Foto: Dok.net


Oleh: Mutiara Ika*

Myanmar merupakan negara yang letaknya persis di atas kota Banda Aceh, dulunya dikenal sebagai Burma. Myanmar kini tengah menjadi perhatian dunia karena protes besar yang berlangsung terus menerus semenjak kudeta militer yang terjadi pada 1 Februari 2021 lalu.

Salah satu peserta protes adalah Kyal Sin, yang dikenal dengan Angel. Sebagai perempuan muda, ia memutuskan untuk terlibat dalam upaya merebut kembali demokrasi di Myanmar. Ia bergabung bersama ratusan orang lainnya dalam unjuk rasa anti kudeta militer pada 3 Maret 2021 di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar.

Dengan memakai kaos hitam bertuliskan ‘Everything will be OK’, Kyal Sin tewas di tengah-
tengah unjuk rasa setelah sebuah peluru menyasar ke kepalanya. Perempuan berusia 19 tahun itu meninggal bersama dengan 18 orang pengunjuk rasa lainnya.

Kyal Sin menyadari risiko akan keselamatannya. Dalam postingan di Facebook, ia telah menyampaikan rincian medis dan permintaan untuk menyumbangkan organ tubuh jika dirinya terbunuh (Arbar, 2021). Sejak kudeta 1 Februari lalu, setidaknya 845 orang telah terbunuh dan lebih dari 4.500 orang dipenjara oleh junta militer Myanmar (Reuters, 2021).


Perempuan Muda Bertaruh Nyawa

Kekuasan militer telah menempatkan tubuh perempuan menjadi sasaran kekerasan. Hal tersebut tergambar jelas dalam laporan yang dihimpun oleh Liga Perempuan Burma (WLB), sebuah organisasi yang memayungi 13 kelompok perempuan dari beragam etnis di Myanmar. Pada November 2014 mereka mengeluarkan sebuah laporan tentang kekerasan seksual yang berjudul “If they had hope, they would speak”, the ongoing use of state-sponsored sexual violence in Burma’s ethnic communities (Burma, 2014).

Laporan kasus perkosaan beramai-ramai (gang rape), perkosaan, dan percobaan kekerasan seksual mereka yakini sebagai sebuah bentuk kejahatan yang terinstitusionalisasi oleh militer yang menarget perempuan etnis Burma. Persepsi militer tentang kekerasan seksual sebagai tindakan yang diperbolehkan, terbukti dengan angka perkosaan beramai-ramai yang tinggi.

WLB berhasil mendokumentasikan seratus kasus kekerasan seksual di tahun-tahun sejak Presiden Thein Sein menjabat. Di samping itu, para korban menghadapi intimidasi dari pihak berwenang di setiap level pemerintahan. Termasuk dari petugas, yang bertekad untuk membungkam keadilan dan memastikan budaya impunitas (kekebalan pelaku) tetap terjaga.

Selain itu, arus investasi yang cepat menyasar daerah–daerah di Myanmar yang sedang melakukan gencatan senjata dan kaya akan sumber daya alam, sehingga mendorong peningkatan kehadiran militer di daerah tersebut. Di sisi lain, terdapat sejumlah klausul di dalam konstitusi Myanmar yang memberi kelonggaran pada aparat militer untuk lepas dari tanggung jawab pengadilan sipil atas penuntutan kejahatan yang dilakukan, karena dianggap sedang menjalankan tugas negara. Oleh karenanya, dalam laporan yang mendokumentasikan pengalaman perempuan ini, WLB juga berpendapat bahwa ada hubungan yang jelas antara militerisasi, investasi, dan pelanggaran hak asasi manusia.


Masa-Masa Hidup dalam Rasa Takut Telah Berakhir

Para buruh garmen yang 70% nya adalah perempuan, melakukan gerakan pembangkangan sipil (civil disobedience) dan menyerukan protes di jalanan bersama dengan kelompok lain. Beberapa di antaranya yakni para pekerja medis, pegawai pemerintahan, serta guru dan juga murid-muridnya (JASS, 2021).

Salah satu tuntutan mereka adalah pembebasan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin sipil lainnya. Ketika gerakan tersebut berjalan, mereka menyadari bahwa kebebasan berekspresi semakin memburuk bahkan ketika Suu Kyi dan partai pengusungnya (Liga Nasional untuk Demokrasi/ NLD) berkuasa dalam 5 tahun terakhir. Mereka mengabaikan pengabaiannya terhadap kekerasan sistematis militer pada etnis minoritas muslim Rohingya, sehingga membuat banyak orang menyadari ada yang keliru dalam memahami demokrasi selama ini.

“Ketika saya masih muda, saya hanya bersorak untuk Aung San Suu Kyi. Dia akan berkuasa dan itulah yang ingin kami lihat karena kami melihat demokrasi bukan sebagai sebuah sistem, bukan secara kolektif, lebih pada sosok. Melihatnya berkuasa berarti kami telah hidup dalam negara demokrasi. Bukan, itu jelas ide yang keliru, dan saya pikir banyak orang mulai menyadarinya sekarang. Kami muak dengan politik individual dan pengkultusan individu,” ucap salah seorang aktivis feminis dan demokrasi Thinzar Shunlei Yi.

Adanya refleksi tentang demokrasi, mendorong kemunculan ide-ide kreatif untuk berpartisipasi dan terlibat dalam mempertahankan gerak perlawanan anti kediktatoran militer. Thinzar Shunlei Yi mengatakan, ide tentang pembangkangan sipil bahkan datang dari seorang dokter muda di Mandalay yang belum pernah protes sebelumnya. Protes juga terjadi di tengah para pendukung NLD yang mencoba mematuhi arahan untuk tidak protes dan menunggu hingga situasi politik di kalangan elit mereda (Jacob, 2021).

Situasi tersebut membangkitkan semangat para generasi muda yang tumbuh dalam iklim kebebasan informasi dan ruang ekspresi yang mungkin tidak dimiliki oleh orang tua atau generasi-generasi sebelumnya. Mereka bergerak dan berada di garis depan, menolak untuk menyerahkan kebebasan yang telah dirasakannya.

Salah satu contoh aksi kreatif kelompok perempuan adalah menggunakan sarung dan pakaian dalam yang dalam bahasa Burmese disebut Htaimein, untuk mencegah aparat militer menyerang pengunjuk rasa. Dalam keyakinan Buddha tradisional, Htaimein adalah sesuatu yang dianggap najis. Bersentuhan atau berjalan di bawah Htaimein diyakini dapat membawa nasib buruk. Mereka sukses membuat strategi pertahanan dengan membalikkan narasi superioritas maskulin (Khan, 2021). Para perempuan menegaskan bahwa mereka adalah bagian dari revolusi yang sedang terjadi saat ini.

*Penulis adalah Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here