Artikel

Pemaksaan Perkawinan dalam Perkawinan Anak

Oleh: Ai Sulastri

Perkawinan anak menjadi salah satu persoalan yang dari dulu hingga saat ini tak kunjung usai. Anak perempuan kerap dipaksa menikah dengan pasangan yang tidak  dikehendakinya atas nama budaya atau agama. Baru-baru ini, di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, terdapat peristiwa pengantin perempuan lari menjelang akad nikah karena tidak mau dijodohkan oleh orang tuanya. Karena undangan sudah datang, orang tua kemudian memaksa adiknya yang masih duduk dibangku SMP sebagai penggantinya (Tribun, 12/2/2025). Meski adiknya menerima menjadi pengganti kakaknya, namun ia sangat rentan karena masih anak-anak. Selain itu, ia terancam kehilangan hak untuk melanjutkan pendidikannya.

Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus pemaksaan perkawinan seiring dengan meningkatnya perkawinan anak, yakni sebesar 300 persen. Komnas Perempuan juga menyebutkan mayoritas korban pemaksaan perkawinan adalah perempuan dan anak perempuan (Komnas Perempuan, 2021). Praktik ini tidak hanya melanggar hak asasi anak, tetapi juga menambah beban ketidaksetaraan gender dan berdampak negatif terhadap pembangunan sosial serta ekonomi suatu bangsa.

Pemaksaan perkawinan biasanya dipicu oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Di beberapa komunitas, tradisi dan norma budaya yang kental menjadi alasan utama di balik praktik ini. Seperti kawin tangkap di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kawin tangkap adalah praktik perkawinan yang terjadi dengan cara “menangkap” atau menculik perempuan secara paksa oleh laki-laki (atau bersama keluarganya), lalu dijadikan sebagai istri. Praktik ini biasa disebut juga “kawin culik”. Dalam beberapa daerah, kawin tangkap masih dianggap bagian dari tradisi, misalnya di sebagian wilayah di Sumba, NTT.

Selain kawin tangkap ada juga perjodohan anak (bahkan sejak dalam kandungan) di Madura, nikah tabaruk di Situbondo dan Bondowoso. Nikah tabaruk/tabrak di Situbondo adalah praktik pernikahan yang terjadi secara mendadak dan dipaksakan, biasanya karena perempuan dan laki-laki tertangkap berduaan atau dicurigai melakukan perbuatan yang “tidak pantas” menurut norma masyarakat setempat. Akibatnya, mereka langsung “ditabrakkan” pada pernikahan oleh orang tua atau tokoh masyarakat, tanpa proses yang matang atau sukarela. 

Kemudian, praktik nikah siri di masyarakat adat Lampung Pepadun. Nikah siri adalah praktik pernikahan yang terjadi secara diam-diam tanpa melalui prosesi adat resmi dalam masyarakat Lampung Pepadun. Dalam konteks adat Lampung Pepadun, pernikahan biasanya melibatkan serangkaian upacara adat yang melibatkan keluarga besar dan masyarakat. Namun, nikah siri mengabaikan proses ini, sering kali karena alasan seperti perbedaan status sosial, ketidaksepakatan keluarga, atau kehamilan tidak diinginkan sebelum pernikahan. Perempuan menjadi dirugikan karena tidak mendapatkan dukungan dari keluarga, status sosial turun, rentan mendapatkan ketidakadilan dalam rumah tangga, stigma dan beban moral. Selain yang disebutkan di atas, masih banyak lagi praktik pemaksaan perkawinan atas nama budaya.

 Kepercayaan bahwa pernikahan usia anak dapat menjaga kehormatan keluarga atau mencegah “pergaulan bebas” seringkali dijadikan alasan oleh orang tua untuk menikahkan anak perempuan sejak usia muda bahkan usia anak. Di banyak daerah, kemiskinan mendorong keluarga untuk menikahkan anaknya sebagai upaya mengurangi beban ekonomi, mengingat beban biaya pendidikan dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Kurangnya akses pendidikan dan informasi juga menjadi penyebab yang signifikan. Ada orang-orang yang seringkali menggunakan dalil tentang riwayat Aisyah ra untuk mendukung perkawinan usia anak, yang tentu saja peristiwa tersebut tidak dapat dipisahkan dengan konteks sosio-politik di zaman itu. 

Anak-anak, terutama perempuan, seringkali tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan karena terpaksa menikah di usia anak dan kehilangan hak-hak mereka sebagai anak. Hal ini mengakibatkan keterbatasan pengetahuan dalam mengakses hak-hak mereka dan cara-cara untuk melawan penindasan, sehingga siklus ketidaksetaraan terus berlanjut dari generasi ke generasi. Hal ini masih terjadi di masyarakat yang secara mayoritas tidak mampu secara finansial dan yang masih mengikuti budaya yang tidak berkeadilan gender.

Pemaksaan perkawinan pada usia anak membawa konsekuensi yang jauh lebih serius daripada sekadar pelanggaran tradisi. Dari perspektif kesehatan, pernikahan di usia anak meningkatkan risiko komplikasi kehamilan dan persalinan, terutama karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya siap menghadapi proses tersebut. Banyak kasus yang mencatat adanya peningkatan angka kematian ibu dan bayi sebagai dampak dari perkawinan paksa ini. Selain itu, tekanan psikologis dan trauma emosional akibat dipaksa memasuki pernikahan tanpa kesiapan mental dan fisik turut mengancam kesejahteraan jangka panjang anak-anak yang terlibat.

Secara sosial, perkawinan di usia anak dapat menghambat perkembangan, pendidikan dan keterampilan anak, sehingga mengurangi peluang mereka untuk berpikir kritis dan mandiri secara ekonomi dalam jangka panjang. Praktik perkawinan anak juga berkontribusi pada siklus kemiskinan dalam masyarakat. Anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak memiliki kesempatan kerja yang terbatas, yang pada akhirnya memperparah kemiskinan serta ketidaksetaraan gender dan sosial.

 

Pemaksaan Perkawinan Melanggar HAM

Pemaksaan perkawinan pada anak merupakan pelanggaran serius yang menolak hak dasar anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya. Hak untuk memilih pasangan hidup, memperoleh pendidikan, dan mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai sering kali dikorbankan demi tradisi atau keuntungan ekonomi sesaat. Hal ini mengindikasikan bahwa praktik perkawinan anak tidak hanya menyakiti anak sebagai individu, tetapi juga merusak struktur sosial dan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam masyarakat.

Untuk mengatasi permasalahan pemaksaan perkawinan anak, diperlukan perhatian dan pendekatan secara khusus yang melibatkan berbagai pihak. Pemerintah, lembaga non-pemerintah, komunitas, dan tokoh agama harus bersinergi untuk mengubah norma-norma yang masih mengakar dan memberikan ruang bagi praktik-praktik tradisional yang merugikan. Kebijakan yang melarang perkawinan anak harus ditegakkan dengan tegas, disertai dengan program-program pendukung yang membantu keluarga untuk mengatasi masalah ekonomi dan sosial yang mendasarinya.

Pendidikan menjadi kunci utama dalam pencegahan praktik perkawinan anak, baik bagi anak, orang tua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat dan kebijakan di Indonesia. Memberikan akses pendidikan yang merata kepada anak-anak, terutama di daerah-daerah yang rawan, dapat membuka peluang mereka untuk mengembangkan potensi diri serta meningkatkan kesadaran tentang hak-hak mereka. Selain itu, kampanye penyuluhan tentang bahaya perkawinan anak dan pentingnya kesetaraan gender perlu dijalankan secara terus-menerus agar masyarakat memahami dampak negatif dari praktik ini.

Peran serta tokoh masyarakat dan pemimpin agama juga sangat penting. Mereka dapat membantu merubah persepsi dan membongkar mitos yang mengaitkan perkawinan anak dengan kehormatan atau keberhasilan keluarga. Melalui dialog, diskusi yang terbuka dan konten media sosial  diharapkan masyarakat dapat menyadari bahwa melindungi anak dari kekerasan berbasis gender adalah bentuk penghormatan terhadap masa depan bangsa.

Pemaksaan perkawinan merupakan bentuk nyata dari kekerasan berbasis gender yang merugikan anak-anak dan bagi kemajuan bangsa. Untuk mencegah dan menanganinya diperlukan komitmen kuat bagi masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, lembaga pendidikan, aparat hukum termasuk hakim di pengadilan, dan pemerintah. Melindungi perempuan dan anak dari pemaksaan perkawinan adalah investasi untuk masa depan yang lebih adil dan sejahtera dengan cara menegakkan hak asasi manusia dan kesetaraan gender dijadikan landasan utama dalam pembangunan masyarakat.

Similar Posts:

swararahima

Recent Posts

Tamu Rahima: Prof. Saeki Natsuko dari Nagoya Gakuin University Jepang

Pada 12 September 2025, Rahima mendapatkan kunjungan  dari Guru Besar Nagoya Gakuin University Jepang yaitu…

2 hari ago

SupeR Jabar Tingkatkan Kapasitas Ulama Perempuan Melalui Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) di Cipasung

Simpul Ulama Perempuan Rahima Jawa Barat (SupeR Jabar) melaksanakan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) untuk…

1 bulan ago

Tokoh Agama dalam Perkawinan Anak: Saatnya Ubah Mindset!

Oleh: Siti Dewi Yanti Seorang anak perempuan berusia 14 tahun di pedesaan harus mengubur mimpinya…

3 bulan ago