Oleh: Silvia Rahmah*

 

Adalah Khaulah binti Malik bin Tsa’labah, seorang sahabat perempuan yang aduannya didengar oleh Allah Swt. Ia diperistri oleh seorang sahabat laki-laki bernama Aus bin Shamit. Rumah tangganya telah dijalani dalam waktu yang panjang, dan Khaulah telah melahirkan banyak anak. Menjelang usia senja Khaulah diceraikan oleh suaminya dengan cara zhihar (menyerupakan fisik istri dengan ibunya sehingga istri menjadi haram digauli oleh suaminya). Khaulah tidak terima perlakuan suaminya  dan mengadukan kepada Nabi dengan mengatakan Aus menikahiku saat aku masih muda yang disukai banyak orang. Namun kini saat usiaku lanjut dan memiliki banyak anak, ia men-zhihar-ku”. Setelah zhihar, Aus tetap memaksa Khaulah untuk melakukan hubungan seksual. Namun Khaulah selalu bersikeras menolak dengan berbagai cara, sampai suaminya menjauh dari Khaulah. Mendengar pengakuan itu, Nabi terdiam sejenak, kemudian berkata “Aku tidak mendapat perintah apa-apa mengenai persoalanmu itu. Menurutku, Engkau telah haram untuk digauli suamimu”. Khaulah tidak puas dengan jawaban Rasul, kemudian

ia mengadukan perkaranya kepada Allah Swt. Di saat itulah turun wahyu kepada

Rasulullah Alquran surat Al-Mujadilah ayat 1-4 yang memberikan solusi atas kasus Khaulah. Bahwa perkataan zhihar yang disampaikan oleh suami merupakan perkataan dusta (menyamakan istri dengan ibu karena keduanya berbeda), karena itu dia mendapat hukuman yang berat. Surat al-Mujadilah yang berarti perempuan yang berani bersuara/ menggugat untuk mengabadikan perjuangan menemukan keadilan.

Kisah di atas memberikan gambaran tentang perjuangan yang besar dari seorang sahabat perempuan yakni Khaulah dalam memperoleh haknya untuk mendapatkan keadilan. Ketika jawaban dari Nabi Muhammad tidak sesuai harapan, ia lalu mengadukannya langsung pada Allah, dan Allah langsung menjawabnya memberikan solusi atas permasalahan Khaulah. Tidak boleh siapapun termasuk suami memperlakukan istri dengan semena-mena, terlebih merendahkannya. Allah bahkan menghukum suami yang merendahkan istri dengan cara zhihar. Kisah Khaulah menunjukan keberpihakan Islam pada perempuan sebagai manusia yang bermartabat sebagaimana laki-laki.

Dari kisah ini begitu jelas terlihat bahwa Alquran sebagai firman Allah telah menyatakan dirinya sebagai kitab penjelas (tibyan) terhadap segala sesuatu. Juga berfungsi sebagai petunjuk (hudan) yang dapat menuntut umat manusia menuju jalan yang benar dan pembeda (furqan) antara kebenaran dan kebatilan (Manna Khalil al-Qathtan, 1972). Keindahan bahasa Alquran, kedalaman maknanya, serta keragaman temanya, membuat pesan-pesannya tidak pernah berkurang apalagi habis, meski telah dikaji dari berbagai aspek, termasuk dalam menggali makna penghormatan Islam pada perempuan.

 

Islam dan Penghormatan pada Lansia

Islam memandang masyarakat lanjut usia (lansia) dengan pandangan terhormat, sebagaimana besarnya perhatian terhadap generasi muda. Islam memberi perhatian khusus terkait dengan masa lansia, baik kondisi fisik, kesehatan reproduksi, dan kondisi psikis mereka. Islam memperlakukan dengan baik para lansia ini agar mereka tetap dipandang sebagai manusia yang bermartabat. Bahkan dalam Islam, penuaan adalah sebagai tanda dan simbol ilmu dan pengalaman hidup. Karenanya, ketika berbicara tentang kehidupan, setiap manusia pasti akan mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan selama usianya, dari mulai bayi sampai menjadi tua bahkan meninggal dunia. Sehingga masa tua adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun.

Dalam perjalanan hidup manusia, sejak masa konsepsi, lahir, tumbuh, dan berkembang, hingga masa lanjut, mengikuti pola-pola fase pertumbuhan dan perkembangan dengan karakteristik masing-masing. Misalnya

ketika menginjak masa dewasa (balig), tingkat kekuatan, organ-organ tubuh secara keseluruhan mencapai puncaknya, kemudian setelah melewati masa paruh baya, kekuatan tubuh itu secara berangsur-angsur menurun. Bersamaan dengan penurunan kekuatan fisik, banyak hal yang mungkin timbul dalam kehidupan lansia yang mudah dikenali. Majduddin Abu Thahir mengatakan kekuatan fisik menjadi salah satu tanda lansia, meskipun sangat bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya, tergantung dari pola hidup orang tersebut.

Alquran menggambarkan fase kehidupan manusia dari mulai bayi hingga lansia sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat Ghafir ayat 67:

هوُ الَذِّي خلَقََكمُْ مِنْ ترُاَبٍ ثُمَ مِنْ

نطُْفَةٍ ثُمَ مِنْ علَقََةٍ ثُمَ يُخرِْجكُمُْ طِفْلاً

ثُمَ لتِبَلْغُوُا أَشُدَّكمُْ ثُمَ لتِكَُونوُا شُيوُخًا وَمِنكْمُْ مَنْ يتُوَفََىّٰ مِنْ قبَلُْ وَلتِبَلْغُوُا

� أَجلَاً مسَُمًّى وَلعَ لََكّمُْ تعَْقلِوُنَ

“Dialah yang menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, lalu dari darah yang menggumpal, kemudian Dia lahirkan kamu sebagai seorang anak kecil, kemudian (Dia membiarkan) kamu sampai dewasa, lalu menjadi tua. (Akan tetapi,) di antara kamu ada yang dimatikan sebelum itu. (Dia pun membiarkan) agar kamu sampai kepada kurun waktu yang ditentukan dan agar kamu mengerti”.

Apabila ditinjau dari sisi kerentanannya, usia lanjut merupakan masa di mana sebagian besar manusia mengalami penurunan produktivitas, karena kondisi fisik yang sudah mulai melemah. Karena itu, sebelum memasuki usia lanjut perlu mempersiapkan diri lebih baik, lahir maupun batin, agar masa tua kelak bisa tetap produktif dan bahagia. Gambaran kondisi fisik ini terdapat dalam Alquran surat Yasin ayat 68:

وَمَنْ نعُمَِّرهْ ننُكَِّسْه فيِ الْخلَقِْ أَفلَاَ

يعقَْل وُِنَ

“Siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami balik proses penciptaannya (dari kuat menuju lemah)”.

Ayat di atas menggambarkan fase lansia secara fisik yang mulai melemah. Karena situasi tersebut, seyogianya masa lansia menjadi peringatan bahwa kehidupan di dunia ini akan segera berakhir. Namun demikian, masa muda bukan berarti masih jauh pada kematian, karena itu menjadi rahasia Allah. Muda dan tua sama-sama harus mempersiapkan diri apabila sewaktu-waktu Allah memanggilnya untuk kembali.

 

Penyebutan Lansia dalam Alquran

Dalam Alquran secara khusus terdapat beberapa istilah yang digunakan berkaitan dengan lanjut usia (lansia), di antaranya asy-Syaikhasy, Syuyukh, al-Kibar, al-Ajuz, dan ardzalil-’umur. Pertama, kata Asy-syaikhasy dalam kamus al-Muhith kata asy-syaikhasy diartikan sebagai orang yang telah nyata tuanya, yakni sekitar usia 50 – 80 tahun atau sampai akhir hayat. Kedua, asy-Syuyukh (bentuk jamak), Asy-Syuyukh mempunyai padanan kata lain yaitu Syiyukh, Syiikhah, Asyyaakh, Masyyakhah, dan Masyayikh (Aliah B Purwakania Hasan, 2008) Istilah ini lebih digunakan untuk menunjukkan kondisi para Nabi yang ketika itu sudah berusia lanjut. Istilah-istilah ini dapat kita temukan dalam beberapa ayat, antara lain dalam Alquran surat Yusuf ayat 78 yang merujuk kepada Nabi Ayyub as yang sudah berusia lanjut.

قَالوُْا يٰٓايَُّهاَ العْزَِيْز انَِّ لهَٓ ابَاً شيَخْاً

كَبيِْراً فَخذُْ احَدََناَ مَكَانهَ انَِّا نرَٰىكَ مِنَ

المْحُسْنِينَِْ

Artintinya: “Mereka berkata, “Wahai al-Aziz, sesungguh–nya dia (Bunyamin) mempunyai ayah yang sudah lanjut usia karena itu ambillah salah seorang di antara kami sebagai gantinya. Sesungguhnya kami melihat engkau termasuk orang-orang yang selalu berbuat lebih baik”.

Dalam Tafsir al-Misbah dijelaskan bahwa ayat ini menceritakan tentang peristiwa penangkapan Bunyamin (saudara kandung Nabi Yusuf as) oleh Nabi Yusuf as yang saat itu sebagai Raja, ketika mereka bertemu para saudaranya yang hendak meminta bantuan karena musim paceklik. Para Saudara Bunyamin teringat janji mereka kepada Ayah mereka, Nabi Ya’qub as. Maka, mereka membujuk Yusuf untuk melepaskan Bunyamin. Namun Yusuf menolak permintaan tersebut. Dalam permohonan tersebut, kata Syaikha mengandung tiga alasan yang mereka harapkan dapat dipertimbangkan Yusuf untuk melepas Bunyamin. Tiga alasan tersebut adalah kasih sayang seorang ayah, usianya yang sudah lanjut, dan bahwa orang tua tersebut terkemuka dalam masyarakatnya, memiliki kewibawaan di mata masyarakat, dan tentu saja masyarakatnya akan sangat senang bila ada yang berbuat baik kepada pimpinan mereka (M. Quraish Shihab, 2002).

Istilah Syaikh juga ditemukan dalam Alquran surat Hud ayat 72 yang merujuk kepada Nabi Ibrahim as dan surat Al-Qashshash ayat 23 yang merujuk kepada Nabi Musa as. Dalam ketiga ayat di atas menunjukkan kondisi para Nabi ketika itu sudah lanjut usia, dan satu isyarat istilah Syuyukh dalam surat Ghafir ayat 67 dalam bentuk jamaknya.

Ketiga, kata al-Kibar. Al-Kibar berasal dari kata kabira – yakbaru – kibaran, yang bermakna telah tua umurnya (kabira fi sinnihi) (Muhammad ibn Mukrim, 1995). Istilah al-Kibar ini mengandung arti orang yang berusia lanjut. Istilah-Istilah ini dapat dijumpai antara lain dalam surat Al-Hijr ayat 54 yang mengandung arti kondisi orang tua yang kekurangan gizi dan orang tua yang telah lanjut dan kekuatannya sudah rapuh. Selain itu, ayat tersebut menjelaskan terkait berita bahagia kelahiran seorang anak, yakni Nabi Ishaq as, untuk Nabi Ibrahim as beserta Siti Sarah, pada saat usia mereka sudah usia lanjut, dan ia merasa heran sambil meyakinkan kebenaran janji itu. Berikutnya surat Al-Isra’ ayat 23 yang mengandung makna bahwa orang yang berusia lanjut dalam keadaan lemah dan harus dirawat atau dijaga atau dipelihara (M. Quraish Shihab, 2002). Ayat tersebut mengandung makna tentang adab atau etika anak/ keluarga kepada orang tua terutama saat orang tua sudah lanjut usia. Dalam surat Maryam ayat 8 menegaskan bahwa kondisi orang tua tersebut sudah berumur sangat tua (M. Quraish Shihab, 2002). Ketiga ayat di atas menggambarkan kondisi Nabi Ibrahim as saat mendapatkan kabar beliau dikarunia seorang anak dalam kodisi yang sudah tua. Istilah al-Kibar juga dapat ditemukan pada surat Al-Baqarah ayat 266 mengandung arti orang lanjut usia, tepatnya pemilik kebun yang berusia lanjut. Kemudian terdapat juga dalam surat Ali Imran ayat 40 dan surat Ibrahim ayat 39.

Keempat, kata al-‘Ajuz. kata al-’Ajuz bermakna pe–rempuan yang usianya sudah lanjut (al-Mar’ah al-Kabiroh). Ayat-ayat yang menggunakan istilah ini merujuk kepada para istri Nabi yang sudah berusia lanjut. Istilah al-‘Ajuz ini dapat kita ditemukan antara lain dalam Alquran surat Hud ayat 72 dan Adz-Dzariyat ayat 29 yang merujuk kepada Siti Sarah, Istri Nabi Ibrahim as yang sudah tua dan tidak bisa mempunyai keturunan. Kemudian pada surat ash-Shaffat ayat 135 dan surat asy-Syu’ara ayat 171 yang merujuk kepada keadaan istri Nabi Luth as (M. Quraish Shihab, 2002).

Kelima, Istilah Al-Ardzal al-’Umur. Istilah ini digunakan dalam Alquran Surat an-Nahl ayat 70 yang menunjukkan makna usia yang sudah tua renta. Kemudian surat al-Hajj ayat 5 yang bermakna usia yang sangat tua dan pikun, surat al-Anbiya ayat 44 yang bermakna usia yang panjang sebagai nikmat, dan surat al-Qashash ayat 45 yang mengandung arti umur panjang.

Selain itu, Alquran telah mengilustrasikan bagaimana tanda-tanda yang muncul di usia lanjut ini. Beberapa tanda bahwa seseorang sudah memasuki usia lanjut adalah (1) lemah secara fisik dan mudah lupa, sebagaimana digambarkan dalam Alquran surat an-Nahl ayat 70 dan al-Hajj ayat 5; (2) masa lanjut usia pada perempuan diawali saat perempuan berhenti dari haid, atau dikenal dengan istilah menopause. Sebagaimana diisyaratkan dalam Alquran surat ath-Thalaq ayat 4 dan an-Nur ayat 60. Menopause sebagai tanda bahwa seorang perempuan sudah tidak mungkin mengandung/hamil, sebagaimana dalam Alquran surat Ali Imran ayat 40 dan Maryam Ayat 8; (3) semakin tua, tulang semakin lemah, rambut berubah menjadi putih (uban) sebagaimana dalam Alquran surat Maryam ayat 3-6 dan ar-Ruum ayat 54; (4) semakin bertambah usia, maka perasaan semakin sensitif sebagaimana dalam Alquran surat al-Isra ayat 23.

 

Dukungan Islam pada Lansia

Hal yang sangat penting dari ajaran Islam dalam melihat lansia adalah adanya dukungan dan penghormatan terhadap lansia. Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa penghormatan terhadap lansia ini bagian dari ketaatan kepada Tuhan. Allah telah memerintahkan seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tua terutama saat mereka sudah lanjut usia dan tidak boleh mengatakan perkataan yang menyakitkan, sebagaimana firman Allah dalam Alquran surat al-Isra ayat 23:

رَبُكَّ أَلَّا تعَْبدُُوٓا إلَّآ إيَّاهُ

ٰ وَقضَىَ

وَبٱِلوْ لَٰدِيَنِْ إحْسَ نٰاً إمَّا يبَْلغُنََّ عِندَكَ

� ٱ لكِْبرَ أَحدَُهمُآَ أَوْ كلِاَهمُاَ فلَاَ تقَُل لَهّمَُآ

أُفٍّ وَلَا تنَْهرَهْمُاَ وَقلُ لَهّمَُا قوَْلًا كرَِيماً

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-

duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Ayat tersebut menegaskan bahwa anak (laki-laki maupun perempuan) diharuskan berlaku baik kepada orang tua terlebih apabila sudah lanjut usia. Berbuat baik salah satunya dengan memberikan perhatian, kasih sayang yang lebih, dan tidak menyakitinya. Islam juga memberikan tawaran solusi bagi para lansia agar masa tua mereka bahagia. Seperti tertuang dalam Alquran surat al-Hijr ayat 54-55 yang mengisyaratkan agar setiap orang yang telah menginjak usia lanjut, hendaklah untuk tetap semangat/ optimis dan tidak mudah putus asa dalam menjalani kehidupan.

Lansia hendaknya selalu berpikir positif, mengasah intelektualnya dengan terus membaca dan berdiskusi, melakukan pola hidup sehat, silaturahmi dengan keluarga dan teman-temannya, tetap produktif sesuai kemampuan masing-masing, sehingga kehadirannya terus memberi bermanfaat bagi kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kisah Khaulah menjadi inspirasi bagi semua perempuan termasuk perempuan lansia untuk tetap semangat, kritis, dan mengomunikasikan ketidakadilan yang dirasakan untuk memperoleh keadilan dan kebahagiaan. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Dosen STAI Almasturiyah Sukabumi

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here