Oleh: Ratnasari*
Dalam rubrik Opini Swara Rahima edisi 60 ini, Redaksi mewawancarai Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo yang biasa dipanggil Ibu Tri Budi. Perempuan kelahiran Magelang pada 76 tahun yang lalu ini memiliki banyak kontribusi dalam bidang keilmuan maupun sosial kemasyarakatan. Ibu Tri Budi adalah Guru Besar Gerontologi (Ilmu tentang Kelanjutusiaan) Universitas Indonesia dan Universitas Respati Indonesia (URINDO). Ia juga pendiri Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia pada 2010, anggota Pokja Kesehatan Lansia Kementerian Kesehatan RI, serta pendiri dan penasihat Indonesia Ramah Lansia. Pada tingkat internasional, ia adalah pengurus Active Ageing Consortium Asia Pacific. Kini Ibu Tri Budi menjabat sebagai Rektor URINDO yang mendeklarasikan sebagai Universitas Ramah Lansia pada 2020 dengan visi “Menjadi Universitas Entrepreneur dan Ramah Lansia yang diakui secara internasional pada tahun 2030”.
Bagaimana Ibu melihat situasi lansia di Indonesia?
Saat ini Indonesia memiliki jumlah penduduk usia produktif terbesar se-Asia Tenggara. Dalam periode yang sama, penuaan penduduk terjadi di mana lebih dari 10% penduduk Indonesia adalah lansia. Pada 2020, jumlah lansia di Indonesia mencapai 26,4 juta jiwa. Berdasarkan data, komposisi lansia di perkotaan sekitar 52,8% dan perdesaan sekitar 47,2%. Lansia perempuan 52,35% dan laki-laki 47,65%. Jika berdasarkan kategori usia, lansia muda (usia 60-69 tahun) sejumlah 63,82%, lansia madya (usia 70-79 tahun) sejumlah 27,68%, dan lansia tua (usia ≥80 tahun) sejumlah 8,5%.
Rasio ketergantungan lansia sebesar 15,01, artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif (usia 15-59 tahun) harus menanggung 15 orang penduduk lansia. Banyaknya populasi lansia menyebabkan tuntutan perawatan yang lebih besar, menambah tanggungan beban ekonomi penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk lansia. Apabila penduduk lansia dalam kondisi sehat, aktif, dan produktif, maka besarnya jumlah penduduk lansia berdampak positif terhadap angka rasio ketergantungan (umur) serta kondisi sosial ekonomi keluarga, masyarakat, dan negara. Usia Harapan Hidup saat ini sekitar 72 tahun. Pada tahun 2045 diprediksi mencapai 76 tahun, dengan usia perempuan lebih panjang daripada usia laki-laki. Usia perempuan diperkirakan mencapai 77 tahun, sedangkan laki-laki 74 tahun.
Permasalahan khusus pada lansia perempuan antara lain bahwa jumlah perempuan lansia tiga kali lebih tinggi yang tinggal sendiri (13,39%) dibandingkan lansia laki-laki (4,98%). Lansia yang tinggal sendiri digambarkan sebagai kelompok yang berisiko dan membutuhkan perhatian khusus. Padahal jika mengacu pada data Susenas (2019), 1 dari 4 lansia mengalami sakit. Penyakit yang berisiko pada lansia antara lain prevalensi stroke, asma, ginjal, sendi, jantung, diabetes, dan hipertensi.
Apa saja sesungguhnya kebutuhan lansia?
Penuaan adalah hal lumrah yang akan dialami oleh semua orang. Penuaan berkaitan dengan proses multidimensional baik secara fisik, psikologis, dan perubahan sosial. Hal yang diharapkan adalah penuaan sukses, artinya meminimalkan risiko dari penyakit dan kecacatan, mempertahankan fungsi fisik dan kognitif, serta tetap berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Untuk mencapai kondisi lansia aktif dan tetap tangguh, ada tujuh dimensi kesejahteraan lansia yang perlu diperhatikan yaitu (1) dimensi spiritual; (2) dimensi fisik; (3) dimensi intelektual; (4) dimensi emosional; (5) dimensi sosial; (6) dimensi vokasional; dan (7) dimensi lingkungan.
Bagaimana negara sejauh ini memberikan perlindungan terhadap lansia?
Sejauh ini negara sudah banyak melakukan upaya perlindungan bagi lansia. Hadirnya Perpres 88/2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan menjadi bukti keseriusan negara untuk mendorong persiapan isu kelanjutusiaan lebih dini dan mengoptimalkan produktivitas lansia. Stranas Kelanjutusiaan menggunakan pendekatan kebijakan berbasis hak yaitu lansia memperoleh haknya sebagai warga negara, termasuk hak berkontribusi aktif dalam kegiatan ekonomi. Pendekatan siklus hidup yakni berdasarkan keberadaan, karakteristik, dan kebutuhan manusia sejak lahir hingga akhir hayat, serta mencegah dan mengurangi risiko kerentanan sejak dini.
Visi pada Stranas ini adalah mewujudkan hidup lansia Indonesia yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat. Ada lima strategi yaitu (a) peningkatan perlindungan sosial dan jaminan pendapatan dan kapasitas individu; (b) peningkatan derajat kesehatan dan kualitas lanjut usia; (c) pembangunan masyarakat dan lingkungan ramah lanjut usia; (d) penguatan kelembagaan pelaksana program kelanjutusiaan; (e) penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak lansia.
Sebagai contoh, BKKBN telah memiliki program Bina Keluarga Lansia (BKL). Kegiatan pokok BKL meliputi kegiatan penyuluhan, kunjungan rumah, pencatatan dan pelaporan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan keluarga yang memiliki anggota keluarga lansia atau untuk lansia itu sendiri. BKKBN juga memiliki program Sekolah Lansia untuk mewujudkan lansia tangguh, meningkatkan pemaha man dan pengetahuan lansia, terkait kesehatan fisik, kehidupan sosial dan ekonomi, serta lingkungan.
Selain itu, ada Gerakan Lansia Tangguh, serta platform online Go-Lantang untuk mewujudkan lansia tangguh. Dengan adanya program-program dari BKKBN, keluarga dapat memahami kebutuhan lansia untuk perawatan jangka panjang berdasarkan indikasi perawatan, model perawatan jangka panjang, melaksanakan langkah-langkah perawatan jangka panjang, dan mengembangkan konsep pelatihan perawatan jangka panjang.
Bagaimana seharusnya peran keluarga dan komunitas terkait persoalan dan perlindungan lansia?
Peran keluarga dan komunitas bagi lansia sesungguhnya sebagai pendamping, fasilitator, sahabat, konselor, atau komunikator dalam mempraktikkan pengasuhan yang positif bagi lansia. Bentuk pengasuhan berdasarkan kategori lansia, yaitu (1) Lanjut usia sehat, artinya lansia dengan keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial; (2) Lanjut usia mandiri, artinya lansia yang memiliki kemampuan untuk melakukan fungsi aktivitas dasar sosial sehari-hari; (3) Lanjut usia aktif, artinya lansia yang masih mampu melakukan kegiatan dalam tujuh dimensi yakni spiritual, emosional, intelektual, fisik, sosial, vokasional dan lingkungan; (4) Lanjut usia produktif, artinya memiliki kemampuan untuk terus berkarya dan atau menghasilkan sesuatu yang bermanfaat; (5) Lanjut usia renta, artinya lansia yang sudah mengalami keterbatasan karena kemampuan fungsional yang menurun, dan munculnya berbagai penyakit sehingga memerlukan perawatan jangka panjang.
Kemudian pendampingan lansia berdasarkan tingkat kemandirian secara utuh. Ada Lansia yang Mandiri atau Ketergantungan Ringan, sehingga keluarga dapat mendampingi kegiatan di Posyandu Lansia atau paguyuban secara aktif dalam tujuh dimensi kesejahteraan lansia. Pemberdayaan lansia dibutuhkan agar tetap sehat dan mandiri selama mungkin, namun tetap dimonitor kondisinya. Sedangkan bagi Lansia dengan Ketergantungan Sedang dan Berat, keluarga atau caregiver perlu memberikan bantuan dalam kehidupan sehari-hari lansia yang sudah tidak dapat merawat dirinya sendiri baik sebagian maupun penuh. Walaupun demikian, tetap memberikan kesempatan bagi lansia untuk melakukan kegiatan tujuh dimensi kesejahteraan lansia tangguh sesuai kondisinya, baik di dalam keluarga, masyarakat, panti, puskesmas, maupun rumah sakit.
Bagaimana dukungan yang dapat diberikan keluarga agar lansia dapat sejahtera?
Ada tujuh dimensi yang dapat diberikan oleh keluarga dalam kesejahteraan bagi lansia. Pertama, dimensi spiritual; keluarga memberi dukungan untuk meningkatkan spiritualitas. Bila masih mandiri, bisa didampingi dalam kegiatan keagamaan, rekreasi, dan budaya untuk mensyukuri kehidupan. Kegiatan ini dapat dilakukan di dalam dan luar rumah. Bagi yang sudah mengalami keterbatasan, pendampingan spiritualitas dilakukan di rumah dengan mendatangkan rohaniawan, budayawan, dan ahli lain untuk memenuhi spiritualnya. Pada era new normal, kegiatan spiritualitas dapat dilakukan melalui daring baik yang mandiri maupun yang sudah mengalami keterbatasan/disabilitas. Untuk itu pendamping perlu menguasai teknologi informasi.
Kedua, dimensi emosional; keluarga memberi dukungan untuk memenuhi kebutuhan emosi yang positif agar tetap stabil dan terhindar dari stres. Bagi yang mandiri, pendamping dapat mengajak lansia ke taman, berkebun, tempat rekreasi, atau restoran sambil bertukar pikiran dan perasaan. Bagi yang sudah mengalami disabilitas, pendamping bisa menjadi teman bicara yang baik, sebagai pendengar untuk menggali perasaan lansia. Lalu interaksi dengan anggota keluarga yang tidak tinggal serumah, bisa melalui teknologi informasi misalnya video call.
Ketiga, dimensi sosial kemasyarakatan dan ekonomi; keluarga dapat berperan untuk mendukung kegiatan sosial maupun pemenuhan ekonomi. Bagi yang masih mandiri, pendamping dapat mengajak lansia untuk kegiatan sosial, bisa di rumah maupun di masyarakat. Bagi yang sudah mengalami keterbatasan, pendamping berperan untuk mengajak anggota keluarga dan masyarakat datang ke rumah lansia. Bagi yang mengalami dampak ekonomi, perlu diberi dukungan melalui jejaring yang ada, baik keluarga, masyarakat, serta pemerintah. Pendamping membantu lansia agar tetap berkomunikasi melalui daring dengan teman sebaya maupun keluarga.
Keempat, dimensi fisik; keluarga dapat berperan secara aktif dalam memantau kondisi fisik lansia serta memberi edukasi langsung maupun daring. Bagi yang masih mandiri, pendamping menemani lansia untuk beraktivitas olahraga, konsultasi ke dokter atau fasilitas kesehatan. Bagi yang sudah mengalami keterbatasan, pendamping tetap dapat memberikan bantuan lansia untuk berolahraga sesuai kondisinya. Pendamping memfasilitasi dalam konsultasi dengan petugas kesehatan dan pembelian obat melalui daring.
Kelima, dimensi intelektual; keluarga dapat berperan untuk memfasilitasi kegiatan intelektual secara langsung maupun daring. Baik yang mandiri maupun telah mengalami keterbatasan, lansia dapat mengikuti forum-forum belajar dan seminar atau diskusi daring dari para ahli sesuai dengan kondisinya. Lansia dapat membaca tentang keagamaan, ilmu pengetahuan, hiburan yang sehat, main catur, mengisi teka-teki silang, menulis, atau menggambar. Lansia juga dapat berolahraga, stimulasi otak, diskusi, mengobrol, atau mengaji sesuai dengan tingkat kondisinya.
Keenam, dimensi profesional vokasional; keluarga dapat berperan agar lansia tetap berdaya guna bagi dirinya maupun orang lain sebagai bentuk aktualisasi diri. Bagi lansia yang mandiri maupun yang mengalami keterbatasan, lansia diberikan kesempatan melakukan kegiatan sesuai dengan bidangnya misalnya mengajar, sebagai konsultan, berwirausaha, dan lainnya. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui daring.
Ketujuh, dimensi dukungan lingkungan; keluarga dapat berperan untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif, nyaman serta aman. Lingkungan fisik yang sehat, akses internet, grup WhatsApp yang positif, lingkungan yang terang, nyaman, bersih, mencegah jatuh, tidak licin, dan tangga dengan pegangan.
Keluarga perlu memahami cara memperkuat sistem imun lansia yaitu dengan pola makan sehat, berhenti merokok, vitamin D dari paparan UVB sinar matahari dan kalsium, aktivitas fisik, hindari stres, tidur yang cukup, dan imunisasi lansia. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi lansia, lansia dapat makan 3-5 kali sehari dengan makanan yang variatif (karbohidrat, lemak, protein, buah, sayuran). Lansia juga perlu diet tinggi protein tergantung penyakit penyerta, membatasi penggunaan gula dan garam tambahan pada makanan, menghindari konsumsi alkohol dan merokok.
*Penulis adalah peneliti Pusat Riset Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia