Oleh: Isthiqonita
Seorang santri berusia 14 tahun di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Hanifiyah, Kota Kediri, Jawa Timur meninggal dunia. Ia diduga alami kekerasan karena jenazahnya penuh luka pada Sabtu(24/2/2024). Empat hari sebelum meninggal dunia, korban memberi pesan kepada ibunya untuk segera dijemput pulang.Tanpa membeli tahu alasan korban mengatakan kepada ibunya bahwa ia ketakutan. Keluarga mengaku mendapat kabar korban meninggal karena terjatuh di kamar mandi. Pesantren juga melarang keluarga dan kerabat membuka kain kafan. Namun keluarganya memaksa untuk membuka kafan dan banyak luka di sekujur tubuh korban.
Sampai saat ini pesantren belum menyatakan bahwa apa yang menimpa korban adalah kekerasan yang terjadi di dalam pesantren. Dalam beberapa kasus kekerasan yang terjadi di pesantren, pengasuh maupun pengurus kerap menyembunyikan kasus demi nama baik pesantren. Misalnya kasus Bechi, anak pemilik pesantren Shidiqiyyah di Jombang yang melakukan kekerasan seksual kepada santri putri. Perlu waktu bertahun-tahun untuk mengungkap dan membawa kasus tersebut ke ranah hukum.
Salah satu sisi buruk pesantren yang berkembang adalah relasi kuasa yang tidak terkontrol. Keluarga pesantren, pengasuh, dan pengurus wajib dipatuhi oleh santri-santrinya tanpa syarat, situasi tersebut membuat situasi menjadi bias, mana hal yang harus dipatuhi dan hal yang ditolak bahkan tidak dilaporkan sebagai bentuk kekerasan. Selain itu pendidikan di pesantren masih memberlakukan kekerasan kepada santrinya. Dilegitimasi dengan alasan menegakkan peraturan agar santri menurut dan disiplin. Dampaknya beberapa santri meniru kekerasan tersebut dan menyasar orang yang lebih lemah dari mereka.
Pesantren yang menerapkan kekerasan akan melanggengkan toxic masculinity (maskulinitas beracun). Toxic masculinity adalah tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dan bersikap seusai aturan gender yang kaku seperti kuat, tidak menunjukkan emosi, agresif, hingga berani bertarung. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), hingga Desember 2022 ada 440 anak laki-laki dan 326 anak perempuan sebagai pelaku perundungan. Korbannya 574 anak laki-laki dan 425 anak perempuan.
Pesantren harus mengajarkan kesetaraan Islam dikenal sebagai agama pemberi rahmat bagi seluruh alam dan pesantren adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam. Maka pesantren seharusnya mengajarkan tentang menolong sesama, kesetaraan, keadilan, dan mengasihi kelompok yang lemah bukan ‘mendidik’ kekerasan. Ajaran tersebut tidak hanya disampaikan dalam kalimat namun juga dipraktikkan dalam sikap sehingga menjadi karakter.
Sebagaimana tujuan agama Islam turun adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia, yang sebelumnya penuh kekerasan menjadi mengasihi, menindas menjadi saling tolong menolong, diskriminatif menjadi setara. إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.”