Oleh: KH. Helmy Ali*

 

Dulu, sekitar 5 atau 6 tahun sebelum pandemi Covid melanda, saya pernah mencoba main futsal ketika memasuki 60 tahun. Saya pikir saya kuat. Saya dulu waktu masih SMA masuk klub sepak bola di Makassar. Baru sekitar 5 sampai 10 menit bermain, saya sudah ngos-ngosan, pandangan saya berputar, pening, lutut saya rasanya tak kuat menunjang tubuh saya. Maka sayapun berhenti, dan pelan-pelan duduk dipinggir lapangan mengembalikan tenaga dan semangat saya. Ketika itu saya terlihat pucat, kata orang-orang yang datang mengerubungi saya. Ternyata main futsal itu sangat berat. Saya memang masih melanjutkan permainan, dengan menjaga ritme permainan saya (tidak beranjak jauh dari posisi saya), tetapi sejak saat itu tidak berani lagi main futsal. Apalagi sekarang. Saya sekarang menjelang 70 tahun, tepatnya April nanti 69 tahun.

Saya kira memasuki usia 60 tahun memang sudah banyak berubah pada diri manusia. Mungkin karena itu disebut lansia (lanjut usia, atau usia lanjut). Bentuk tubuh manusia pada umumnya mengalami perubahan seiring semakin bertambahnya usia. Kulit semakin keriput, berat badan menyusut, dan berbagai perubahan terjadi. Gerak sudah semakin lambat, koordinasi otot dan otak sudah tidak begitu jalan. Antara apa yang dipikirkan mau dikerjakan atau direspon otot tidak lagi singkron, sehingga beberapa pekerjaan atau aktivitas, tidak bisa lagi dilakukan secara efektif. Maka kitapun mengenal usia pensiun. Sementara itu, di lain sisi, ada keinginan kuat untuk menunjukkan eksistensi diri, ingin dianggap tetap ada, dan berguna. Tentu menimbulkan problem.

Konon ketika kita lahir otak kita sudah sempurna; tetapi perlu dirakit kembali; otak manusia yang baru lahir tidak terkait secara sepenuhnya, sampai bertahun-tahun ke depan. Perakitan ulang itu, atau mengisi kembali itu artinya melakukan pengembangan. Makna-makna yang diperoleh semakin berkembang dari hal-hal tertentu, yang dilihat dan ditatap berkali-kali. Hal itu sebenarnya seperti pengulangan. Maka para ahli pun menganjurkan untuk banyak-banyak belajar dari pengalaman, membaca, dan sebagainya. Jadi perlu belajar terus menerus. Maka saya pun banyak melakukan hal tersebut.

Kita bisa membaca apa saja, buku-buku lama atau baru, mendengarkan cerita-cerita lama. Tetapi saya takjub melihat para ulama yang saya kenal, yang sudah berusia lanjut; sampai 80 atau 90 tahun, daya ingat tetap kuat. Mungkin memori jangka pendeknya sudah payah, tetapi memori jangka panjangnya masih tetap kuat. Itu, saya kira, karena kebiasaannya membaca, khususnya membaca Alquran setiap hari; setiap minggu menamatkan. Mereka membaca, bukan menghafal.

Mungkin sudah hafal 30 juz, tetapi membaca (menatap) huruf-huruf Alquran, dengan 6.200 ayat lebih. Meskipun sudah hafal tetapi tetap mengulang membacanya terus menerus.

*Penulis Merupakan Ketua Pengawas Perhimpunan Rahima

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here