Artikel

Tokoh Agama dalam Perkawinan Anak: Saatnya Ubah Mindset!

Oleh: Siti Dewi Yanti

Seorang anak perempuan berusia 14 tahun di pedesaan harus mengubur mimpinya menjadi dokter karena dipaksa menikah. Masa kecilnya yang seharusnya diisi dengan belajar dan bermain digantikan oleh tanggung jawab rumah tangga yang terlalu berat untuknya sebagai anak-anak. Kisah seperti ini bukan sekadar anekdot, tetapi realitas yang masih terjadi di banyak daerah di Indonesia.

Perkawinan anak bukan hanya masalah hukum atau sosial, tetapi juga persoalan moral dan keadilan yang membutuhkan peran aktif dari berbagai pihak, terutama tokoh agama. Sayangnya, masih ada sebagian tokoh agama yang justru mendukung praktik ini dengan dalih ajaran Islam atau adat. Padahal secara substansi, Islam menempatkan kebahagiaan dan keadilan sebagai prinsip utama dalam perkawinan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 9 anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) mencatat bahwa pada tahun 2022, angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 10, 35% dari total pernikahan. Meskipun angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, praktik perkawinan anak masih menjadi masalah serius yang perlu ditangani.

Secara global, UNICEF memperkirakan bahwa 12 juta anak perempuan dipaksa menikah setiap tahunnya, dengan mayoritas terjadi di negara berkembang, termasuk Indonesia. WHO juga menyoroti bahwa perkawinan anak berkontribusi terhadap kematian ibu muda, masalah kesehatan  reproduksi, dan siklus kemiskinan yang terus berlanjut.

Salah satu alasan yang sering digunakan untuk melegitimasi perkawinan anak menggunakan dalil agama. Sebagian ulama berpandangan bahwa Islam tidak secara eksplisit melarang perkawinan anak. Mereka merujuk pada pernikahan Aisyah ra dengan Nabi Muhammad saw sebagai dalil utama. Namun, perspektif ini sering kali diambil tanpa melihat konteks historis dan maqashid syariah. Ulama kontemporer seperti Yusuf al-Qaradawi dan Muhammad Abduh berpendapat bahwa perkawinan harus didasarkan pada kesiapan fisik, mental, dan sosial, bukan sekadar usia biologis.

Konsep perkawinan bukan hanya soal sah atau tidaknya menurut syariat, tetapi juga tentang tanggung jawab, kematangan, dan kesejahteraan pasangan. Al-Qur’an dalam Surah An-Nisa ayat 6 menekankan pentingnya kedewasaan dalam mengelola kehidupan sebelum seseorang menikah. Anak yang belum mampu membuat keputusan yang matang, belum siap secara fisik, mental dan ekonomi, bagaimana mungkin ia diharapkan menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh dengan tantangan?

Dalam konteks ini, tokoh agama memiliki peran strategis dalam mengubah mindset masyarakat. Mereka adalah panutan yang perkataan dan perbuatannya sering dianggap sebagai kebenaran dan panutan bagi jamaahnya. Jika tokoh agama memiliki pandangan bahwa perkawinan anak adalah sesuatu yang wajar atau bahkan dianjurkan, maka upaya hukum dan sosial untuk mencegah praktik ini akan sulit berhasil. Sebaliknya, jika mereka aktif mengadvokasi perubahan dalam perkawinan anak dengan menekankan pentingnya kesiapan mental, pendidikan, dan kesejahteraan anak, maka perubahan sosial dapat terjadi lebih cepat.

Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama menyatakan bahwa mencegah terjadinya perkawinan anak merupakan sebuah kewajiban dalam konteks membangun keluarga yang sakinah dan melindungi anak dari kerentanan yang dapat mengancam hak dan masa depannya. Beberapa tokoh agama di Indonesia sudah mulai mengambil sikap tegas terhadap perkawinan anak. Salah satu contoh adalah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang secara terang-terangan menyatakan bahwa perkawinan anak bukanlah bagian dari ajaran Islam yang ideal.

Namun, upaya ini masih menghadapi tantangan besar. Beberapa kelompok masih meyakini dan mempraktikkan bahwa perkawinan anak adalah solusi untuk menghindari zina, seolah-olah perkawinan adalah satu-satunya cara untuk menjaga moralitas. Kasus serupa juga pernah terjadi pada 2019, ketika seorang tokoh agama di Sulawesi Selatan menikahkan anaknya yang baru berusia 14 tahun dengan alasan menjaga kehormatan keluarga. 

Bahkan di tahun yang sama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur pernah menyatakan bahwa perkawinan anak bisa menjadi “obat” dari meningkatnya kasus pergaulan bebas. Sebuah pendapat yang kerap digunakan untuk membenarkan praktik ini tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental, pendidikan, dan hak-hak anak. Padahal, solusi yang lebih efektif adalah memberikan pendidikan seksual yang komprehensif (bagi orang tua, keluarga, anak-anak, tokoh masyarakat dan tokoh agama), memperkuat nilai-nilai keluarga, dan menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan anak secara sehat. 

Perkawinan bukanlah solusi untuk mengatasi persoalan sosial, melainkan komitmen besar yang harus dipersiapkan dengan matang. Saatnya mindset ini diubah. Perkawinan anak bukan sekadar persoalan individu, tetapi masalah struktural yang melibatkan budaya, agama, dan kebijakan. Tokoh agama dapat berperan aktif untuk menolak praktik perkawinan anak dengan menggunakan pendekatan agama dan spiritual. Mereka memiliki kewajiban untuk mengedukasi masyarakat bahwa Islam tidak pernah mengajarkan praktik yang merugikan, dan perkawinan anak adalah praktik yang terbukti membawa lebih banyak dampak negatif daripada manfaat.

Dengan mengubah mindset, kita tidak hanya menyelamatkan anak-anak perempuan dari perkawinan anak, tetapi juga membangun generasi yang lebih sehat, cerdas, dan sejahtera. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau aktivis hak-hak anak, tetapi tanggung jawab kita semua, termasuk para tokoh agama yang suaranya bisa menjadi katalis perubahan. Sebagaimana Islam mengajarkan keadilan dan kasih sayang. Sudah saatnya kita menerapkannya dengan memastikan bahwa setiap anak dapat mendapatkan hak-hak untuk tumbuh, belajar, dan memilih masa depannya sendiri tanpa paksaan dalam perkawinan, termasuk perkawinan anak.

Similar Posts:

swararahima

Recent Posts

Rakyat Bukan Bayangan

Puisi Muyassarotul Hafidzoh Hari ini merah putihku membara Terkibar di jalan-jalan raya Berbaur dengan teriakan…

4 hari ago

Pernyataan Sikap Aliansi Perempuan Indonesia: Pengakuan Soeharto Sebagai Pahlawan adalah Titik Mundur Demokrasi Pemerintahan Prabowo – Gibran

Kami, Aliansi Perempuan Indonesia (API), mengecam dan menolak penetapan gelar pahlawan untuk Soeharto yang diberikan…

5 hari ago

PERNYATAAN SIKAP KUPI (KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA): Keniscayaan Pejabat Negara untuk Menghormati Martabat Korban Kekerasan Seksual, Melindungi, dan Memenuhi Hak-Hak Dasar Mereka

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) adalah gerakan keulamaan yang mendakwahkan kemanusiaan perempuan berlandaskan ajaran Islam…

3 minggu ago

Simpul Rahima Surakarta Gelar Seminar Hari Santri di Perpustakaan Masjid Raya Sheikh Zayed Solo: Angkat Peran Santri dan Ulama Perempuan dalam Gerakan Perlindungan

Solo, Sabtu 18 Oktober 2025 — Dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional, Simpul Rahima Surakarta…

4 minggu ago

Tamu Rahima: Prof. Saeki Natsuko dari Nagoya Gakuin University Jepang

Pada 12 September 2025, Rahima mendapatkan kunjungan  dari Guru Besar Nagoya Gakuin University Jepang yaitu…

1 bulan ago

MAKLUMAT DAN SERUAN MORAL JARINGAN KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA (JARINGAN KUPI)

“Sesungguhnya Allah memerintahkan penegakan keadilan dan kebajikan, memenuhi (hak) kaum kerabat, dan melarang perbuatan keji,…

2 bulan ago