Oleh: Andi Nur Faizah
“Anak itu mulai lulus SD sampai SMA diperkosa oleh ayah kandungnya. Saat kasusnya dilaporkan, kepolisian dan keamanan bilang tidak ada bukti yang konkret. Padahal hasil visumnya ada. Proses hukum masih belum berjalan karena pelaku (ayahnya) mengatakan bahwa si anak tidak normal dan hanya mengada-ngada. Akhirnya pihak keamanan tidak
segera menangkap pelaku.”
Salah satu peserta ulama perempuan Madura asal Pamekasan menceritakan pengalamannya di lapangan. Kasus kekerasan seksual yang dituturkan tersebut adalah satu dari sekian banyak kisah pilu yang terjadi di Madura. Sebagai sosok yang dekat dengan masyarakat, kehadiran ulama perempuan menjadi sangat penting. Sebab itu, ruang perjumpaan antar Simpul Rahima dari berbagai daerah di Madura perlu dilakukan guna memperkuat gerakan dalam mengadvokasi persoalan perempuan dan anak.
Hal tersebutlah yang melatarbelakangi kegiatan “Silaturahmi Ulama Perempuan Simpul Rahima Madura” di Aula Bappeda Sumenep pada 29 November 2021. Kegiatan yang didukung oleh We Lead tersebut dihadiri ulama perempuan dari empat Kabupaten, yakni Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Acara dibuka dengan beberapa sambutan dari Zainul Hasan selaku Sekretaris PCNU Sumenep, Pera Soparianti selaku Direktur Rahima, serta Dewi Khalifah selaku Wakil Bupati Sumenep. Sesi pertama diisi dengan diskusi kelompok yang difasilitasi oleh Desti Murdijana dan Farha Ciciek. Kemudian dilanjutkan dengan berbagi pengalaman lapangan dari Tanoker terkait inisiasi sekolah Bok-ebok dan Pak-bapak yang disampaikan oleh Pak Ali dan Bu Latifah.
Dalam diskusi kelompok yang membahas persoalan perempuan dan anak, wilayah Pamekasan dan Sampang melihat permasalahan kekerasan seksual pada anak, ibu rumah tangga, dan remaja. Sedangkan kelompok Bangkalan melihat persoalan utama yang terjadi adalah perkawinan anak, pelecehan seksual, dan sunat perempuan. Adapun kelompok Sumenep melihat permasalahan yang terjadi adalah konten pengajian yang sarat patriarki, perkawinan anak, kekerasan seksual, pengasuhan anak, serta penggunaan gadget yang tidak terkontrol pada anak.
Dalam merespons berbagai persoalan tersebut, Simpul Rahima Madura mengungkapkan telah melakukan berbagai inisiatif. Misalnya, melakukan kajian komunitas terkait isu kesetaraan, membuat pelatihan dai/ daiyah untuk melahirkan tokoh agama berperspektif adil gender, membentuk rumah konseling, berjejaring dengan ormas, melakukan pendampingan hingga ke badan hukum, serta mengawal Peraturan Daerah (Perda) Pengarusutamaan Gender.
Setelah presentasi kelompok, Desti Murdijana memetakan persoalan perempuan dan anak di Madura yang saling berkelindan. Di antaranya adalah kekerasan seksual, dispensasi nikah, perkawinan anak, KDRT, dan perceraian. Dari
hasil diskusi itu, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh ulama perempuan, yaitu (1) mengkritisi patriarki dengan cara membongkar sedikit demi sedikit dari dua sisi antar anak dan orang tua melalui pendidikan; (2) memperbanyak tokoh (khususnya ulama perempuan) yang berperspektif gender; (3) membangun system pendukung bagi sesama ulama perempuan. Karena mengadvokasi atau mendampingi korban butuh teman curhat guna mencari solusi yang konkret.