Banyak orang sudah menyadari pesan dan hikmah dari Bulan Ramadhan dan kaitannya dengan pemihakan Islam terhadap mereka yang lemah, miskin dan papa. Ibadah puasa dikenal sebagai upaya kontemplasi seorang muslim untuk ikut merasakan ‘suasana lapar dan kekurangan’, yang dibarengi dengan perintah mengeluarkan zakat, anjuran sedekah dan memberi makan bagi yang berbuka puasa. Semua ini diharapkan menjadi media pendidikan diri setiap muslim, untuk merefleksikan sejauhmana ia sudah memberikan jaminan kepastian perlindungan bagi mereka yang miskin, lemah dan papa. Dalam hal ini, Pekerja Rumah Tangga (PRT), atau kebanyakan masyarakat kita masih menyebutnya sebagai Pembantu Rumah Tangga, adalah termasuk kelompok masyarakat yang lemah yang memerlukan kepastian perlindungan hak-hak dan jaminan bebas dari segala bentuk kekerasan. Di sini, Ibadah puasa bisa menjadi media refleksi untuk memastikan relasi yang adil antara yang menjadi PRT dan majikan yang mempekerjakan mereka.
Dalam hal ini, beberapa pernyataan Sahabat Nabi Muhammad saw. sudah memastikan korelasi antara ibadah puasa dan perbaikan relasi dengan para PRT (al-khadim). Jabir bin Abdillah ra. misalnya, sebagaimana diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Kitab al-Musannaf pernah menyampaikan pesan, “Jika kamu berpuasa, maka hendaklah telingamu juga berpuasa, pandangan matamu dan lidahmu juga berpuasa, dari berkata bohong dan perbuatan-perbuatan haram dan jauhkanlah dirimu dari tindakan menyakiti PRTmu”.[i] Pernyataan yang hampir sama juga disampaikan Putra Ali bin Abi Thalib ra., Muhammad bin al-Hanafiyyah, sebagaimana diriwayatkan Ibn Abi Dunya (Abu Bakr Abdullah bin Muhammad al-Baghdady, 208-281 H) dalam Kitabnya “Fadhail Ramadhan”. Muhammad al-Hanafiyyah berkata, “Hendaklah (pada bulan Ramadhan) telingamu juga berpuasa, matamu, lidahmu di samping juga tubuhmu berpuasa. Janganlah samakan hari ketika kamu tidak berpuasa dengan hari ketika kamu berpuasa, dan jauhkanlah dirimu dari tindakan menyakiti PRTmu”.[ii]
Lebih tegas dari itu, Abdullah bin Amr bin al-Ash ra., menyatakan bahwa, “Menzalimi seorang PRT adalah salah satu bentuk pengingkaran kehormatan Kota Suci Mekah”.[iii] Pernyataan-pernyataan seperti ini, besar kemungkinan terinspirasi dari pengajian dan pendidikan yang mereka peroleh dari Nabi Muhammad saw., di samping kesan mereka yang mendalam dari teladan baginda Nabi saw. dalam memperlakukan para pekerja rumah tangga.
Teladan Nabi saw.
Ada banyak pernyataan, sikap dan perilaku Nabi Muhammad saw. yang mengawali titik perubahan moral kemanusiaan, termasuk yang secara eksplisit bagi pemihakan mereka yang bekerja dalam sektor domestik sebagai PRT. Perubahan yang paling mendasar adalah ketika Nabi saw. mengajarkan para sahabat untuk tidak memanggil hamba sahaya yang ada dalam kepemilikan mereka, dan yang kebanyakan bekerja melayani di rumah tangga, dengan panggilan “Hambaku”. Begitupun para hamba diajarkan untuk tidak memanggil majikan mereka dengan panggilan “Tuanku”.
Abu Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Janganlah kamu menggunakan panggilan “wahai hambaku”, karena kamu semua adalah hamba-hamba Allah. Tetapi panggilah “wahai anak kecilku (ghulamiy) atau anak mudaku (fataya)”, (HR. Muslim). [iv] Dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan, Nabi saw. bersabda, “Janganlah kamu memerintahkan (dengan panggilan): beri makan tuanmu (rabbaka), kucurkan air wudhu ke tuanmu atau beri minum tuanmu, tetapi pakailah “yang kuhormati” (sayyidi) atau “kekasihku” (mawlaya). Jangan juga menggunakan panggilan “hambaku”, tetapi panggillah dengan “anak mudaku” atau “anak kecilku”. (HR. Bukhari)[v]
Di saat banyak peradaban dan masyarakat dunia masih melestarikan ketimpangan relasi antara majikan dan hamba sahaya, bahkan mengesahkan kekerasan yang dialamatkan pada mereka, Nabi Muhammad saw. telah meletakkan perubahan mendasar dengan melarang panggilan “wahai hamba sahaya”, atau sebaliknya hamba pun dilarang memanggil “wahai tuanku”. Tentu saja, perubahan panggilan ini tidak berhenti pada panggilan semata. Diharapkan akan ada perubahan cara pandang dan perilaku yang mencerminkan panggilan tersebut. Dalam beberapa wasiat Nabi saw., para majikan dituntut untuk memperlakukan “para pelayan” dengan baik, santun, meninggalkan praktik kekerasan terhadap mereka, memaafkan sesering mungkin kesalahan mereka, bahkan membiasakan diri untuk duduk dan makan bersama mereka.
Nabi saw. sendiri telah memberikan teladan awal, bagaimana bersikap dan berperilaku dengan para PRT. Imam al-Bukhari dalam Kitab “al-Adab al-Mufrid“, menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw. ketika pertama kali datang ke Madinah, ditawari oleh Abu Talhah ra. untuk dilayani seseorang dalam keseharian hidup baginda Nabi saw. Yaitu, Anas bin Malik ra. yang saat itu masih berusia muda. Anas bin Malik ra., kemudian menceritakan bagaimana masa-masa pelayanannya terhadap baginda Nabi saw., “Saya menjadi pelayan Rasulullah saw. selama sepuluh tahun, demi Allah, beliau tidak pernah berkata buruk sedikitpun kepada saya, tidak pernah mengeluhkan tentang saya atau menyalahkan (pelayanan) saya”.[vi]
Dalam kitab ‘Sahih Ibn Hibban’, disebutkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Setiap keringanan yang kamu berikan kepada PRTmu, adalah pahala yang dicatatkan dalam amal perbuatan kamu”.[vii] Lebih tegas lagi, Nabi saw. menyatakan pemihakan terhadap mereka yang bekerja di sektor pelayanan rumah tangga, dengan pernyataan bahwa “Dosa-dosa mereka akan diampuni oleh Allah swt.” karena kerja-kerja mereka. Dalam bahasa keagamaan, setiap perbuatan yang positif dan baik, akan selalu dikaitkan dengan ‘ampunan’ atau ‘pahala’ dari Allah swt.
Imam ath-Thabrani dalam kitab “Al-Mu’jam al-Kabir” dan “al-Awsath“, meriwayatkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah akan mengampuni dosa-dosa seorang PRT, tujuh puluh kali dalam satu hari”.[viii] Ini hampir mirip dengan ungkapan, dimana Nabi Muhammad saw. sendiri telah meminta ampun dan diampuni oleh Allah swt. dalam satu hari, tujuh puluh kali ampunan. Berarti, Nabi saw. telah meletakan derajat ampunan ‘para pelayan’ dengan ‘derajat ampunan’ diri Baginda Nabi sendiri.
Dalam riwayat Abu Dawud dan Turmudzi, pernyataan ‘ampunan’ ini disampaikan karena ada orang yang sepertinya kesal dengan PRT yang ada di rumahnya. Dia datang ke Rasulullah saw., dan mengungkapkan kekesalannya karena sang PRT sering berbuat salah dan dosa. Sahabat Abdullah bin Umar ra., meriwayatkan bahwa ada seseorang yang datang kepada Rasulullah saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan pelayan saya? Rasulullah diam saja mendengar pertanyaan ini. Lalu dia mengulangi pertanyaan, “Wahai Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan pelayan saya? Lalu Rasullullah menjawab. “Maafkanlah dia, dalam sehari selama tujuh puluh kali”. (HR. Abu Dawud dan Turmudzi)[ix]
Teks hadis tersebut, jika dikaitkan dengan teks ath-Thabrani, menyiratkan bahwa ampunan Allah swt. terhadap para PRT itu, berkait erat dengan upaya pemihakan dan penghargaan yang harus diberikan majikan terhadap para PRT mereka, dengan cara memahami kerja keras mereka dan memaafkan kekurangan dan kesalahan mereka. Para majikan tidak hanya dituntut untuk memberikan penghargaan PRT mereka, tetapi juga berempati atas kerja-kerja mereka yang tidak kenal lelah dalam memberikan pelayanan terhadap keluarga majikan. Dalam beberapa teks hadis lain, Nabi Muhammad saw. bahkan menyarankan agar para majikan membiasakan untuk makan dan duduk bersama dengan para pelayan mereka. Atau setidaknya, memberi makan dari makanan yang sama yang dimakan para majikan.
Dalam Kitab Sahih al-Bukhari, ada pernyataan dari Nabi Muhammad saw. bahwa, “Jika seorang PRT datang membawa makanan kepada kamu, maka ajaklah ia duduk makan bersama kamu, atau (kalau tidak) berikanlah ia dari makanan tersebut, paling tidak satu atau dua suapan”.[x] Imam ash-Shan’ani dalam Kitabnya “Subulussalam”, ketika memberikan komentar pada teks hadis ini menyatakan, Ibn al-Mundzir meriwayatkan dari ulama-ulama bahwa, “Diwajibkan untuk memberi makan dari jenis makanan yang sama yang dimakan majikan, yang ada di daerah tempat tinggal tersebut, begitupun lauk pauk dan pakaian. Dianjurkan, seorang majikan justru untuk memberikan yang terbaik terhadap para PRTnya, dan yang terbaik adalah yang sama persis dengan yang dimiliki majikan”.[xi]
Baca Juga:
Dirasah Hadis 2: Menerjemahkan Teladan Nabi
[i]Baca: al-Musannaf, 2/422.
[ii]Baca: Teks ke-40 dalam Kitab Fadhail Ramadhan.
[iii]Baca: Mushannaf Abd Razzaq, no.9223, 5/121.
[iv]Riwayat Sahih Muslim, no. 6011, 15/94.
[v]Riwayat al-Bukhari, no. 2552, 9/283.
[vi]Lihat teks hadis lengkap dalam Sahih Muslim, no. 6151, 15/259.
[vii]Baca: Sahih Ibn Hibban, no. Hadis: 153, 10/132.
[viii]Lihat: al-Awsath no. 1430 di al-Kabir, 20/97, dan no. 1832, 4/292.
[ix]Diriwayatkan Abu Dawud dan Turmudzi, lihat dalam Ibn al-Atsir, no. Hadis: 5887.
[x]Lihat: Sahih Bukhari, no. 5460, 18/241.
[xi]Baca: Subulussalam, juz 5, halaman 349.