Oleh : KH. Husein Muhammad
Jika ajaran-ajaran Islam harus diringkas dan diperas, maka Islam adalah Iman dan bekerja. Dalam bahasa Alquran bekerja atau berusaha disebut dengan “amal” .. Kedua kata ini (iman dan amal) yang disebut berkali-kali hampir selalu disebut oleh Alquran secara bersama-sama dan dalam satu nafas: “al ladzina aamanu wa ‘amiluu al shalihaf’ (orang-orang yang beriman dan bekerja baik) dan kalimat lain yang semakna. Bekerja dengan begitu adalah eksistensi manusia hidup. Dengan bahasa lain manusia adalah makhluk bekerja. Dalam satu ayat Alquran ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apapun kecuali apa yang diusahakannya sendiri. Karena itu tidaklah mengherankan jika kita juga sering mendengar bahwa masuk sorga atau neraka sangat ditentukan oleh amalnya atau perbuatannya, pekerjaan atau usahanya di dunia ini. Aspek-aspek kerja dalam Islam dengan begitu mengandung bentuk yang sangat luas seluas kehidupan itu sendiri, bisa bersifat fisikal, intelektual maupun spiritual. Meski begitu kewajiban yang ditekankan Islam adalah bekerja atau berusaha untuk suatu kebaikan manusia dan dengan cara yang baik pula. Terhadap mereka yang beriman dan bekerja baik Tuhan akan memberinya kehidupan yang baik (hayatan thayyibah) dan di akhirat mereka dapat bertemu dengan Tuhan. “Siapa saja yang mengharap bertemu dengan Tuhan maka hendaklah dia bekerja dengan baik dan tidak menyekutukan pengabdiannya kepada Tuhan dengan yang lain”. (Q.S. al Kahfi, 110).
Akan tetapi kerja dalam konteks tradisi Indonesia tampaknya tidak memiliki makna sejauh dan seluas di atas. Kata ‘amal’ dengan terjemahan bekerja mungkin agak sedikit asing bagi telinga umumnya masyarakat Indonesia karena ‘amal’ seringkali hanya diberi makna ‘tindakan atau kerja kebajikan’ seperti bersedekah atau menyumbang kegiatan sosial, keagamaan atau kemanusiaan seperti “pundi amal SCTV”, “Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila” dan sebagainya. Sementara kerja adalah suatu tindakan manusia yang menghasilkan upah, gaji, dalam bentuk uang maupun material dan sebagainya yang bersifat ekonomis untuk menjaga kelangsungan hidup bagi dirinya sendiri atau bagi orang-orang yang di bawah tanggungjawabnya. Bentuknya memang bermacam-macam; perdagangan, pertanian, pertambangan, nelayan, industri, jasa dan sebagainya. Pengertian ini menafikan kerja sosial, kerja membantu dan kerja sambilan masuk dalam katagori bekerja. lni menimbulkan implikasi bahwa mereka tidak perlu mendapatkan upah sama sekali atau mendapatkan upah tetapi kurang atau tidak layak. Pekerjaan istri menyusui, mengasuh dan mengerjakan banyak hal di dalam rumahnya dianggap bukan bekerja. Semuanya sering kali disebut kebaikan, ‘amal’ dan akan mendapatkan balasan pahala di surga.
Kerja Perempuan
Alquran dalam banyak ayat menegaskan bahwa kewajiban bekerja berlaku bagi manusia laki-laki dan perempuan. “Jika kamu selesai shalat, segeralah bertebaran di muka bumi untuk mencari anugerah Allah dan sering-seringlah mengingat Allah supaya kamu beruntung”. (Q.S. al Jumu’ah, 10). Tuhan sama sekali tidak membedakan antara keduanya. Tuhan juga menegaskan kewajiban berbuat keadilan dan melarang tindakan yang bersifat eksploitatif terhadap orang lain. Alquran juga mendesak kaum muslimin untuk tidak menahan hak orang lain. (Q.S.26 :183). Nabi pernah menyatakan : “Seorang buruh (laki-laki atau perempuan) berhak memperoleh makanan dan pakaian yang baik dengan ukuran yang moderat dan tidak dibebani dengan pekerjaan di luar kemampuannya”.
Berbeda dengan apa yang disampaikan Alquran, kebudayaan masyarakat seringkali menciptakan kondisi-kondisi yang tidak adil dan eksploitatif terutama terhadap orang-orang yang dipandang lemah atau sengaja dilemahkan. Dalam konteks kebudayaan Arab pra Islam di jazirah Arabia, terdapat situasi dan kondisi umum dimana perempuan diperlakukan bagaikan benda yang dinyatakan sah untuk dieksploitasi demi kepentingan laki-laki dalam banyak dimensinya : ekonomi, sosial, seksual dan politik. Karena itu kerja perempuan bukan saja tidak dihargai, melainkan juga ditindas. Kondisi ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan Islam. Karena itu Alquran menolaknya sambil menyatakan : ”wa Ii al rijal nashib min ma iktasabu wa Ii al nisa nashib min ma iktasabna” (bagi laki-laki bagian dari apa yang dikerjakannya dan bagi perempuan bagian dari apa yang dikerjakannya).
Pembagian Kerja Domestik – Publik
Keyakinan dominan di dalam masyarakat kita dan boleh jadi juga masyarakat yang lain menyatakan bahwa pekerjaan perempuan harus dibatasi pada ruang domestik (di dalam rumah) sedangkan laki-laki pada ruang publik. Sebagian orang bahkan mempersempit kerja perempuan hanya dalam kerja mengasuh dan melayani suami. Tidak ada kewajiban lain bagi perempuan (istiri) kecuali untuk fungsi-fungsi reproduksi, melayani suami, mengurus anak dan mengatur rumah. lni karena anggapan masyarakat tadi yang menganggap bahwa watak dan karakter perempuan memang diciptakan Tuhan untuk kerjakerja seperti itu. Yakni kerja-kerja yang membutuhkan sentuhan emosional, kelembutan, kesabaran, ketelitian dan sifat-sifat feminitas lainnya. Kerja perempuan di luar rumah dipandang sebagai penyimpangan karakter. Karena itulah pandangan umum juga seringkali menganggap hasil kerja dan keringat perempuan sebagai hasil tambahan atau sampingan belaka. Lebih dari itu hasil kerja perempuan tersebut tidak menjadi miliknya sendiri melainkan sah diambil suaminya baik untuk keperluannya sendiri maupun untuk kepentingan keluarganya.
Dewasa ini dunia telah terbuka bagi kaum perempuan. Mereka dapat bekerja di ruang publik. Dunia kerja publik sudah bisa dimasuki oleh kaum perempuan baik yang masih lajang maupun yang sudah bersuami. Baik Alquran maupun hadis nabi sama sekali tidak melarang mereka bekerja demikian. Dengan kata lain Islam tidak memberikan batasan-batasan ruang untuk kerja perempuan maupun laki-laki. Masing-masing bisa bekerja di dalam maupun di luar rumah dan dalam semua bidang yang baik yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup yang baik pula. Meski demikian, pandangan dan perlakuan sebagian besar masyarakat terhadap perempuan masih saja diskriminatif. Pekerjaan untuk perempuan lebih banyak pada bidang-bidang yang terkait dengan sifat feminin dan bias gender, yakni misalnya bidang yang membutuhkan kelembutan, kesabaran, ketelitian, ketekunan dan hal-hal lain yang diasosiasikan dan disosialisasikan sebagai sifat perempuan. Bentuk-bentuk kerja feminitas ini dianggap lebih rendah daripada bentuk kerja maskulin yang dicerminkan dalam wujud kecerdasan intelektual, kekuatan otot, keberanian, berfikir rasional dan sebagainya. Akibatnya adalah upah yang diterima perempuan lebih rendah dari upah laki-laki. Dalam kasus Indonesia mutakhir perempuan akhirnya dipaksa untuk bekerja di luar negeri menjadi TKW, menjadi buruh di negeri orang. lni adalah pengorbanan yang luar biasa dari kaum perempuan bagi keluarganya, termasuk untuk suaminya, tetapi seringkali dengan penghargaan yang menyakitkan. Terlampau banyak kasus pekerja buruh migran perempuan yang menyayat hati dan melukai perasaan kemanusiaan. Upah yang mereka terima bukan saja lebih rendah dari upah untuk laki-laki melainkan juga dengan eksploitasi yang lebih tinggi dan sering dengan cara-cara kekerasan baik secara fisik, psikis maupun seksual.
Realitas buruh perempuan dan pekerja perempuan di atas memperlihatkan praktik-praktik ketidakadilan sekaligus penindasan manusia atas manusia. lni tentu saja melanggar prinsip-prinsip Islam dan kemanusiaan. Pelanggaran-pelanggaran ini pada gilirannya akan melahirkan krisis sosial yang jauh lebih luas dan dapat menghancurkan masa depan kemanusiaan sendiri. Kenyataan perempuan seperti ini juga menyimpan sejumlah persoalan kerentanan dalam kesehatan reproduksinya. Dan perempuan dengan beban berganda pada kesehatan reproduksinya akan melahirkan generasi-generasi yang rentan, lemah dan kering. Adalah menarik apa yang disampaikan Umar bin Khattab mengenai ini. Katanya : “Janganlah kamu bebani buruh/ pekerja perempuan di luar batas kemampuannya dalam usahanya mencari penghidupan karena bila kamu lakukan hal itu terhadapnya, ia mungkin akan melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan moral. … Perlakukanlah pegawai-pegawaimu dengan penuh pertimbangan (adil), niscaya Allah akan berlaku penuh pertimbangan (adil) terhadapmu. Kamu wajib memberi mereka makanan yang baik dan halal”. (Malik, Muwaththa’, 11/981 ).
Etika ini sesungguhnya bukan hanya berlaku bagi hubungan kekuasaan laki-laki dan perempuan tetapi juga dalam hubungan kerja majikan dan buruh, atasan dan bawahan dan relasi kekuasaan yang lain. Etika bekerja dalam Islam didasarkan pada persaudaraan, keadilan dan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial untuk kerahmatan semesta. Allah A ‘lam.
Majalah Swara Rahima No.12 th.IV September 2004