Kata ‘Islam’ dan ‘Muslim’ merupakan dua hal berbeda. Islam merupakan ajaran, sedangkan muslim adalah subjek atau pelakunya. Jika Islam seperangkat ajaran yang penuh dengan kasih sayang, kedamaian dan keindahan, maka seorang muslim belum tentu memiliki hal-hal sebagaimana makna Islam itu sendiri. Hal ini bisa saja didasari karena kurangnya keilmuan, atau bisa jadi karena cara pandangan yang diskriminatif kepada kelompok lemah, yang diwariskan dari zaman ke zaman.
Seperti halnya Islam dan muslim yang berbeda makna, begitu pula antara ajaran Islam yang bersumber dari dalil-dalil, seperti al-Qur’an dan sunnah, belum tentu dipahami dengan baik oleh penganutnya. Ajaran Islam mengandung nilai-nilai kerahmatan bagi seluruh alam, bagi laki-laki dan perempuan. Hanya saja, tafsir yang dihasilkan dari teks agama tersebut diskriminatif, bahkan terkesan menindas, mengancam, dan menakutkan. Seperti tafsir surat an-Nisa ayat 34. Kata ar-rijaalu qawwaamuuna ala an-nisaa kebanyakan dimaknai dengan kata “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.” Kepemimpinan ini dimaknai dengan kepemimpinan yang menguasai, memiliki, menghegemoni perempuan. Sehingga perempuan dituntut untuk tunduk patuh sepenuhnya kepada suaminya, bagaimanapun keadaan dan sikapnya.
Dalam memahami teks, baik ayat maupun hadis, diperlukan memahami konteks atau latar belakang sosial yang menjadi sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) atau hadis Nabi (asbabul wurud) tersebut. Mengapa demikian? Karena hal tersebut jelas sangat memengaruhi makna dari ayat atau hadis itu sendiri. Misalnya hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim berikut: Dari Ibnu Umar Bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan semuanya, maka terjagalah harta dan darah mereka dariku, kecuali dengan hak Islam”.
Hadis di atas jika dimaknai secara tekstual dalam konteks saat ini sudah tidak relevan, karena sudah tidak ada peperangan. Namun kita bisa memaknai hadis tersebut dengan cara yang berbeda, yakni perintah dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang ramah, menghargai orang lain serta tidak menyakiti atau menindas. Maka dengan sendirinya agama Islam akan dihargai dan orang lain justru akan tertarik dengan ajaran Islam yang demikian.
Selain itu, pemahaman terhadap tata bahasa arab juga sangat penting untuk memahami teks, baik ayat al-Qur’an maupun hadis Nabi. Begitu pula pemahaman terhadap ilmu-ilmu ushul fiqih dan kaidah fiqh, sehingga sampai pada tujuan syariat atau maqasid as-syar’iyah yang diharapkan.
Oleh karena itu, seorang muslim yang hendak menafsirkan teks baik ayat maupun hadis dari ajaran Islam perlu memahami pesan dari teks tersebut, baik itu yang mengandung kemaslahatan ataupun kemafsadatan bagi laki-laki maupun perempuan. Ajaran Islam selain mengandung ramhat/ kasih sayang, juga memerintahkan berbuat adil, berbuat baik pada laki-laki dan perempuan juga pada alam dengan sudut pandang yang setara. Jangan sampai pesan dari teks tersebut hanya memberikan kemaslahatan pada salah satu pihak saja, dan merugikan pihak lainnya.
Misalnya hadis yang sering ditafsirkan dengan memberikan kemaslahatan pada laki-laki saja tidak pada perempuan. Hadis Riwayat Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam at-Tirmidzi, dan Imam an-Nasa’i disebutkan bahwa terdapat tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan Allah di hari kiamat dimana tidak ada lagi pertolongan selain pertolongan Allah. Salah satunya adalah rajulun qolbuhu mu’allaqun bi al-masaajid, yakni laki-laki yang hatinya terpaut dengan aktivitas masjid. Lalu bagaimana dengan seorang perempuan yang memiliki perilaku demikian? Apakah ia tidak akan mendapatkan naungan dari Allah meskipun hatinya terpaut dengan kegiatan masjid hanya karena ia berjenis kelamin perempuan?
Bahkan dalam lanjutan hadis tersebut disebutkan, wa rajulun tholabathu imro’atun dzatu manshobin wajamalin faqola inni akhofullah, yakni laki-laki yang dirayu oleh seorang perempuan bangsawan dan memiliki kecantikan, kemudian ia menolaknya. Hadis ini akan begitu menyudutkan salah satu golongan apabila dimaknai dengan tanpa kehati-hatian. Karena pada kenyataannya, masih banyak perempuan yang justru mampu menahan dirinya dari bujuk rayu laki-laki. Demikian pula, bukan hanya perempuan yang suka merayu laki-laki dan mengajaknya melakukan hal yang tidak dibenarkan oleh agama, namun nyatanya laki-laki juga memiliki potensi yang sama. Keduanya baik laki-laki maupun perempuan menjadi sumber fitnah juga bisa menjadi anugrah.
Untuk menangkap pesan Islam yang kesalingan, diperlukan sebuah metode dan pendekatan yang menempatkan laki-laki dan perempuan secara setara sebagai manusia dan subjek kehidupan. Teks-teks Islam itu adil untuk laki-laki maupun perempuan, karena itu tidak boleh ditafsirkan, adil bagi salah satu pihak saja. Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, ulama perempuan KUPI, membuat konsep mubadalah untuk membaca teks Islam, baik al-Qur’an maupun hadis Nabi. Dalam bukunya yang berjudul ”Perempuan (Bukan) Sumber Fitnah!” Kiai Faqih menegaskan bahwa perspektif Mubadalah mendorong kita untuk memperlakukan laki-laki dan perempuan dengan cara pandang kasih sayang yang dapat mereka peroleh secara nyata di dalam kehidupan. Begitu pun dalam narasi akhlak mulia, perspektif Mubadalah menuntut kedua belah pihak untuk berakhlak mulia, bukan hanya salah satunya.
Pendekatan Islam yang ramah dan adil pada laki-laki dan perempuan ini, didasarkan atas cara pandang yang setara bagi keduanya. Islam tidak membeda-bedakan umatnya karena perbedaan jenis kelamin, suku, ras, golongan, namun yang menjadi pembeda di antara mereka hanyalah ketakwaannya kepada Allah Swt. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa”.
Yogyakarta – Menyongsong Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-3 pada tahun 2027, KUPI mengadakan Dialog…
Puisi Muyassarotul Hafidzoh Hari ini merah putihku membara Terkibar di jalan-jalan raya Berbaur dengan teriakan…
Kami, Aliansi Perempuan Indonesia (API), mengecam dan menolak penetapan gelar pahlawan untuk Soeharto yang diberikan…
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) adalah gerakan keulamaan yang mendakwahkan kemanusiaan perempuan berlandaskan ajaran Islam…
Solo, Sabtu 18 Oktober 2025 — Dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional, Simpul Rahima Surakarta…
Pada 12 September 2025, Rahima mendapatkan kunjungan dari Guru Besar Nagoya Gakuin University Jepang yaitu…