Dalam aksi teror, perempuan terlibat di dalamnya sebagai pelaku langsung atau tidak langsung. Bagaimana menurut Mas Ulil?
Kelompok jihadis punya sesuatu yang mungkin layak diapresiasi, karena mereka membuka partisipasi yang lebih besar pada perempuan. Hal ini adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh kelompok-kelompok konservatif. Ini menarik karena kelompok jihadis memandang bahwa perempuan memiliki peran. Mereka betul-betul melihat perempuan sebagai subjek yang otonom sehingga perlu dilibatkan, atau mereka melakukan semacam instrumentalisasi terhadap perempuan. Dengan kata lain, perempuan dibutuhkan sebagai alat perjuangan. Jadi, apakah mereka menempatkan perempuan sebagai alat dan objek, atau sebagai subjek?

Pertama, saya agak ragu bahwa mereka menempatkan perempuan sebagai subjek. Kedua, boleh jadi mereka menempatkan perempuan sebagai subjek. Tetapi sebagai subjek yang berbeda dari subjek perempuan modern yang dipengaruhi oleh kebudayaan Barat. Oleh sebab itu dulu ada manifesto al-khansaa’** yang ditulis oleh seorang perempuan ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah). Manifesto tersebut bukan ditujukan kepada umat Islam, tetapi ditargetkan kepada perempuan Barat. Manifesto al-khansaa’ menjadi platform untuk mengkritik masyarakat Barat. Dalam konteks manifesto al-khansaa’, perempuan adalah subjek dan tidak hanya alat. Namun, subjek yang punya visi sendiri mengenai peran mereka dalam kehidupan publik.

Saya menganggap manifesto al-khansaa’ penting karena semacam feminisme terbalik (reverse feminism). Ini adalah feminis, tapi feminis yang kebalikan dari feminisme Barat. Menariknya, dengan sadar mereka ingin perempuan punya peran yang berbeda dan merumuskan satu filosofi yang berbeda. Salah satu poin dalam manifesto itu misalnya, mereka mengatakan ‘selama ini perempuan dikonstruksi kecantikannya bahkan dieksploitasi. Dalam pandangan kami, kecantikan perempuan tidak seharusnya menjadi konsumsi publik tetapi merupakan wilayah yang suci dan harus dilindungi’. Dengan alasan tersebut, burqa menjadi relevan.

Kalau kita cukup adil, mereka sebetulnya mencoba merumuskan filosofi baru. Jadi perempuan adalah subjek, tetapi subjek yang punya pandangan atau filosofi sendiri mengenai kehidupan. Terutama kehidupan seksual dan gender yang berbeda dari kehidupan modern. Oleh sebab itu, manifesto ISIS merupakan tantangan yang lumayan besar pada gagasan terkait keadilan gender seperti yang kita pahami selama ini.

Menurut Mas Ulil, apa motif perempuan terlibat dalam kelompok teroris?
Saya tidak tahu karena harus melalui penelitian. Menurut saya, motifnya pasti kompleks dan tidak satu jenis. Para sarjana yang meneliti mengenai terorisme, menyebutkan bahwa motif atau alasan paling besar kaum teroris bertindak seperti itu karena jaringan pertemanan dan kekerabatan. Misalnya karena pasangannya, kerabatnya, atau teman yang telah menjadi bagian dari kelompok tersebut. Jaringan sosial seperti itu sangat berpengaruh. Karena secara teori, manusia bertindak tidak semata-mata karena pertimbangan rasional, tetapi pertimbangan sosial. Ada juga alasan lainnya seperti ekonomi, kehidupan yang penuh kemiskinan, dan lainnya yang membuat mereka frustasi dan kemudian masuk ke sana (jaringan teroris).

Kalau memakai teori sosiologi lama, misalnya anomi. Anomi artinya perasaan bahwa kita berada pada situasi yang tidak lagi teratur, sudah jungkir balik nilai-nilainya. Perasaan tersebut menyebabkan seseorang kehilangan orientasi dan bingung. Hal itu membuat seseorang memercayai ajaran-ajaran yang keras, yang bisa memberikan pegangan yang jelas. Dari sana, mereka kemudian bisa beranjak lebih jauh ke tindakan kekerasan.

Apa yang bisa dilakukan ulama perempuan untuk pencegahan aksi terorisme?
Pertama, kehadiran ulama perempuan itu sendiri sudah mengandung makna yang penting. Karena seorang ulama perempuan itu sudah pasti menggunakan perspektif perempuan. Artinya, ulama perempuan akan bersuara melalui pengalamannya sendiri.
Kedua, terkait dengan terorisme, peran yang paling penting dari ulama perempuan adalah memberikan narasi balik. Karena porsi yang besar di dalam ideologi jihadisme itu perihal mengontrol kehidupan perempuan. Jadi, tubuh perempuan merupakan situs yang mereka usahakan untuk dikuasai. Karena mereka percaya, perempuan adalah simbol tersuci dalam kehidupan privat. Apabila mereka bisa menyelamatkan situs terakhir dalam kehidupan privat ini, maka mereka akan menyelamatkan fondasi dalam masyarakat muslim yang mereka ingin bangun. Tugas ulama perempuan adalah melakukan pushing back untuk mendesak balik narasi-narasi yang mereka bangun, dengan menunjukkan pengalaman dan sudut pendekatan yang berbeda.

Perjuangan modern sekarang ini adalah controlling and un-controlling (mengontrol dan melepaskan kontrol) dalam kehidupan privat ini. Oleh karenanya, sering dikatakan bahwa hal yang privat adalah politis. Pertarungan modern sekarang ini, salah satunya adalah terkait mengatur tubuh, pakaian, dan tindakan perempuan. Hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok jihadis, tetapi juga kapitalisme yang mengontrol tubuh perempuan.

Ulama perempuan harus punya visi sendiri. Kita memang tidak bisa menolak bahwa tubuh perempuan menjadi titik kontestasi antara kaum moderat, radikal, konservatif, fundamentalis, dan sekuler. Semua berkepentingan untuk meregulasi tubuh perempuan. Saya juga tidak tahu mengapa demikian. Sebab itu, ulama perempuan harus memiliki visi sendiri untuk menyuarakan teks-teks suci yang berpihak dan berkeadilan bagi perempuan.

*Penulis merupakan Peneliti di Rumah KitaB & Co-Founder Afkaruna.id
**Dokumen yang dibuat oleh sayap militer perempuan ISIS (Brigade Al-Khansa) untuk menegaskan eksistensi mereka sekaligus propaganda untuk merekrut pe–rempuan agar bergabung dengan ISIS.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here