beberapa peranan yang mereka lakukan adalah sebagai kurir, membawa pesan, dokumen, telepon genggam atau uang tunai untuk pasangan atau saudara mereka yang dipenjarakan, serta merekam pidato atau dokumen tertulis sesuai kebutuhan. Dalam perkembangannya, perempuan Indonesia memiliki peran ekonomi yang kuat. Karena dalam keluarga jihad, laki-laki sering berpindah dan tidak selalu memiliki sumber pendapatan yang stabil. Oleh sebab itu, perempuan pada umumnya bekerja sebagai pedagang kecil, guru, atau terapis herbal dari pintu ke pintu (IPAC, 2017).

Namun di sisi lain, perempuan dalam konteks terorisme adalah korban. Mulia (2019) mengungkapkan bahwa perempuan adalah korban dari kondisi yang diciptakan oleh para elit kekuasaan patriarkal. Beberapa di antaranya yakni korban dari ideologi suami atau keluarga, korban indoktrinasi agama yang tidak memihak kemanusiaan, korban stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga korban dari ekses konflik. Bahkan perempuan juga direkrut melalui pernikahan, mendapat ‘cuci otak’ oleh suami secara terencana untuk menanamkan ideologi ekstremis.

Bagaimanapun, peran perempuan dalam terorisme tersebut tidak dapat dilihat dalam lensa femininitas dan maskulinitas yang biner. Meskipun perempuan dilarang untuk berperang dan dititikberatkan untuk mengerjakan ranah domestik, perempuan tetap memiliki daya upaya untuk melakukan penyesuaian terhadap aturan gender jihadis. Nuraniyah (2018) menemukan bahwa subordinasi perempuan dalam organisasi jihad tidak bersifat mutlak, melainkan dapat dinegosiasikan setelah bergabung. Temuan ini dapat menjadi lensa baru dalam memahami agensi perempuan dalam konteks terorisme.

Lanjutkan membaca

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here