Oleh: Misbahul Huda

Sejak dulu fenomena atau tren perempuan lajang selalu menarik untuk disorot. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan tren menikah muda terjadi meningkat di tahun 2011, namun sekarang lebih dari separuh perempuan usia 30 tahun ke bawah belum menikah. Perempuan yang melajang hingga di atas usia 30 tahun meningkat rata-rata 1,03% setiap tahun. 

Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Baru-baru ini misalnya, census.gov merilis data Biro Sensus Amerika Serikat tahun 2019 yang mengungkap bahwa terdapat 89,8 laki-laki yang belum menikah untuk setiap 100 perempuan yang belum menikah. Hal ini berarti, perempuan lajang lebih banyak dijumpai di AS dibanding laki-laki.

Meski menjadi tren yang banyak dijumpai, perempuan dengan status lajang sebetulnya banyak distigma atau dipandang negatif oleh masyarakat. Di Indonesia, perempuan yang melajang sampai usia tertentu kerap disebut sebagai ‘perawan tua’. Meski dengan sebutan yang berbeda, ragam stigma tersebut juga umum dijumpai di negara lain. Perempuan lajang dianggap oleh masyarakat sebagai orang yang ‘kurang laku’ atau ‘perempuan sisa’.

Cara pandang tersebut lahir dari perspektif yang keliru, di mana perempuan dianggap sebagai objek dan barang. Padahal perempuan memiliki status yang sama dengan laki-laki sebagai subjek. Objektifikasi terhadap perempuan lajang dapat berdampak negatif. Seperti dapat menurunkan harga diri dan kepercayaan diri perempuan. Atau objektifikasi perempuan juga dapat meningkatkan tekanan sosial dan meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan.

Seperti yang dikemukakan Ibu Neng Hanna pada buku yang berjudul “Objektifikasi Tubuh Perempuan Sebagai Akar Kekerasan Seksual (Studi Pemikiran Michel Foucault)”. Ia menyatakan bahwa manifestasi kekerasan seksual salah satunya bersumber dari objektifikasi terhadap tubuh perempuan. Untuk itu laki-laki perlu melihat perempuan sebagai sosok yang memiliki hak melajang, seperti juga laki-laki. 

Imam Syafi’i sendiri dan jumhur ulama lainya, berpendapat bahwa hukum asal menikah adalah mubah (boleh). Hukum menikah dapat berubah menjadi sunah, wajib ataupun makruh dan bahkan haram sangat tergantung pada kondisi dan keadaan yang ada. 

Menurut Imam Syafi’i, apabila seseorang ahli dalam ibadah dan dia membuat dirinya sibuk pada ibadah, maka hal itu lebih utama dibanding menikah. Imam Nawawi menyatakan, orang yang tidak berhasrat untuk menikah padahal ia mampu, maka baginya boleh untuk memilih tidak menikah.

Banyak dari tokoh-tokoh Islam, yang hidup melajang sampai akhir hayatnya. Abdul Fattah Abu Ghuddah, menulis kitab Al-Ulama’ al-‘Uzzab Alladzina Atsarul ‘ilma ‘Ala az-Zawaj. Kitab ini berisi kisah ulama yang melajang seumur hidupnya. Di antaranya adalah Rabi’ah Al-‘Adawiyah yang terkenal sebagai sufi. 

Terakhir, saya ingin menunjukan data yang diungkap oleh Mies Grinjis dan Hoko Horii, seperti dikutip oleh Octaviani (2020), bahwa terdapat setidaknya 50% pernikahan usia dini yang berakhir pada perceraian. Karena itu, tepat belaka apa yang dikatakan oleh ad-Darimi, seperti yang dikutip oleh az-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, bahwa bersabar dalam menyiapkan diri untuk pernikahan adalah lebih baik, daripada bersabar di dalam menikah.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here