Foto: Beritagar.id/ Bismo Agung
Oleh: Nurhayati Aida*
Dalam rubrik opini 59 kali ini, Swara Rahima berhasil mewawancarai Kyai Ulil Abshar Abdalla atau yang akrab disapa Mas Ulil. Seorang intelektual Nahdlatul Ulama yang kritis dan aktif menulis di berbagai media. Selain mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta, Mas Ulil juga mengampu pengajian Ihya Ulumuddin secara daring yang disiarkan di laman media sosialnya. Baru-baru ini, Mas Ulil mendirikan pesantren virtual bernama Ghozalian College.
Bagaimana pandangan Mas Ulil terkait anggapan bahwa Islam adalah agama teror?
Saya tidak terlalu marah atas tuduhan seperti itu, karena ada dasarnya, yaitu sebagian besar pelaku terorisme pada era-era modern adalah muslim. Kalau melihat aksi-aksi teror pada 1970-an, itu lain lagi. Pada tahun 70-an, aksi teror sebagian besar dilakukan oleh kalangan radikal kiri, gerakan separatis seperti di Irlandia Utara, dan gerakan yang diilhami oleh fasisme seperti di Italia. Tahun 70-an, di Eropa banyak pengeboman oleh Brigadir Merah, kelompok separatis di Irlandia, kelompok teroris di Italia. Sedangkan pada 80-an hingga tahun 2000 sekarang, aksi-aksi teror kebanyakan pelakunya adalah muslim. Saya tidak terlalu marah, namun saya juga tidak setuju karena tuduhan ini berdasarkan fakta yang diseleksi di atas. Umat Islam sebagian besar tidak begitu.
Umat Islam memiliki visi sosial, kebudayaan, dan politik yang berbeda dengan Barat. Dalam Islam, ada nilai-nilai universal seperti keadilan, perdamaian, kasih sayang, hormat kepada orang tua, dan sebagainya. Tapi ada juga hal-hal yang spesifik pada umat Islam sendiri yang tidak bisa dipaksakan kepada yang lain. Namun, di era perang atas terorisme ini ada pandangan yang keliru. Segala hal yang ada dalam Islam disamakan semua, baik yang universal maupun partikular dikategorikan sama sebagai ancaman, terutama di Barat. Banyak yang sudah mengkritik masalah ini.
Kita tahu bahwa mereka yang melakukan teror seringkali menggunakan dalih jihad atas aksi-aksinya. Bagaimana pandangan Mas Ulil?
Apabila ditinjau dari segi filsafat, setiap manusia melakukan sesuatu harus punya justifikasi. Justifikasi berarti dia merasa bahwa yang dilakukan itu benar secara moral dan ada dalilnya, baik dalil-dalil itu bersumber sekuler maupun religius. Karena selama belum ada justifikasi, manusia itu resah perihal tindakan yang dilakukannya itu benar atau tidak. Tentu saja, karena yang dimiliki kelompok jihadis adalah ajaran agama, mereka akan menjadikan ajaran jihad sebagai pembenaran. Dari segi itu bisa dipahami, namun dari segi cara mereka menjustifikasi tindakannya itu benar atau tidak, sudah pasti saya mengatakan itu tidak benar. Karena ajaran jihad itu sebetulnya maknanya tidak seperti yang mereka pahami.
Pada intinya, teori jihadnya kelompok jihadis adalah kekerasan yang tujuannya spesifik, yaitu kekerasan untuk melawan dominasi Barat dan orang-orang yang dianggap sebagai sekutu Barat. Ini makna jihad yang sangat spesifik. Ini pengertian yang baru sekali. Di dalam dunia Islam tidak pernah ada fase sejarah seperti ini (jihad melawan dominasi peradaban lain). Kalau jihad untuk melawan invasi negara lain itu ada, misalnya Resolusi Jihadnya Mbah Hasyim. Namun, jihad melawan dominasi itu temuan modern. Semestinya melawan dominasi ini tidak dilawan dengan jihad, melainkan dengan cara-cara yang setimpal. Misalnya melawan dominasi pengetahuan dengan cara mengembangkan ilmu pengetahuan. Melawan dominasi ekonomi dengan mengembangkan ekonomi. Melawan dominasi kebudayaan dengan mengembangkan jenis kebudayaan baru.
Jihad lebih populer maknanya sebagai qital, padahal ada makna-makna lainnya. Kenapa jihad qital lebih populer ketimbang yang lainnya?
Sebetulnya jihad yang hanya dimaknai dengan qital, itu populer di segelintir kalangan umat Islam. Pelakunya sendiri sebetulnya tidak banyak karena orang tidak mau hidup dalam peperangan. Bagi sebagian besar umat Islam, memahami jihad adalah jihadun nafs (berjihad melawan diri sendiri). Itu yang paling banyak didakwahkan di pengajian-pengajian. Hanya saja, sekarang jihad qital menarik perhatian karena adanya kelompok radikal yang menyentak perhatian orang. Kekerasan menyentak kesadaran kita sehingga kita jadi terfokus ke situ. Namun, kalau kita lihat konteks umat Islam pada umumnya, pasti tidak begitu cara pandangnya. Mereka marah kepada Barat, dominasi Amerika, Inggris, dan seterusnya. Tetapi mereka juga ingin hidup normal.
Bagi saya kekeliruan cara pandang yang muncul setelah era pasca-teror, itu melihat orang Islam exceptional (berbeda). Seolah-olah manusia yang namanya muslim itu manusia yang berbeda. Seolah mereka ingin sesuatu yang lain dari manusia yang lain. Padahal tidak begitu. Manusia muslim ingin seperti manusia lainnya. Ingin hidup sukses, punya pekerjaan, belajar ilmu sains, ingin meraih kemajuan, bisa kaya, tetapi juga beribadah.
Di dalam kitab-kitab fikih yang dipelajari di Indonesia, jihad (qital) dibahas dalam satu bab khusus, tetapi mereka tidak ada yang berjihad qital. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Saya melihat ada kebijaksanaan yang mendalam pada kiai-kiai dan ulama Indonesia. Berbagai aspek yang mereka baca dalam kitab fikih tidak serta-merta dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya jihad, karena jihad ditulis dalam semua kitab fikih. Bahkan kitab jihad juga diajarkan di negara yang sangat konservatif, seperti Arab Saudi. Namun, tidak ada kiai atau ulama yang memaknai ajaran tersebut dengan melawan negara atau melakukan kekerasan terhadap orang yang berbeda pendapat.
Menurut saya, ini tema yang belum banyak dielaborasi. Para ulama itu mengerti, meski mereka tidak mengatakannya dengan eksplisit. Bagian kitab mana yang harus dipraktikkan dan tidak, mana yang dipraktikkan sebagian saja dan yang bisa dipraktikkan seluruhnya, mana yang tidak mungkin dipraktikkan sama sekali dan yang harus ditafsir ulang. Seorang sosiolog Amerika yang juga penulis buku Liberal Islam, Charles Kurzman, pernah mengatakan bahwa salah satu bentuk liberalisme di dalam dunia muslim adalah silent liberalism. Dalam pengertian ini, sebetulnya para ulama kita itu rasional, hanya saja mereka tidak mengatakannya. Contohnya ajaran jihad yang diajarkan di dalam kitab fikih, namun ulama tidak melaksanakannya karena konteksnya berbeda. Tetapi para ulama ini tidak mengeksplisitkan teorinya. Jadi, mereka punya teori, tetapi ini silent theory, atau silent philosophy, atau silent paradigm.