Oleh: Abdul Majid Ramdhani

Puluhan perempuan ulama, aktivis, dan akademisi hadir dalam Konsolidasi Jaringan Ulama Perempuan Jawa Barat di ruang Shafa Function Room, Noor Hotel, Bandung, Jawa Barat. Selasa, 08/11/2023. Acara konsolidasi ini didukung penuh oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dengan mengusung tema: “Mengawal Implementasi Fatwa Kongres Ulama Perempuan (KUPI)”. Acara ini kemudian diibaratkan penulis sebagai momentum “Bandung Lautan Ulama Perempuan.” 

Dialektika intelektual Ulama Perempuan pada realitanya tersumbat, tidak berjalan lancar sebagaimana peran dan kiprah ulama laki-laki. Kehadiran ulama perempuan banyak dihalangi oleh stigma yang menempel dari cara pandang misoginis, yang menolak keberadaannya di tengah masyarakat karena menganggap perempuan sebagai sumber fitnah sehingga aktivitasnya perlu dibatasi. 

Pergerakan Ulama Perempuan di ruang publik menjadi simbol yang dilakukan untuk mendongkrak keterkungkungan perempuan. Apalagi dengan gerakan-gerakan kongres dan konsolidasi, seperti yang dilakukan Perhimpunan Rahima dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) salah satunya. Yaitu sebuah gerakan masif yang dilakukan sejumlah ulama perempuan secara kolektif yang membincang dan menarget kebijakan dan kemaslahatan untuk perempuan.

Gerakan perempuan perlu terus dilakukan dengan landasan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama merupakan khalifah di bumi ini atau khalifah fil ardh. Maka, sudah sepatutnya perempuan mendapatkan kesempatan yang sama, tidak tertahan stigma, untuk bergerak melakukan kolaborasi untuk mewujudkan Islam yang penuh rahmat bagi semesta. 

Kehadiran ulama perempuan dengan peran dan tanggung jawab keulamaan-nya di sepanjang masa, pada hakikatnya, adalah keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah. Ulama perempuan bersama ulama laki-laki adalah pewaris Nabi Saw yang membawa misi tauhid, membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, memanusiakan semua manusia, dan menyempurnakan akhlak mulia demi mewujudkan kerahmatan semesta.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, ulama perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara sebagaimana dinyatakan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Rahima dengan simpul ulama perempuannya menjunjung nilai moral menggaungkan keadilan gender, isu-isu krusial yang sampai hari ini terbukti masih terjadi di kehidupan perempuan di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa Barat. 

“Pergaulan dengan teman-teman kader di Rahima dapat dikatakan berpengaruh, tetapi selama pergaulan itu banyak hal yang kemudian membentuk karakter pribadi saya pun termasuk pola pikir dalam melihat fenomena-fenomena yang dialami para perempuan,” ujar Desy, salah satu kader dari regional Ciayumajakuning saat diwawancarai dan menerima pemberian buku-buku terbitan Rahima dan KUPI. 

Indonesia memiliki banyak ulama perempuan sejak beberapa abad lalu, tetapi peran mereka terpinggirkan di dalam catatan sejarah. Rahima memelihara tradisi intelektualnya dengan melakukan diskusi-diskusi membahas dan mencari solusi yang diperlukan sekitar, salah satunya dengan memberikan informasi hasil kajian keislaman untuk isu perempuan. Tidak hanya kepada perempuan, namun perubahan yang dilakukan Perhimpunan Rahima juga merupakan gerakan yang menyelamatkan nilai-nilai kemanusiaan. 

Pengalaman-pengalaman stigmatisasi dan marginalisasi yang dihadapi kaum perempuan masih banyak terjadi hingga zaman sekarang, zaman yang semakin supercanggih dengan segala teknologinya. Di sinilah lahirnya pejuang ulama perempuan, dengan ghirah “ruh al-da’wah” (spirit mengajak), dan mengingat kembali potret perjalanan dakwah Rasullulah Muhammad saw. 

Buku “Ulama Perempuan Bergerak untuk Perubahan,” mencerminkan perjuangan ulama perempuan di akar rumput  yang tidak hanya bergerak dalam kehidupan spiritual, intelektual, kultural, dan sosial. Kesebelas penulis (ulama perempuan) ini mengungkapkan realitas dengan cara yang berbeda. Namun terasa sekali muatan idealismenya yang tinggi dan mulia. 

Sebagaimana kutipan KH. Husein Muhammad; Apa yang kau katakan atau kau tulis adalah kode isi hatimu. Caramu berkata-kata adalah simbol karaktermu. Bagi penulis yang sekaligus jurnalis dan meliput kegiatan konsolidasi di Bandung, 8 November 2023, saat ini Perhimpunan Rahima dan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia)sudah menjadi salah satu sumber penting dalam isu-isu keadilan gender, hak-hak perempuan, keislaman, di ruang forum offline maupun online (digital). Jika dulu suara perempuan dan perspektif ulama perempuan tidak banyak diserukan, Perhimpunan Rahim dengan menerbitkan buku-buku karya dari para kadernya sudah merubah keadaan secara drastis. 

Untuk itu saya menaruh harapan besar misi Perhimpunan Rahima di masa yang akan datang selain dapat mengembangkan sikap dan pandangan yang inklusif, proaktif, inovatif, kritis dan kreatif-konstruktif sebagai sikap yang lahir dari tanggung jawab sebagai seorang kader Rahima. Lebih dari itu yang harus tetap menjadi karakter dari pribadinya adalah komitmen menyuarakan gerakan kemanusiaan dan hak-hak perempuan (Ikrar Warung Jambu, 2017), serta moral kuat sebagai penganut agama Islam taat dan cinta terhadap tanah airnya.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here