Foto: Dok.Net

 

Oleh: Neng Hannah*

Egalitarianisme dalam Islam telah dikubur dalam produksi pengetahuan yang didominasi
laki-laki dan sistem gender yang hirarkis. Dengan metode genealogi, buku ini menelaah kembali dan menemukan produksi kreatif pengetahuan baru tentang egalitarianisme. Menawarkan kerangka kerja bagi perempuan muslim untuk menyikapi dan menangani ketidakadilan gender di tengah dunia kontemporer.

Feminisme Islam dalam buku ini dijelaskan oleh penulis dalam dua pengertian. Pertama, merujuk pada karya dan aktivisme feminis dalam jaringan kerja budaya Islam, termasuk Islam dari segi isi dan bentuknya. Kedua, ‘feminisme Islam’ merujuk pada gerakan sosial yang menyoroti dan menangani kesenjangan gender di ranah pribadi dan publik. Upaya para feminis Islam untuk menghapus ketidakadilan gender dan sistem yang diproduksinya telah menimbulkan perdebatan seru tentang bagaimana merespons ketidaksetaraan dan penindasan di tingkat personal, keluarga, politik, dan sosial dalam kehidupan sehari-hari secara tepat.

Buku ini berisi lima bab yang membagi perjumpaan Islam dengan feminisme dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia pada lima fase. Fase pertama adalah perjumpaan antara Islam dan feminisme pada zaman emansipasi yang menjadi batu loncatan menuju kesetaraan gender. Fase ini mengungkapkan perjumpaan awal perempuan Indonesia dengan tuntutan kemajuan dalam konteks kolonialisme, nasionalisme, dan reformasi Islam pada awal abad 1900-an.

Pada zaman emansipasi, buku ini menelaah warisan para tokoh perempuan dalam melawan kolonialisme Belanda dan praktik-praktik lokal yang menindas dan meminggirkan pendidikan bagi perempuan. Model perlawanan fisik dan pendidikan budaya menjadi kategori promosi emansipasi. Matra Christina Tiahahu, Tjut Nyak Dien, Tjut Meutia, Kartini, Dewi Sartika, dan Rahman El-Yunusiah menjadi tokoh yang menjelaskan dua kategori model perlawanan.

Fase kedua adalah zaman asosiasi. Zaman ini ditandai dengan munculnya gerakan di berbagai bagian di Indonesia. Bagian ini mendiskusikan wacana tentang gerakan perempuan muslim dan hubungan mereka dengan pembaruan Islam. Kemudian, bagian ini juga mendiskusikan sejarah berdirinya organisasi perempuan Islam di Indonesia dan interaksinya dengan organisasi nasionalistis dan feminis serta menyatakan kesetujuan dan ketidaksetujuannya atas isu-isu perempuan. Pada tahap ini, perjumpaan antara Islam dan feminism masih bersifat divergen.

Fase ketiga adalah zaman pembangunan. Setelah kemerdekaan Indonesia, gerakan perempuan diarahkan pada pencapaian kemajuan dan emansipasi dalam rangka memodernisasi negara. Organisasi-organisasi perempuan menyediakan jaringan kerja yang sudah ada bagi rezim Orde Baru untuk mengimplementasikan kebijakan negara tentang nilai keibuan. Sedimentasi nilai keibuan dilaksanakan sejalan dengan gerakan menyelamatkan pelembagaan Pancasila sebagai ideologi negara pada konteks pembangunan barat.

Fase keempat adalah zaman integrasi. Fase ini membuka tahap persiapan bagi perjumpaan antara Islam dan feminisme di Indonesia. Pelembagaan nilai keibuan yang dilakukan negara kemudian diterima oleh organisasi perempuan Islam seperti Aisyiyah Muhammadiyah (1917), Persistri (1936), dan Muslimat Nahdlatul Ulama (1946). Kemudian organisasi perempuan Islam juga meng–akui argumen kesetaraan etika dan spiritual antara laki-laki dan perempuan. Argumen ini masih tersembunyi mengingat menonjolnya politik kewaspadaan pada zaman Orde Baru. Pada fase ini perdebatan ilmiah tentang Islam sebagai etika publik, inklusi Islam oleh feminis sekuler dan inklusi feminisme di kalangan pesantren menciptakan ranah bersama bagi kesetaraan Islam dan feminisme. Semua gejala tersebut secara terpadu menciptakan proses integratif feminisme ke dalam Islam.

Fase kelima ialah zaman penyebaran ketika Islam dan feminisme mengalami pola relasi konvergen pada awal abad 1990-an. Wacana yang memunculkan feminisme Islam dan temuan tentang kesetaraan etika dan spiritual antara laki-laki dan perempuan ditelaah pada bagian ini. Terdapat proses diskursif mengenai transisi dari “teologi feminisme Islam” ke feminisme Islam.

Buku ini menunjukan bahwa terdapat persinggungan feminisme dan agama, politik lokal dan globalisasi, serta proses sistem gender yang hirarkis dan kekuasaan menjadi berpengaruh. Hubungan ini penting dipertimbangkan dalam upaya menemukan kembali pengetahuan Islam yang terkubur. Buku ini telah menangkap memori sejarah tentang perubahan transformatif yang terjadi sejak awal munculnya peningkatan kesadaran aktivis perempuan sejak zaman kolonial hingga masa setelah kolonialisme ketika Islam dan feminisme menyatu.

*Penulis merupakan Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here