Beberapa ulama dan pemikir lebih memilih untuk tetap menerima teks hadis yang secara sanad adalah sahih, tetapi kemudian mereka melakukan penafsiran ulang, untuk menghilangkan pemaknaan yang berlawanan dengan prinsip kesederajatan laki-laki dan perempuan. Pada teks-teks hadis penciptaan dari tulang rusuk di atas misalnya, Quraisy Shihab, Zaitunah Subhan, dan Nurjannah Islam memaknai teks tersebut tidak secara tekstual. Dengan pendekatan inter-tekstualitas yang sama, mereka memilih makna metaforis bahwa makna yang dimaksud adalah pesan terhadap kaum lelaki untuk memperlakukan perempuan secara baik, lembut dan tidak kasar.
Dalam teks yang ke-2 dan ke-4 secara jelas mengungkapkan perumpamaan bukan pernyataan mengenai penciptaan dari tulang rusuk. Dari kedua teks hadis inilah makna metaforis dikembangkan. Nurjannah Ismail, ulama perempuan dari Aceh ini menyatakan: “Pesan utama dari hadis itu, agar para suami memperlakukan istrinya dengan baik, memperbaiki kekeliruan atau kesalahan istri dengan lembut dan bijaksana, dan jangan pula dibiarkan saja istri bersalah. Kemudian Nabi memanfaatkan penciptaan perempuan dari tulang rusuk yang bengkok untuk menjelaskan bahwa betapa laki-laki harus hati-hati dan bijaksana meluruskan kesalahan-kesalahan perempuan. Karena meluruskan kesalahan perempuan ibarat meluruskan tulang yang bengkok, kalau tidak hati-hati bisa menyebabkan tulang itu patah. Pada kesempatan lain, Nabi juga mengingatkan para suami untuk tidak berprilaku negatif terhadap istri, seperti menampar muka istri, menjelek-jelekkan istri, mengucilkan istri dari pergaulan di luar rumah, menceritakan rahasia istri kepada orang lain, kikir dalam memberi nafkah, dan lain-lain”. (Nurjannah Ismail, hal. 268).
Menurutnya, pemaknaan seperti ini tidak bertentangan dengan ayat an-Nisa (4: 1) dan justru sejalan dengan perintah-perintah Islam yang lain. Baik yang ada pada Alquran, maupun pada teks-teks hadis. Seperti ayat wa ‘asyiruhunna bil-ma’ruf (dan berbuat baiklah kamu kepada perempuan/istri), QS, an-Nisa, 4: 19 dan ayat ath-Thalaq, 65: 6, yaitu wa’tamiru bainakum bil-ma’ruf (dan musyawarahkanlah di antara kalian suami istri tentang segala sesuatu dengan cara baik). Salah satu teks hadis yang sejalan dengan pemaknaan di atas adalah teks hadis Imam at-Turmudzi: “akmalul mu’minina imanan ahsanuhum khuluqan, wa khiyarukum, khiyarukum li-nisa’ihim/ sebaik-baik orang-orang mukmin adalah mereka yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kamu adalah mereka yang berbuat baik pada istrinya”. (Nurjannah Ismail, hal. 269).
Anjuran dan perintah berbuat baik ditujukan kepada kaum laki-laki, karena dalam konstruksi budaya yang patriarkhi, merekalah yang memegang kendali kehidupan perempuan. Karena itu, mereka harus diperingatkan dan diajak untuk memberikan perhatian kepada perempuan. Ini adalah upaya Nabi saw. dalam merombak struktur budaya, untuk meningkatkan derajat dan martabat perempuan dengan memerintahkan kaum laki-laki untuk berlaku baik, adil dan bijaksana kepada perempuan. Ketika masih banyak yang berpikir untuk mendidik perempuan dengan cara memukul, Nabi saw. bersikeras untuk menyatakan: “Janganlah kamu memukul perempuan”, dan juga mencap mereka yang masih memukul perempuan sebagai orang-orang tidak terpilih (laysa ula’ika bi-khiyarikum). (Riwayat Abu Dawud, lihat pada: Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul, juz VII, hal. 330, no. Hadis: 4719).
Nabi saw. sendiri, dalam perbedaan dan pertengkaran apapun dengan para istri, sama sekali tidak pernah menggunanakan media pemukulan. Nabi saw. lebih memilih untuk memberi nasihat, keluar dari rumah, atau jika tidak bisa dipertemukan Nabi memberi pilihan kepada para istri untuk terus hidup dengannya atau berpisah dengan cara baik. (Baca QS al-Ahzab, 33: 28-29). Karena itu, secara tegas Aisyah bint Abi Bakr ra., ketika ditanya apakah Nabi saw. pernah memukul istri, ia menyatakan: “Rasulullah saw. tidak pernah sama sekali memukul perempuan, tidak juga kepada pelayan atau hamba”. (Riwayat Abu Dawud, lihat Ibn al-Atsir, Jami’ al-Ushul, juz XII, hal. 23-24, no. Hadis: 8780).
Untuk menanamkan nilai-nilai kesederajatan dalam konteks budaya yang patriarkhal, Nabi saw. juga mencontohkan dalam kehidupan sehari-hari di dalam rumah tangga, sebagai orang yang justru melayani istri dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga sendiri. Seperti diungkapkan Aisyah ra., “Bahwa Nabi saw. di dalam rumah melakukan kerja-kerja untuk keluarga, ketika datang waktu shalat, akan bergegas keluar untuk shalat”. (Riwayat Bukhari, no. Hadis: 676). Dalam beberapa riwayat, lebih jelas disebutkan, bahwa Nabi juga di rumah mensol sandal, menjahit baju, menambal bejana, memeras susu dan melayani keluarga. (Riwayat Ibn Hibban, 5/47, no. Hadis: 5579 dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad, no. Hadis 2579).
Kembali kepada pernyataan Ummi Dzikriyati pada awal tulisan ini, jika masyarakat masih memberikan peran yang besar pada laki-laki, mungkin tepat apa yang diusulkannya dengan mempromosikan teks-teks hadis yang memberdayakan perempuan, melalui berbagai media budaya yang ada di masyarakat. Baik petuah, khutbah, ceramah, pantun, lagu, atau yang lain. Pendekatan ini akan lebih mudah untuk mendorong terciptanya kehidupan yang lebih adil, setara, memberdayakan perempuan dan tidak menistakan perempuan. Wallahu a’lam.
Baca Juga:
Dirasah Hadis 1: Meluruskan Budaya Pemaknaan Hadis-hadis Tentang Perempuan
Dirasah Hadis 2: Kritik Antar Teks