Oleh: Helmy Ali
Sebelumnya, masyarakat (khususnya di Makkah) tenggelam dan terjebak dalam kondisi yang tidak manusiawi. Kelompok masyarakat tertentu, yang dominan, yang menguasai sumberdaya, yang mempertuhankan benda, memperlakukan sesamanya secara tidak adil. Mereka meminggirkan, menindas, dan menutup akses kelompok-kelompok tertentu yang rentan. Sehingga terjebak dalam kemiskinan, menjadi bodoh, tidak bisa berbicara dan tak berdaya menolong diri sendiri dari keterpurukannya itu. Kondisinya sangat tidak manusiawi. Salah satu kelompok yang paling menderita masa itu adalah perempuan; hak-haknya tidak diakui, dan diperlakukan sebagai objek semata. Memang ada juga perempuan yang pintar, memiliki power yang menentukan, dan dihormati, seperti Khadijah ra, tetapi itu dianggap kekhususan, dan dianggap sebagai bagian dari laki-laki kelas atas. Kondisinya tidak berlaku bagi perempuan secara umumnya.
Tetapi yang dominan itu juga, yang memperlakukan sesamanya tidak manusiawi, sesungguhnya kondisinya tidak manusiawi, karena telah memperlakukan dan menyebabkan kondisi sesamanya menjadi tidak manusiawi. Dalam bahasa agama mereka disebut bodoh karena tidak memikirkan konsekuensi dari apa yang telah diperbuatnya itu, membuat fondasi masyarakat sangat rapuh dan mudah ambruk. Masa Itulah, yang dalam agama, disebut zaman kegelapan dan jahiliyah (keadaan yang bodoh).
Nabi Muhammad saw kemudian datang, membimbing manusia keluar dari masa kegelapan itu menuju masa yang terang benderang; yang lebih beradab, menjadi lebih manusiawi. Titiknya adalah ketika Nabi saw membawa komunitas yang beriman, kebanyakan dari kelompok rentan yang sudah dibina sejak awal, setelah mendapatkan tekanan luar biasa berat dan perlakuan sangat kasar dari kelompok dominan, keluar dari Makkah, pergi jauh, hijrah, ke Madinah.
Disana Nabi saw bersama komunitasnya itu bercampur dengan komunitas lain yang beragam, membangun sebuah masyarakat yang disebut ummah, yang dibangun di atas prinsip saling tolong menolong, persaudaraan dan persamaan, dengan tetap mempertahankan keberagaman itu.
Hasilnya luar biasa, dalam waktu relatif singkat, komunitas beragam itu muncul masyarakat (yang disebut ummah itu) yang solid dan berwibawa. Tentu saja, karena beragam, tetap ada gesekan dan benturan. Tetapi bisa diatasi karena prinsip-prinsip di atas. Pada akhirnya Nabi bersama komunitas beriman itu kembali ke Makkah, menaklukkannya dengan cara damai, tanpa ada darah yang tertumpah, menjadikannya kembali sebagai pusat peribadatan; tampaknya ini juga adalah simbol bahwa damai itu adalah puncak keber-agama-an.
Hampir tak ada gap antara yang punya dan tidak berpunya. Perempuan dan laki-laki memperoleh penghargaan yang sama, hak-haknya diakui. Lahir kemudian perempuan-perempuan pintar, di sekitar Nabi, yang kemudian menjadi rujukan, seperti Aisyah, Asma binti Abu Bakar, Ummu Salamah, Ummu Waraqah, Maimunah binti Harits, Ummu Hisyam, dan lain-lain. Memang dalam kasus-kasus tertentu, mendapat perlakuan khusus (affirmative action, zaman sekarang). Itu Karena kondisinya yang baru keluar dari situasi yang dilemahkan selama berabad-abad. Menurut para ahli ada sekitar 15 sampai 18 perawi Hadits adalah perempuan. Ini sebuah lonjakan luar biasa; bisa tampil kembali di atas panggung sejarah setelah mengalami penindasan, dibenamkan ke bawah panggung, di masa kegelapan jahiliyah, selama berabad-abad, dalam waktu relatif singkat.
Menurutku tahun Hijriyah, adalah titik balik dari situasi yang gelap dan kelam, yang ditandai dengan perlakuan tidak manusiawi kepada kelompok masyarakat tertentu, jenis kelamin tertentu, dan penghambaan kepada benda; ke masa yang terang benderang, yang ditandai dengan sikap tolong menolong, persaudaraan, persamaan, penghargaan kepada perbedaan, yang berpijak pada hubungan antar manusia yang adil, dan semata-mata hanya mengabdi kepada Allah Swt, Tuhan yang melimpah ruah rahmat-Nya dan berkesinambungan kasih sayang-Nya. Wallahi a’lam bisshawab.
Selamat memasuki tahun baru Hijriyah.