Oleh: Misbahul Huda

 

Sejak ratusan tahun lalu, tradisi merayakan maulid  atau peringatan hari lahir Nabi Muhammad saw hidup dalam masyarakat Cirebon. Khususnya di sekitar tempat tinggal saya, di daerah Pamijen (Sindanglaut). Selama satu bulan penuh, masjid dan mushola silih berganti memperingati lahirnya sang Nabi. 

Masyarakat biasa merayakannya dengan membaca bait-bait Barjanzi, Diba’i, Simtuddurar, maupun Burdah. Momentum maulid ini dilakukan setiap tahun guna mengajarkan kecintaan kepada sang Nabi, mengharap keberkahan, sekaligus menikmati indahnya nada-nada bait yang dibacakan.

Semua orang ikut serta dalam perayaan ini. Namun dalam praktiknya di daerah saya, perempuan masih jarang terlibat untuk kegiatan yang lebih substantif. Perempuan lebih banyak dilibatkan untuk urusan-urusan domestik di dapur seperti memasak ‘berkat’. Tetapi dalam prosesi acara, perempuan tidak dihadirkan. Hal ini terjadi karena kehadiran perempuan sering dianggap aib dan aurat.

Dulu, saya melihat, ketidakhadiran perempuan dalam prosesi acara maulid adalah sesuatu yang seharusnya terjadi atau  lumrah. Tetapi seiring berjalan waktu, saya melihat cara pandang merumahkan perempuan dan meminggirkannya dari aktivitas sosial adalah sebuah kekeliruan.

Padahal, jika kita mau menilik kembali aktivitas perempuan di ranah sosial yang ada pada zaman Nabi. Seharusnya bisa menjadi pegangan kita bagaimana perempuan agar tidak dikungkung atas nama aurat. Hal ini juga barangkali yang menjadi landasan bagi Gerakan Aisyiyah, Persatuan Islam Istri (Persistri), Muslimat Nahdlatul Ulama, dan Badan Koordinasi Majelis Taklim misalnya, telah ikut melibatkan perempuan untuk dapat berkontribusi aktif dan bermakna.

Setidaknya, saya mengamati ada beberapa manfaat keterlibatan aktif perempuan dalam tradisi maulid atau aktivitas sosial lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa menghadiri peringatan keagamaan dapat berkorelasi positif terhadap kesehatan mental perempuan, terutama perempuan lanjut usia (lansia).  Seperti yang disampaikan oleh Nugroho (2021), dalam bukunya “Masalah Umum Psikologis Lansia dan Pencegahannya”.

Keterlibatan perempuan dalam peringatan maulid dapat membuka kesempatan-kesempatan baru untuk perempuan berkiprah di sosialnya. Di daerah saya pada pada khususnya anggota legislatif atau pemimpin daerah turut hadir merayakan Maulid bersama dengan warga. Hal ini biasa dilakukan untuk menyerap aspirasi dari masyarakat. Kesempatan ini adalah kesempatan yang bagus bagi perempuan untuk dapat terhubung dengan dunia luar. 

Melihat kemaslahatan ini, orang-orang yang memiliki kesadaran perlu bahu-membahu untuk perempuan dapat menempati posisi yang bermakna. Walapun menentang dinamika budaya yang ada menyesuaikannya menjadi budaya yang adil bagi perempuan. 

Sehingga perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama mengekspresikan kebahagiaannya merayakan hari kelahiran Nabi dengan damai dan tanpa diskriminasi. Karena sesungguhnya kelahiran Nabi merupakan simbol dari penghapusan segala bentuk kezaliman, termasuk dengan praktik peminggiran perempuan.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here