Oleh: Nia Ramdaniati
Pendidikan Indonesia telah lama menuai proses angka demi angka mengejar kompetisi yang tak kunjung mengandung arti bagi murid/peserta didik. Setiap peserta didik di penghujung pembagian laporan perkembangan sekolah selalu berujung angka yang didapatkan sampai pada peringkat berapa pencapaiannya. Anak dengan angka tertinggi akan mendapatkan nasib lebih, minimal lebih dulu dapat pujian dari orang tuanya.
Dibalik pujian, banyak penjajahan di antara anak-anak yang tidak mendapatkan angka yang menarik di mata orang tua. Sebagian orang tua yang percaya, angka adalah penentu nasib, mereka merasa khawatir bagaimana nasib anaknya jika nilainya merah-merah.
Sementara, proses menentukan angka tersebut disamaratakan oleh guru berdasarkan pengetahuannya saja. Semua mata pelajaran harus dilahap dengan cara pandang guru. Guru memarahi murid yang tidak mampu memahami dengan alasan murid tidak pintar, padahal bisa jadi cara menyampaikannya tidak diterima murid.
Orang tua bersedih karena angka. Guru bingung cara menyampaikan materi. Maka, cukuplah masa lalu menjadi pelajaran. Yang mengenal murid adalah murid itu sendiri, guru dan orang tua perlu memahami dan juga menerima murid dari sudut pandang yang lebih luas lagi.
Tidak bisa memandang murid yang jenius dengan kaca mata satu cara pandang saja. Misalnya ada eksperimen murid A, sebenarnya dia sedang menyelesaikan proyek besar dengan memecahkan satu persoalan, tapi kalau kaca mata yang dipakai justru malah menyimpulkan tidak jelas apa yang dikerjakan murid A ini apalagi menyepelekan, maka proyek besarpun malah menjadi sampah.
Namun, jika penerimaan didahulukan dengan penuh tanggung jawab bahwa apapun yang diungkapkan murid sebagai proses menjadi jalan menuju hasil, maka murid akan totalitas mewujudkannya. Dengan proses yang dialami murid dan totalitasnya akan menghasilkan proyek besar meskipun awalnya start dari satu hal yang sederhana bahkan hanya dianggap sampah sekalipun.
Merdeka!
Similar Posts:
- Murid SMP dan SMA Bondowoso Ikuti Lomba Shalawat Kesetaraan
- ELOIS : Ikhtiar Menuju Masa Depan Madrasah yang Lebih Berkeadilan
- Debat Siswa, Membangun Daya Kritis, Menghargai Keragaman
- Bekerja Bukan Fenomena yang Muncul Sendiri (Bagian 1)
- Anak Perempuan Menjadi Korban Kekerasan Seksual oleh Gurunya, Kok Bisa?