Oleh: Yayu NH

 

Masih melekat dalam ingatan saya bagaimana rasanya menjalani hari sebagai siswi SMP yang sedang menstruasi di hari pertama. Pengalaman lupa tidak membawa pembalut tapi malu jika harus melipir ke kantin, sedangkan di bagian bokong di rok biruku tiba-tiba ternodai dengan bercak kemerahan. Keringat dingin terjun deras di area dahiku, ketimbang rasa kram yang menjalar di perut, rasa malu ternyata tidak kalah merepotkan. Dengan bokong yang ditutupi ransel, saya melesat lari ke UKS agar bercak darah tersebut terumpat. Di sana, saya diberi paracetamol dan pembalut. 

Ini adalah bulan kedua saya menjalani kehidupan sebagai perempuan baligh yang baru mengalami menstruasi. Di antara teman-teman yang lain saya terbilang “terlambat” menstruasi. Haid pertama saya keluar pada akhir kelas sembilan. Saya sering bertanya kepada teman-teman yang sudah lebih dulu haid, “Bagaimana rasanya menstruasi? Kalau buang air kecil apakah darahnya ikut mengalir juga? Bagaimana cara memasang pembalut? Apakah sayapnya dibiarkan saja atau ditempel?”.

Tapi jawaban yang saya terima dari orang lain selalu “Nanti juga kamu ngerasain sendiri!” atau “Ih, jorok deh nanya kayak begitu!”. Selain itu ada juga yang menjawab setengah ngambek, ada juga yang malu-malu. Lha? Memangnya salah kalau bertanya pada yang sudah berpengalaman? Kalau nanti saya kebingungan masang pembalut masa harus pergi ke warnet lalu cari di google? Pikirku.

Saat Umik tahu bahwa putrinya ini menstruasi untuk kali pertama, respon yang saya dapat malah wajah seram, seperti orang marah. Situasi ini malah membuat saya semakin bingung. Saya tidak tahu harus apa setelahnya, saya mencari tahu semuanya sendiri, bahkan materi bab reproduksi di buku LKS biologi sekolah tidak membantu sama sekali.

“Awas lho, rambutmu nggak boleh jatuh!”

“Kalau lagi haid, jangan keramas!”

“Pembalutnya cuci bersih, nanti dimakan kuntilanak!”

Begitulah hal-hal yang diucapkan pada saya saat saya baru menstruasi, dan masih banyak sekali pantangan-pantangan yang saya dengar yang membuat saya risih dan keribetan menjadi perempuan.

Barulah saat menginjak dewasa, saya jadi tahu bahwa menstruasi yang dialami perempuan merupakan siklus biologis yang biasa, di mana setiap bulan, rahim perempuan mempersiapkan diri untuk kehamilan, apabila tidak ada sel yang dibuahi, maka akan melebur/meluruh dalam bentuk darah melalui vagina.

Jika sudah tahu seperti itu, mestinya kita tidak perlu saat tiba-tiba darah mens menembus rok/celana yang kita pakai, atau tidak perlu malu-malu saat membeli pembalut apalagi sampai meminta kresek warna hitam.

Menurut Ibu Dr. Nur Rofiah, pengalaman biologis perempuan dekat sekali dengan darah, baik itu darah saat menstruasi, nifas, melahirkan, maupun istihadhah.

Al-Qur’an memberitahu kita bagaimana seharusnya memperlakukan perempuan yang sedang berhaid yakni dengan memberikan empati kepadanya yang sedang mengalami kesakitan dengan tidak menggaulinya. Seperti yang tertulis dalam QS Al Baqarah ayat 222  bahwa kita harus berbuat baik pada perempuan haid:

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.

Dalam sebuah forum Kajian Gender Islam, ibu Nyai Nur Rofiah berkata konteks “menjauhi istri” dalam ayat ini adalah dengan memberikan ruang dan waktu agar perempuan dapat beristirahat dan jeda sejenak dari pekerjaan-pekerjaan yang berat. 

Hal ini bertolak belakang dengan tradisi yang terjadi di jazirah atab saat jahiliyah dulu. Di mana mereka mengurung perempuan menstruasi di dalam gua dan diasingkan karena dianggap menjijikan. Al Qur’an mengajarkan sesuatu kepada kehidupan manusia untuk menghormati dan memperlakukan dengan baik salah satunya dengan menjaganya dari kesakitan berlipat saat menstruasi.

Ada banyak keistimewaan yang didapat perempuan dengan bergam pengalaman biologisnya. Di balik rasa sakit kram perut yang luar biasa saat menstruasi, Allah menitipkan rahim untuk bekerja keras agar sel yang tidak dibuahi dapat meluruh sehingga tidak terjadi kehamilan. 

Pembelajaran di atas dapat menjadi refleksi bagi semua manusia untuk memperlakukan perempuan dengan baik di segala keadaannya dan segala konteksnya.

 

Referensi

Nalar Kritis Muslimah – Nur Rofiah

Islam Memuliakan Perempuan yang Sedang Haid- Mubadalah.id

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here