Suatu hari Rasulullah SAW ditanya oleh Haidah Al-Qusyairi RA tentang apa hak-hak perempuan atau istri atas suaminya. Rasulullah SAW menjelaskan dengan sabdanya: “Memberi makan, bila kamu bisa makan; memberi pakaian, jika kamu bisa berpakaian; jangan memukul wajah-wajahnya; jangan menghinakannya; serta jangan menjauhkan dirinya kecuali masih di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud, No.2144 dan 2145).

عَنْ سَعِيدِ بْنِ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَقُلْتُ: مَا تَقُولُ: فِي نِسَائِنَا قَالَ: «أَطْعِمُوهُنَّ مِمَّا تَأْكُلُونَ، وَاكْسُوهُنَّ مِمَّا تَكْتَسُونَ، وَلَا تَضْرِبُوهُنَّ، وَلَا تُقَبِّحُوهُنَّ

– حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا بَهْزُ بْنُ حَكِيمٍ، حَدَّثَنِي أَبِي، عَنْ جَدِّي، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، نِسَاؤُنَا مَا نَأْتِي مِنْهُنَّ وَمَا نَذَرُ، قَالَ: «ائْتِ حَرْثَكَ أَنَّى شِئْتَ، وَأَطْعِمْهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَاكْسُهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلَا تُقَبِّحِ الْوَجْهَ، وَلَا تَضْرِبْ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ: رَوَى شُعْبَةُ «تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ

Kedua hadis di atas memberikan penegasan tentang jaminan hak-hak dasar bagi perempuan (baik sebagai anak atau istri), antara lain hak nafkah materi berupa pangan dan sandang, hak rasa aman, hak harga diri berupa tidak disakiti (fisik) dan tidak dihinakan (psikis), serta hak dalam penaungan dan pendampingan.

Hak-hak asasi perempuan ditegaskan secara lengkap dalam hadis ini dengan penyebutan  secara prinsipnya: sandang, pangan, aman, nyaman, dan pengayoman. Itu semua adalah masuk dalam tugas kepemimpinan atau tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi untuk memakmurkan bumi dan penduduknya.

Dalam konteks rumah tangga, para suami yang diberi tugas untuk menjalankan amanah kepemimpinan dan mengamalkan atau meniru sifat Allah berdasarkan QS Quraish Ayat 4: “Allah Yang Maha Memberi makan, dan terbebas dari rasa lapar serta memberi aman, dan terbebas dari rasa takut.”

Dalam konteks yang lebih luas, semua hamba dituntut meniru sifat-sifat Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Artinya semua hamba Allah berkewajiban mewujudkan kehidupan di bumi ini penuh dengan kedamaian dan harmoni, atas dasar iman dan kerangka amal saleh menuju kehidupan yang terbaik. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Nahl Ayat 97:

مَنْ عَمِل صَالِحًامِنْ ذَكَرٍأَوْأُنْثَى وَهُوَمُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةًطَيِّبَةًوَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَاكَانُوايَعْمَلُونَ

Artinya: “Siapa saja yang berbuat terbaik (beramal saleh), laki-laki atau perempuan, dan dia beriman, niscaya Kami menghidupkannya dengan kehidupan terbaik dan niscaya Kami memberikan ganjarannya dengan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”

Ayat tersebut memberi semangat bahwa laki-laki dan perempuan harus terlibat atau berperan bersama dalam mewujudkan kehidupan terbaik. Baik di tingkat terkecil yaitu keluarga ini, maupun tingkat lebih luas yaitu kehidupan bermasyarakat.

Tanpa peran aktif dari laki-laki dan perempuan yang dilandasi iman kepada Allah SWT mustahil kehidupan terbaik itu tercapai atau terwujud. Dengan berpegang teguh pada nilai dasar agama dan akhlak karimah, maka kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan juga negara akan berlangsung dengan baik, aman, dan beradab. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang dilandasi iman yang lurus dan amal yang saleh, yang salah satu indikasinya adalah terbebasnya kehidupan dari praktik kekerasan, ketidakadilan, dan penindasan antara satu dan lainnya.

Baca juga:
Dirasah Hadis: Membangun Kehidupan yang Aman dan Tercerahkan
Dirasah Hadis: Kehidupan dan Rumah Tangga Tanpa Kekerasan

Similar Posts:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here