Oleh: FIkri Gusti Adenansyah

Banyak orang berpikir kalau satu masalah dapat diselesaikan dengan satu solusi di waktu itu juga. Padahal masalah yang terjadi mungkin saja berakar dari sesuatu yang lebih kompleks, atau masalah-masalah adaptif. Masalah adaptif singkatnya adalah masalah yang tidak hanya dapat diselesaikan dengan satu kebijakan atau secara struktural, karena masalah adaptif datang dari berbagai macam faktor seperti cara pandang dan perspektif.

Salah satu contoh perilaku yang menggambarkan ketidakcakapan warga dalam merespon suatu permasalahan adalah perihal memboikot produk Israel. Apakah gerakan boikot ini memiliki konsekuensi lain daripada tujuan awalnya untuk menolong saudara-saudara di Palestina yang sedang mengalami penderitaan?

Ada satu hal yang menggugah pikiran saya. Tentang sebuah cerita dari seorang istri yang merasa khawatir suaminya akan kehilangan pekerjaan. Di mana sang suami bekerja pada kantor yang di daftar terafiliasi kepada Israel. Dalam salah satu komentar pada postingan Instagram yang menyeru pemboikotan ia berkomentari “Ya, Allah suami bekerja cukup lama di brand itu, dia takut kehilangan pekerjaan dan tidak bisa menafkahi keluarga lagi”.

Kemudian Ibu tersebut mendapatkan balasan komentar berbunyi “Kalo rejeki itu sudah diatur sama Allah Bu, emang Ibu tega lihat saudara kita seagama mati di Palestina?”. Komentar itu kemudian mendapatkan balasan kedua, “Emang kalian gak kasihan dengan kami, memang saya bukan saudara seagama kalian?”.

Komentar yang disebutkan di atas adalah salah satu contoh problematika yang dilematis. Di mana seorang muslim yang ingin membantu saudaranya di Palestina dengan memboikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel ternyata berdampak kepada akses kepada pekerjaan bagi muslim lainnya. 

Fatwa MUI Tentang Pemboikotan

Salah satu faktor yang berkontribusi pada tingginya antusiasme terhadap seruan memboikot adalah Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 83 Tahun 2023 tentang Hukum Dukungan terhadap Pejuang Palestina. Fatwa tersebut menyatakan bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina dari agresi Israel dianggap sebagai kewajiban, sementara mendukung agresi Israel terhadap Palestina dianggap sebagai perbuatan yang terlarang. 

Namun belakangan, MUI mengklarifikasi bahwa mereka tidak pernah merilis daftar produk dari perusahaan-perusahaan yang mendukung atau terafiliasi dengan dukungan terhadap Israel. Mereka menegaskan bahwa yang diharamkan oleh fatwa MUI bukanlah produk itu sendiri, terutama jika produk tersebut sudah mendapatkan sertifikat halal.

Dengan munculnya fatwa ini banyak muslim akhirnya merasa terdukung untuk memboikot produk-produk pro Israel. Gus Nadirsyah Hosen, seorang intelektual muslim muda, ia menyatakan bahwa fatwa MUI berpotensi untuk menjadi sumber kebingungan dan tafsir ganda di masyarakat. 

Mengekspresikan solidaritas dengan melakukan pemboikotan terhadap produk Israel adalah sebuah bentuk protes damai yang dapat membangkitkan kesadaran global terhadap permasalahan kemanusiaan di Timur Tengah. Dengan menolak produk Israel, individu dan kelompok dapat menyampaikan pesan tegas tentang penolakan terhadap tindakan kebijakan yang dianggap melanggar hak asasi manusia di Palestina.

Mendorong Pertumbuhan UMKM di Indonesia

Salah satu dampak positif yang mungkin terjadi dari pemboikotan adalah peluang pertumbuhan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Dengan peningkatan permintaan terhadap produk lokal sebagai pengganti produk Israel, UMKM dapat melihat pasar yang lebih luas dan mendapatkan dukungan konsumen yang lebih besar. Hal ini dapat memberikan dorongan positif bagi UMKM untuk berkembang dan meningkatkan kapasitas produksinya.

Boikot produk Israel dapat menjadi momentum untuk memperkenalkan konsumen kepada produk-produk lokal. Masyarakat di Indonesia dapat lebih memilih dan mendukung produk-produk dari UMKM dalam upaya bersama untuk mencapai kedaulatan ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada produk impor.

Namun, upaya boikot tidak hanya memiliki dampak positif. Bagaikan praktik barter, memboikot produk Israel membawa potensi kerugian ekonomi yang signifikan bagi produsen dan pekerja Israel yang tidak terlibat dalam kebijakan politik pemerintah. Selain itu pekerja yang tergantung pada sektor-sektor yang terkena dampak boikot dapat menghadapi risiko pengangguran akibat penurunan aktivitas ekonomi dan produksi.

Boikot produk Israel memiliki potensi untuk memperdalam polarisasi dan ketegangan antara pendukung Palestina dan pendukung Israel di tingkat internasional. Ancaman kehilangan pekerjaan di brand-brand yang terlibat dalam boikot dapat memperkuat ketegangan ini. Dampak yang terjadi dan ketegangannya membuat dialog yang konstruktif dan perundingan yang dapat membawa solusi damai sulit dicapai.

Dari fenomena yang terjadi hari ini, kita bisa melihat bahwa setiap keputusan atau kebijakan memiliki konsekuensinya sendiri. Maka dalam situasi yang sulit ini seseorang perlu kembali merefleksikan sikap yang diambilnya agar menjadi win win solution, atau mengedepankan kebijakan dengan konsekuensi yang memiliki dampak buruk yang lebih kecil. Hal ini tertulis dalam QS Al-Maidah ayat 8 berbunyi:

“Dan jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil”. Kiranya ayat tersebut menjadi landasan seseorang dalam mengambil kebijakannya. Wallahu’alam.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here