Oleh: Fikri Gusti Adenansyah

Akhir-akhir ini, kita diperlihatkan banyaknya pemberitaan di media sosial atas terjadinya bentrok massa di Kota Bitung, Sulawesi Utara pada Sabtu, 25 November 2023. Bentrok tersebut terjadi antara pendukung Palestina dan kelompok ormas yang membawa bendera Israel. Namun setelah pertemuan malam itu, aparat, pemerintah daerah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat berhasil mencapai kesepakatan damai untuk mengakhirinya. Kejadiaan ini tentu menjadi catatan buruk untuk negara kita atas kerentanan terjadinya konflik. 1

Konflik tak hanya meninggalkan jejak destruktif pada struktur fisik dan sosial suatu masyarakat, tetapi juga memunculkan beban ganda yang terkadang tak terlihat, namun sangat nyata bagi perempuan. Dalam dinamika konflik, perempuan dihadapkan pada tantangan langsung yang diakibatkan oleh kekerasan dan ketidakpastian. Selain itu juga dihadapkan pada norma sosial yang memberikan beban ekstra pada pundak mereka.

Kerentanan Perempuan dalam Konflik

Salah satu dampak yang paling besar adalah peningkatan risiko kekerasan gender. Konflik seringkali memicu eskalasi kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan, baik sebagai strategi perang atau sebagai bentuk eksploitasi kekuasaan. Dalam bayang-bayang kekacauan, pelecehan semacam itu menjadi fenomena tragis yang seringkali luput dari sorotan.

Kita juga bisa melihat dari kerusuhan Mei 1998 di Indonesia, perempuan keturunan Tionghoa menjadi salah satu kelompok yang terdampak secara tragis. Konflik tersebut menyebabkan sejumlah kekerasan seksual terjadi seperti pelecehan, dan pemerkosaan  yang mengakibatkan dampak fisik dan psikologis yang mendalam. 2 

Peristiwa kekerasan seksual selama konflik tersebut secara langsung menciptakan luka mendalam dalam komunitas perempuan keturunan Tionghoa. Mereka tidak hanya harus menghadapi trauma secara individu dan keluarganya, tetapi juga merasakan dampak perpecahan sosial yang muncul akibat ketidakamanan di Indonesia secara umum.

Pembentukan Komnas Perempuan Sebagai Perlindungan pada Perempuan

Pasca kerusuhan Mei 1998, setelah Presiden Habibie melakukan audiensi dengan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Saparinah Sadli memberikan usulan mengenai penanganan kasus perkosaan sistemik. Kemudian Presiden Habibie mengajukan pembentukan Komisi Nasional Perlindungan Wanita, tetapi tawaran ini ditolak oleh aktivis perempuan.

Setelah perundingan, disepakati pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang bersifat mandiri dan independen, sesuai Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998. Komnas Perempuan menjadi lembaga yang secara eksplisit menolak kekerasan terhadap perempuan dan menegaskan peran pentingnya dalam menyuarakan kepentingan perempuan di Indonesia. 3

Beban ekonomi dalam konteks konflik bukan sekadar tantangan, tetapi ujian berat yang dialami oleh perempuan. Tanggung jawab untuk menjaga dan menyokong keluarga serta komunitas menjadi beban eksklusif bagi perempuan, terutama saat para laki-laki terlibat langsung dalam konflik atau bahkan menjadi korban. Dalam situasi seperti ini, perempuan sering kali mendapati diri mereka menjadi tulang punggung keluarga, menghadapi tekanan ekonomi yang melibatkan pemenuhan kebutuhan dasar.

Beban Perempuan Sebagai Dampak Konflik

Akses terhadap pekerjaan, pendidikan, dan layanan kesehatan, yang seharusnya menjadi hak setiap individu, sering terhalang atau bahkan menghilang selama konflik. Hal tersebut menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang semakin memperburuk kondisi perempuan. Terbatasnya peluang pekerjaan dan pendidikan memberikan dampak jangka panjang pada kemandirian ekonomi perempuan, menciptakan ketidaksetaraan yang sulit diatasi.

Selain beban ekonomi, perempuan juga mengalami perubahan peran sosial yang signifikan. Di tengah ketidakpastian konflik, mereka dihadapkan pada harapan untuk menjadi penjaga keluarga dan pengelola rumah tangga. Tantangan ini bukan hanya bersifat praktis, tetapi juga membawa beban psikologis yang mendalam. Perempuan harus menghadapi tidak hanya kekhawatiran sehari-hari terkait dengan pemenuhan kebutuhan hidup, tetapi juga trauma dan ketidakpastian masa depan. 4

Melangkah Bersama dan Kolaborasi Menuju Pemberdayaan Perempuan di Tengah Konflik

Dalam Qur’an Surat al-Hujarat ayat 13 Allah menyeru, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” 

Dalam menghadapi kompleksitas beban yang dialami perempuan selama konflik, diperlukan kolaborasi sinergis dari berbagai sektor masyarakat, tokoh agama, entitas pemerintah, dan organisasi non-pemerintah. Tujuannya adalah menciptakan solusi temporal hingga yang berkelanjutan. Pemberdayaan perempuan menjadi salah satu perhatian, yaitu dengan memberikan akses yang adil terhadap peluang ekonomi. Hal tersebut merupakan kunci bagi perempuan untuk bangkit dari beban konflik yang membelit dan membangun masa depan yang lebih baik.

Untuk mengatasi beban ganda perempuan dalam konteks konflik memerlukan langkah-langkah konkret dan terukur. Dukungan psikososial menjadi pondasi penting, yaitu dengan memberikan perlindungan dan pemulihan dari dampak psikologis konflik yang mungkin terabaikan. Pendidikan, pelatihan keterampilan, dan akses kepada modal merupakan elemen kunci dalam memberdayakan perempuan. Pendidikan tidak hanya sebagai sarana untuk meningkatkan pengetahuan tetapi juga sebagai sarana untuk membebaskan mereka dari belenggu ketidaksetaraan.

Penting bagi perempuan untuk memahami dampak konflik yang mereka hadapi, untuk memerangi ketidaksetaraan yang perempuan dapatkan. Ini mencakup penghapusan diskriminasi hukum, pemberdayaan ekonomi yang setara, dan menciptakan lingkungan di mana perempuan memiliki peran aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan di tengah konflik memerlukan komitmen dan tindakan nyata dari seluruh lapisan masyarakat. Kolaborasi antara masyarakat, tokoh agama, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah menjadi tonggak dalam merespon tantangan ini secara efektif. Semoga upaya bersama ini tidak hanya membawa terang di tengah gelapnya konflik, tetapi juga membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik dan setara bagi perempuan yang berjuang untuk mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat.

 

Referensi:

  1. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4n4qz52wd3o
  2. https://nasional.tempo.co/read/1462239/kerusuhan-mei-1998-sejarah-kelam-pelanggaran-ham-di-indonesia
  3. https://komnasperempuan.go.id/sejarah
  4. Komisi     Nasional     Anti     Kekerasan     terhadap     Perempuan  (Komnas  Perempuan).  (2007).  Pengalaman   Perempuan   Aceh:   Mencari   dan  Meniti  Keadilan  dari  Masa  ke  Masa,  Laporan   Pelapor   Khusus   untuk   Aceh. Jakarta: Komnas Perempuan.

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here