Oleh: Testia Fajar Fitriyani* dan Isthiqonita

 

Women’s Voice and Leadership atau WVL adalah salah satu program yang diinisiasi oleh Global Affairs Canada (GAC). Program ini diimplementasikan di 30 negara di dunia dengan 32 program terhadap organisasi-organisasi yang berfokus pada isu perempuan. WVL telah terlaksana sejak 2017 dan dilakukan di Asia sejak tahun 2019, termasuk di Indonesia. WVL merupakan salah satu program yang progresif karena GAC memiliki kebijakan internasional untuk bantuan feminisme atau Feminist International Assistance Policy (FIAP).

Negara yang disasar oleh WVL merupakan mayoritas negara miskin berkembang, baik di Amerika, wilayah timur tengah, Asia, dan Afrika. Secara spesifik, WVL berfokus pada ketimpangan gender yang dialami perempuan, kerentanan yang dialami oleh kelompok anak, disabilitas, dan kelompok marginal lainnya. Kelompok-kelompok rentan itulah yang ingin diberdayakan agar mereka mendapatkan hak-haknya di semua aspek, baik ekonomi, sosial, maupun kebijakan.

Adapun WVL memiliki tiga area yang ingin disasar. Pertama, di tingkat internal lembaga. WVL ingin berkontribusi untuk meningkatkan tata kelola organisasi perempuan, baik di tingkat lokal maupun regional. Area ini disasar agar lembaga perempuan terus ada dan mampu melanjutkan perjuangan isu-isu perempuan.

Kedua, sisi program dan advokasi. Setelah internal lembaga, diharapkan lembaga-lembaga perempuan tersebut mampu melakukan penguatan kapasitas di akar rumput untuk menjalankan program. Baik itu advokasi maupun pendampingan komunitas dengan tujuan memajukan kesetaraan gender, memberdayakan perempuan dan anak, serta berpihak pada kelompok marginal.

Ketiga, melakukan penguatan jaringan agar dapat terbangun kekuatan yang lebih besar dalam menyasar isu kesetaraan gender. Hal ini penting dilakukan agar jaringan atau aliansi yang sama-sama mendukung terhadap isu kesetaraan gender dan mengadvokasi regulasi yang sama dapat saling menguatkan. Dalam hal ini, tujuan besar WVL adalah untuk memajukan kesetaraan gender, memberdayakan perempuan, dan mempromosikan pemenuhan hak asasi perempuan.

Dalam menyasar tiga area tersebut, setiap negara yang tergabung dalam WVL memiliki fokus isu sesuai kondisinya masing-masing. Misalnya Pakistan yang fokus mengembangkan gender action plan dan gender legacy dengan peningkatan kapasitas perempuan muda di lembaganya. Hal tersebut dilakukan untuk menguatkan kapasitas dari sisi individu terkait feminisme dan gender transformatif, serta organisasi terkait gender transformative budgeting dan gender transformative planning.

Adapun Bangladesh berfokus pada kepemimpinan perempuan muda melalui Girls Leadership Program. Program ini bertujuan untuk memberdayakan perempuan yang masih muda guna melawan budaya yang melarang perempuan pulang malam, berjalan sendirian tanpa izin dari laki-laki, hingga larangan perempuan untuk bersekolah. Inisiatif yang dilakukan tersebut adalah upaya untuk mendobrak tabu serta memperkuat interaksi sesama perempuan untuk belajar bersama. Dalam Girls Leadership Program, perempuan muda memiliki ruang aman untuk mendiskusikan berbagai permasalahan perempuan. Keberanian perempuan untuk mendobrak tabu di masyarakat merupakan ukuran keberhasilan dalam program ini.

Sedangkan Indonesia melalui konsorsium We Lead, berfokus untuk meningkatkan akuntabilitas tata kelola organisasi yang berorientasi pada keberlanjutan. Konsorsium We Lead juga melakukan pengorganisiran komunitas dan kolaborasi jejaring untuk advokasi memajukan kesetaraan gender dan toleransi guna memperkuat gerakan perempuan di Indonesia. Namun bagaimanapun dalam menggarap isu-isu tersebut, setiap negara mengalami situasi yang khas di masa pandemi Covid-19.

 

Situasi di Masa Pandemi Covid-19

Setiap negara memiliki situasi yang beragam saat terjadi pandemi Covid-19. Ada yang serupa, tetapi ada juga yang berbeda. Indonesia dan Bangladesh misalnya, memiliki kemiripan perihal kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual, baik di Indonesia maupun Bangladesh menjadi isu nasional, khususnya saat terjadi pandemi Covid-19. Sedangkan di negara lain kekerasan seksual tetap ada, tetapi tidak menjadi isu nasional yang mendesak.

Adapun di Myanmar isu yang menjadi perhatian nasional dan organisasi perempuan adalah kudeta militer. Anggota WVL Myanmar secara khusus melakukan pendampingan ekstra terhadap perempuan di tengah kudeta militer dalam situasi Covid-19. Pendampingan yang dilakukan yaitu melakukan mitigasi Covid-19, menghubungkan berbagai jaringan komunitas perempuan, pe–nguatan ekonomi perempuan, bahkan melakukan pendampingan psikologis pada perempuan yang sering mendapatkan teror bom.

Dalam situasi di masa pandemi Covid-19 tersebut, negara-negara klaster Asia yang tergabung di dalam WVL mau tidak mau harus menggeser fokus kegiatannya. Program yang pada mulanya melakukan penguatan perempuan beralih kegiatannya menjadi mitigasi risiko Covid-19. Beberapa hal yang dilakukan yakni penanganan risiko dampak Covid-19 untuk kelompok perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya melalui respond grants.

Meskipun dihadapkan pada situasi pandemi Covid-19, kelompok perempuan memiliki daya tahan yang luar biasa. Di tengah upaya untuk bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga, mereka tetap aktif melakukan advokasi kebijakan, pendampingan komunitas, dan melanjutkan penguatan perempuan di akar rumput.

Dalam situasi terbatas, para organisasi perempuan juga memanfaatkan platform digital untuk kerja-kerja komunitas. Pemanfaatan teknologi tersebut sangat berkontribusi dalam mendorong upaya pengorganisasian sehingga pendampingan, jejaring, advokasi, dan ruang aman dapat benar-benar dimaksimalkan. Hal ini menjadi bukti bahwa organisasi perempuan mampu bertahan di berbagai situasi.

*Penulis merupakan Project Manager of We Lead

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here