Artikel

Ibu vs Ibu: Luka yang Ditanam Patriarki

Oleh: Yayu Nurhasanah


Selama dua puluh tujuh tahun hidup, saya pikir tantangan terbesar seorang perempuan adalah saat melahirkan. Tapi ternyata, menjadi ibu justru membuka babak baru yang lebih pelik—bukan hanya soal mengurus anak, tetapi menghadapi sesama ibu. Di sinilah saya menyadari pergulatan paling sengit yang saya alami bukan dengan laki-laki, melainkan dengan perempuan lain, terutama ibu-ibu di sekitar saya.

Baru saja saya menarik nafas lega setelah menghadapi pertanyaan menyakitkan seperti, “Lahiran normal atau cesar?”, lalu dilanjutkan dengan pernyataan menghakimi, “Kalau lahirannya cesar, belum lengkap jadi ibu.” Belum habis luka itu, muncul lagi perdebatan baru yaitu pemberian MPASI fortifikasi yang dianggap setara dengan memberi racun. Saya terdiam. Jika benar fortifikasi itu berbahaya, lalu mengapa perusahaan besar rela menginvestasikan miliaran untuk mengembangkan dan memasarkan produk ini? Padahal fortifikasi sendiri berarti penambahan zat gizi untuk meningkatkan kualitas makanan—bukan sembarangan dibuat, sudah melalui riset dan uji oleh para profesional.

Pernah saya melihat seorang dokter anak di Instagram yang menjelaskan bahwa anak boleh mencicipi makanan yang sama dengan yang dimakan orang dewasa, tentu dengan porsi kecil, karena ini adalah bagian dari eksplorasi rasa. Namun tiba-tiba muncul komentar dari seorang ibu, “Ngawur!” Saya hanya bisa membayangkan betapa ijazah dokter yang nilainya ratusan juta itu mungkin ikut meringis mendengar tuduhan itu.

Tak jarang, keributan seperti ini memanas di kolom komentar media sosial—terutama dalam topik parenting, ASI, MPASI,  hingga gaya pengasuhan. Dari yang awalnya diskusi santai bisa berubah menjadi pertikaian, bahkan saling unfollow. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah sebagai perempuan seharusnya kita saling mendukung? Tapi ternyata akar masalahnya lebih dalam, yaitu karena patriarki.

Patriarki adalah sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan, dan seringkali menetapkan standar sosial yang menekan perempuan. Dalam konteks ini, ibu-ibu tak hanya dituntut melakukan kerja-kerja perawatan seperti pengasuh utama dan ahli domestik, tapi juga harus memenuhi ekspektasi sosial yang rumit dan saling bertentangan. Ibu rumah tangga dianggap tidak produktif bahkan “pengangguran”, sementara ibu bekerja dicap egois. Ibu yang memberi ASI dipuji, tapi tetap disudutkan jika tidak menyusui secara langsung. Ibu yang memberikan bubur fortifikasi dianggap malas, sebaliknya yang memasak sendiri dipuja—padahal mungkin sama-sama lelah.

Perempuan mengambil keputusan dalam hidupnya berdasarkan banyak hal: latar belakang ekonomi, kondisi kesehatan, akses informasi, dan pengalaman pribadi. Ada yang memilih menjadi ibu rumah tangga karena ingin fokus pada keluarga, ada pula yang bekerja demi menopang ekonomi rumah tangga. Ada yang menyusui karena merasa mampu, ada yang memilih susu formula karena alasan medis. Setiap keputusan perempuan memiliki konteks yang unik—dan tidak bisa dibandingkan.

Sayangnya, alih-alih saling memahami, masyarakat justru terjebak dalam perlombaan memenuhi standar sempurna yang tidak masuk akal pada perempuan. Inilah yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbolik—kekerasan yang tidak terlihat secara fisik, tapi memengaruhi cara pikir dan tindak seseorang. Dalam kasus ini, perempuan tanpa sadar berlomba-lomba untuk memenuhi ekspektasi dan bahkan saling bersaing dengan perempuan lainnya karena sistem patriarki, bukan dari kebutuhan mereka sendiri.

Ironisnya, ini menumbuhkan bentuk kekerasan baru pada sesama perempuan, seperti mom shaming, eksklusivitas dalam kelompok sosial, hingga saling menjatuhkan. Perempuan seolah diminta terus membuktikan diri, agar dianggap “cukup baik” menjadi seorang ibu. Padahal dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kalian saling dengki, jangan saling menipu, jangan saling membenci, jangan saling membelakangi… Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (HR. Muslim No. 2563)

Pesan ini seharusnya menjadi pegangan, bahwa kita sebagai perempuan—terutama sebagai sesama ibu—bukanlah musuh satu sama lain. Kita punya banyak perbedaan, tapi juga punya ruang yang sama, yaitu rasa lelah, cemas, harapan dan cinta yang besar untuk anak-anak kita. Ketika ibu-ibu saling berkonflik, siapa yang diuntungkan? Bukan perempuan. Justru komunitas kita yang menjadi lemah, mudah dipecah, dan kehilangan kekuatan untuk memperjuangkan hak yang lebih besar—seperti cuti melahirkan yang layak, fasilitas kesehatan ibu-anak yang merata, atau pengakuan atas kerja domestik yang selama ini tak dihitung.

Perseteruan ini bukan soal ego semata. Ini adalah cerminan dari sistem yang membuat perempuan selalu merasa kurang. Kita sudah cukup lelah menghadapi tekanan sosial. Jangan tambahkan dengan saling menjatuhkan. Saatnya keluar dari lingkaran patriarki ini dan mulai membangun budaya saling mendukung, saling mengapresiasi dan saling menguatkan. Ketika perempuan bersatu—tidak hanya sebagai ibu, tapi sebagai sesama manusia—perubahan sosial yang transformatif bisa terjadi.

Similar Posts:

swararahima

Recent Posts

Rakyat Bukan Bayangan

Puisi Muyassarotul Hafidzoh Hari ini merah putihku membara Terkibar di jalan-jalan raya Berbaur dengan teriakan…

4 hari ago

Pernyataan Sikap Aliansi Perempuan Indonesia: Pengakuan Soeharto Sebagai Pahlawan adalah Titik Mundur Demokrasi Pemerintahan Prabowo – Gibran

Kami, Aliansi Perempuan Indonesia (API), mengecam dan menolak penetapan gelar pahlawan untuk Soeharto yang diberikan…

5 hari ago

PERNYATAAN SIKAP KUPI (KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA): Keniscayaan Pejabat Negara untuk Menghormati Martabat Korban Kekerasan Seksual, Melindungi, dan Memenuhi Hak-Hak Dasar Mereka

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) adalah gerakan keulamaan yang mendakwahkan kemanusiaan perempuan berlandaskan ajaran Islam…

3 minggu ago

Simpul Rahima Surakarta Gelar Seminar Hari Santri di Perpustakaan Masjid Raya Sheikh Zayed Solo: Angkat Peran Santri dan Ulama Perempuan dalam Gerakan Perlindungan

Solo, Sabtu 18 Oktober 2025 — Dalam rangka menyambut Hari Santri Nasional, Simpul Rahima Surakarta…

4 minggu ago

Tamu Rahima: Prof. Saeki Natsuko dari Nagoya Gakuin University Jepang

Pada 12 September 2025, Rahima mendapatkan kunjungan  dari Guru Besar Nagoya Gakuin University Jepang yaitu…

1 bulan ago

MAKLUMAT DAN SERUAN MORAL JARINGAN KONGRES ULAMA PEREMPUAN INDONESIA (JARINGAN KUPI)

“Sesungguhnya Allah memerintahkan penegakan keadilan dan kebajikan, memenuhi (hak) kaum kerabat, dan melarang perbuatan keji,…

2 bulan ago