Telaah Agensi Perempuan dalam Konteks Terorisme
Agensi diri merujuk pada kapasitas perempuan dalam menemukan diri dan membuat pilihan hidup. Saba Mahmood (2006) mengungkapkan bahwa agensi tidak hanya berbentuk resistensi atau penolakan terhadap norma tertentu, tetapi juga hadir dalam berbagai cara seseorang dalam menjalankan norma. Artinya, sikap pasif atau bahkan pasrah bisa saja merupakan perwujudan dari agensi diri.

Dalam konteks terorisme, agensi perempuan sangat bervariasi bergantung pada kelompok teroris yang mereka ikuti (Bloom & Lokmanoglu dalam Nuraniyah, 2021). Beberapa motif yang didapati pada perempuan yang tergabung dalam Negara Islam, yakni didorong oleh krisis pribadi dan keluhan politik. Bermula dari pencarian agama, bereksperimen dengan interpretasi kelompok Islam yang berbeda (baik secara daring maupun luring), hingga secara sadar memutuskan untuk bergabung dengan ISIS. Faktor yang menyebabkan mereka bergabung dengan kelompok ekstremis bukanlah faktor ideologi semata, tetapi juga ada faktor emosional seperti perasaan diterima, diberdayakan, dan berkembangnya ikatan interpersonal baru dengan anggota kelompok ekstremis (Nuraniyah, 2018).

Saat para perempuan belajar tentang prinsip ideologi Negara Islam dan bersosialisasi dengan anshar daulah baik secara daring maupun luring, para perempuan tersebut secara bertahap mengadopsi norma kelompok sebagai bagian dari diri. Mereka juga mengubah gaya hidup dan tujuannya, meskipun seringkali bertentangan dengan keinginan keluarga. Saat bergabung menjadi bagian kelompok, beberapa perempuan menantang norma gender jihad, seperti larangan bekerja dan melakukan jihad kekerasan. Namun pada umumnya, perempuan memilih untuk bekerja dalam aturan-aturan kelompok dibandingkan menentangnya secara terbuka (Nuraniyah, 2018).

Temuan Nuraniyah (2018) menunjukkan, perempuan yang terlibat dalam kelompok ekstremis memiliki empat tahapan menuju keterlibatannya dengan Negara Islam. Pertama, cognitive opening yakni tahapan individu melakukan pencarian agama disebabkan oleh krisis pribadi. Kedua, religious seeking yakni proses pencarian agama dan pencerahan diri. Dalam hal ini, khalifah menawarkan harapan dan tujuan baru bagi perempuan. Ketiga, frame alignment yaitu tahapan keterhubungan individu pada kelompok ekstremis dan adanya perasaan diterima. Keempat, socialization adalah tahapan masuknya pengetahuan dan nilai-nilai kelompok ekstremis terhadap individu. Lebih lanjut, setelah bergabung dengan kelompok ekstremis, ternyata perempuan melakukan penerimaan maupun negosiasi terhadap peran yang telah ditentukan.

Sebagian besar perempuan jihadis menerima peran gender yang telah ditentukan dan mereka bisa saja mempertahankan subordinasi yang dialaminya, tetapi hal tersebut bukan berarti tidak ada agensi (Nuraniyah, 2018). Setelah bergabung dengan kelompok ekstremis, perempuan berusaha untuk mengasah ketakwaan dan memperlihatkan pribadi mujahidah yang baik seperti rasa malu dan sabar. Tetapi pada saat yang sama mereka juga menunjukkan kemandirian dan kesiapan ditinggalkan oleh suami mereka untuk berjuang di jalan Allah. Jadi selain melakukan tugas-tugas rumah tangga, banyak perempuan mengambil pekerjaan yang membutuhkan mobilitas minimum. Beberapa dari mereka menjalankan online shop dengan menjual pakaian muslim dan peralatan pelatihan jihad (termasuk peralatan memanah). Ada pula yang membuka terapi herbal khusus perempuan seperti bekam darah dan pijat, serta menjual makanan bersama suami.

Agensi perempuan sangatlah cair dan relasional. Dalam agensi itu sendiri ada adaptasi dan negosiasi yang berjalan terus menerus. Sebab itu, dalam menelaah agensi perempuan dalam konteks terorisme perlu menggali beberapa hal. Unsur-unsur yang penting untuk diperiksa, yakni (1) melihat pilihan yang dibuat perempuan, motivasi di balik pilihan yang diambil, dan pengalaman relasi kuasa yang berpengaruh; (2) pemaknaan perempuan terhadap situasi diri, upaya negosiasi di tengah relasi kuasa yang berlaku dalam hidup perempuan, termasuk pada tubuh dan seksualitasnya; (3) imajinasi atau bayangan diri di masa depan (Rukun Bestari, 2021).

Menggali peran, posisi, maupun agensi perempuan merupakan aspek penting dalam menelaah terorisme. Karena pemahaman peran gender yang kaku akan menyebabkan persepsi yang keliru terhadap penanggulangan terorisme. Dalam hal ini, analisis dimensi gender sangat penting agar para pemangku kebijakan maupun stakeholder terkait dapat membuat pendekatan yang efektif dan terfokus dalam pencegahan terorisme.

Pencegahan Terorisme dan Pentingnya Peran Ulama Perempuan
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). Salah satu prinsipnya yang menjadi penting adalah pengarusutamaan gender dan pemenuhan anak.

Sejalan dengan RAN PE, Rahima sebagai salah satu inisiator Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah melakukan berbagai upaya dalam merespons persoalan terorisme. Pada 2021, Rahima mengembangkan buku saku berisi kontra narasi agama yang diperuntukkan bagi petugas lapas dalam mendampingi narapidana teroris (napiter) berlatar belakang agama religius Islam. Rahima juga telah bekerja sama dengan AMAN Indonesia dalam melakukan penguatan kapasitas ulama perempuan terkait isu ekstremisme di Solo, Malang, dan Tasikmalaya pada 2019.

Berkaitan dengan hal tersebut, pelibatan ulama perempuan dalam pencegahan terorisme sangat penting dan strategis. Mereka memiliki basis dan dekat dengan akar rumput, serta memiliki kekuatan untuk melakukan pendekatan spiritual maupun kultural. Sebagai agen perdamaian, ulama perempuan adalah garda depan dalam menyebarkan narasi Islam yang rahmatan lil alamin, menjunjung tinggi martabat kemanusiaan dan nilai-nilai universal seperti keadilan, kesetaraan, toleransi, dan persaudaraan. (Editor)

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here