Oleh: Abdillah
Hesti tak pernah berhenti berjuang. Sejak kecil, ia selalu merasa ada yang tidak beres dengan cara orang-orang di desanya memperlakukan perempuan. Perasaan itu semakin kuat di usianya kini, 22 tahun. Saat dirinya berjuang untuk mendapatkan hak dalam pendidikan, banyak sekali halangan yang datang. Tak hanya dari orang tua, tetapi juga dari tokoh-tokoh agama yang menganggapnya tidak patut berambisi keluar dari tradisi yang sudah mengakar kuat di kampungnya. Tradisi ini melarang perempuan yang belum menikah bepergian jauh dari rumah apalagi tinggal jauh dari orang tua.
Namun, Hesti tidak bisa diam begitu saja. Ia mulai merencanakan masa depannya. Setiap kali membantu pekerjaan rumah, ia sering merasa marah, jenuh, dan terperangkap. Ia merasa dibedakan dari saudara laki-laki. Ia sering kali bertanya pada dirinya sendiri, “Kenapa aku tidak boleh melanjutkan pendidikan? Kenapa aku harus hidup seperti ini, terbatas oleh tradisi yang memenjarakan? Kenapa aku diperlakukan berbeda? Apa yang membuatku berbeda sehingga tidak memiliki kebebasan sebagaimana halnya laki-laki?”
Pada suatu malam, Hesti termenung dalam kamarnya. Jiwanya berkecamuk dan merenungkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Diskriminasi, stigma, dan peran ganda yang dialaminya, telah menjeratnya begitu kuat. Lalu, ia teringat akan impiannya: pergi ke kota besar, sekolah, masuk ke universitas, dan membuktikan pada dunia bahwa dia sebagai perempuan, bisa setara dengan laki-laki.
Selama ini, ia selalu dipaksa untuk mengikuti aturan yang ada, dan setiap kali ia mencoba bertanya atau memberontak, pasti ada banyak orang yang menentangnya. Namun, dalam hatinya, ia merasa bahwa hidup ini lebih dari sekadar mengikuti tradisi yang tidak adil baginya. Ia ingin melihat dunia yang lebih luas. Dunia yang memberinya kesempatan untuk berkembang tanpa dibatasi oleh anggapan bahwa perempuan harus berada di rumah mengurusi dapur, sumur dan kasur.
Suatu hari, Hesti memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya. Ia tahu ini tidak akan mudah, karena mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi tradisi. Tetapi, dengan tekad yang kuat, ia memberanikan diri untuk menghadap orang tuanya.
“Ibu, Ayah, aku ingin melanjutkan sekolah. Aku ingin bekerja, dan aku ingin punya kesempatan yang sama seperti kakak dan adik laki-lakiku. Aku ingin keluar dari desa ini dan melihat dunia. Aku tidak ingin hanya menjadi perempuan yang terpenjara dalam rumah,” kata Hesti dengan suara yang penuh keyakinan.
Orang tuanya terkejut, wajah mereka terlihat cemas. Ibunya yang selama ini sangat patuh pada adat, tampak ragu. Ayahnya menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara berat, “Hesti, kamu tahu kan, di desa ini perempuan tidak seharusnya keluar rumah. Kami khawatir kamu akan terjerumus ke dalam kehidupan yang tidak baik. Kamu harus memahami bahwa ini adalah tradisi dan ajaran agama. Tugas perempuan itu hanya di rumah mengurus suami dan anak. Lihatlah, tidak ada perempuan di desa kita yang sekolah tinggi. Sekolah dasar sudah cukup. Bisa baca tulis sudah cukup untuk perempuan karena pada akhirnya kamu akan mengurus dapur. Al-Qur’an juga melarang perempuan keluar rumah”, tegas ayahnya.
Memang, sikap ini muncul dari ajaran agama yang dipahami oleh ayahnya. Ayahnya merujuk pada surat al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah terdahulu”. Namun, Hesti tidak menyerah, dia berkata pada dirinya sendiri, “Aku tidak peduli dengan tradisi itu. Aku tidak bisa terus hidup seperti ini. Aku ingin sekolah. Aku ingin bekerja. Aku ingin hidup yang lebih baik”.
Perdebatan antara Hesti dan orang tuanya berlangsung cukup lama, tetapi ia tidak mundur. Ia tahu bahwa perjuangannya tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk semua perempuan di desanya yang merasakan hal yang sama. Keputusan Hesti untuk terus memperjuangkan mimpinya semakin kuat. Ia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan berangkat ke kota. Ia memantapkan hati dan pergi tanpa memberitahu siapapun. Ia meninggalkan surat untuk orang tuanya sebelum pergi.
Ia tahu ini bukan akhir dari perjuangannya, tetapi awal dari sebuah perjalanan panjang dalam hidupnya. Di kota, Hesti menemukan bahwa dunia yang ia impikan jauh lebih luas dan penuh dengan tantangan. Ia bekerja di tempat photocopy saudara jauhnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sambil berusaha mencari kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Ia belajar bahwa perjuangan tidak hanya datang dari hati yang kuat, tetapi juga dari kemampuan untuk bertahan dan bekerja keras.
Tahun demi tahun berlalu, dan meski sering kali merasa kesulitan, Hesti tidak pernah menyerah. Ia akhirnya bisa sekolah setara SMP dan SMP di PKBM dekat tempat dia tinggal. Berjuang tanpa lelah, Hesti terus melanjutkan pendidikannya, hingga jenjang perguruan tinggi dengan beasiswa penuh. Ia melanjutkan studi di Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah dan Filsafat di UIN Bandung. Pendidikan yang sangat ia dambakan akhirnya diraihnya, meskipun jalannya penuh lika-liku.
Selama kuliah, ia juga aktif dalam berbagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Ia mulai berbicara di depan umum tentang pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ia terlibat dalam berbagai seminar dan diskusi di kampus, mengajak mahasiswa lainnya untuk melihat betapa pentingnya menghapuskan stigma tentang perempuan yang hanya bisa berada di rumah.
Setelah lulus dari universitas, Hesti memutuskan untuk kembali ke desanya. Ia ingin membuktikan pada orang tuanya dan masyarakat bahwa perempuan bisa sukses, bisa berkarir, dan memiliki impian yang besar. Ia ingin mengubah pandangan orang-orang di desanya, memperlihatkan bahwa perempuan bisa setara dengan laki-laki dalam segala hal.
Hesti mulai mengadakan pelatihan-pelatihan di desanya untuk mengedukasi perempuan dan keluarga mereka tentang pentingnya pendidikan. Ia berdialog dengan tokoh agama, menjelaskan bahwa agama tidak melarang perempuan untuk berkembang, dan bahwa perempuan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Perlahan, ia berhasil mengubah pandangan banyak orang di desanya.
Meskipun perjalanannya penuh dengan tantangan dan perjuangan, Hesti akhirnya berhasil meraih mimpinya. Ia tidak hanya berhasil membebaskan dirinya dari belenggu adat dan tradisi, tetapi juga mendorong perempuan lain di desanya untuk mendapatkan hak mereka untuk setara. Hesti menjadi simbol perubahan, seorang perempuan yang tak takut untuk melawan tradisi untuk mendapatkan kemerdekaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya tanpa rasa takut.
Pada akhirnya, Hesti tahu bahwa perjuangan ini tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk masa depan yang lebih adil dan setara bagi semua perempuan di desanya. Perjalanan panjangnya bukan hanya tentang melawan ketidakadilan, tetapi juga tentang menginspirasi generasi perempuan berikutnya untuk berani bermimpi, berjuang, dan hidup tanpa batas.
Pada 12 September 2025, Rahima mendapatkan kunjungan dari Guru Besar Nagoya Gakuin University Jepang yaitu…
Simpul Ulama Perempuan Rahima Jawa Barat (SupeR Jabar) melaksanakan Pendidikan Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) untuk…
Oleh: Siti Dewi Yanti Seorang anak perempuan berusia 14 tahun di pedesaan harus mengubur mimpinya…